Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Masih Ada Sedikit Pala

Pulau Run, yang pernah ditukar guling dengan Manhattan, kini terisolasi, rentan ketahanan pangan, kekurangan air bersih, minim listrik.

12 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagi hari di Run dimulai pada pukul 05.30. Seusai waktu salat subuh, riuh perahu motor mulai terdengar di pelabuhan. Ketika matahari mulai naik, giliran anak-anak bersekolah. Di pulau itu terdapat empat sekolah. Dua di antaranya sekolah dasar dan sekolah menengah pertama negeri yang bebas biaya. Untuk melanjutkan ke sekolah menengah atas, anak-anak harus merantau ke luar pulau.

Kehidupan di pulau itu cenderung tenang dan sunyi. Tak ada deru mobil atau sepeda motor. Run berpenduduk 2.500 jiwa, terdiri atas 486 keluarga, yang tersebar di tiga rukun tetangga: Kampung Rehatta, Kampung Perkesit, dan Jalan Eldorado. Nama yang terakhir ini berasal dari nama perk (perkebunan) pala Belanda yang dibuka pada pertengahan abad ke-19.

Setelah penaklukan Banda oleh Jan Pieterszoon Coen pada 1621, penduduk Pulau Run dideportasi ke pulau-pulau lain. Dari 1.500 jiwa, yang tersisa hanya 50 orang berusia di atas 12 tahun. Belanda lantas membangun sebuah benteng yang disebut Lochem di sisi barat pulau, tak jauh dari pantai. Kini yang tersisa dari benteng itu hanya fondasinya. Setelah peristiwa pembakaran pohon-pohon pala, pulau itu tidak berpenghuni. Belakangan, pohon pala liar mulai tumbuh kembali berkat perantaraan burung walor di Kepulauan Banda.

Pada 1874, bagian utara pulau seluas 203,6 hektare diolah menjadi perkebunan pala. Disusul bagian selatan pulau seluas 127,5 hektare pada 1877. Perk di utara diberi nama Arcadie, perk selatan diberi nama Eldorado. Pala baru berproduksi setelah 10 tahun dan mencapai produksi optimal setelah 16 tahun. Pada 1890, Run kembali berproduksi.

Belum lama ini Tempo melihat bangunan perk (perkebunan) Eldorado. Yang tersisa hanya sebuah tempat pengasapan, yang oleh warga setempat disebut sebagai rumah besi. "Seluruh bangunan itu terbuat dari besi," kata Burhan Lohor, warga lokal. Lokasinya ada di gunung di selatan pulau. Untuk mencapainya, pengunjung harus melewati padang ilalang dan beberapa tanjakan.

Rumah besi itu tinggal atap serta delapan tiang penyangga yang membentuk bangunan persegi panjang. Tetapi rumah besi merupakan hot spot wajib para turis yang berkunjung ke Run. Dari rumah besi, turis bisa menyaksikan pemandangan Laut Banda, pelabuhan, dan rumah-rumah penduduk.

Dari bangunan perk Arcadia, yang tersisa adalah tiga bak besi berkarat masing-masing berukuran 3 x 3 meter yang kini berjejer di antara permukiman. Warga menjadikan bak-bak setinggi 4 meter itu sebagai gudang penyimpanan barang. "Aslinya bak ini untuk menampung air hujan," kata Burhan Lohor, yang juga guru pendidikan kewarganegaraan madrasah tsanawiyah di sana. Burhan mungkin satu-satunya orang yang paham sejarah pulau itu.

n n n

Air merupakan kebutuhan dasar yang sulit dipenuhi di Run sejak dulu kala. Curah hujan di Kepulauan Banda sesungguhnya cukup banyak. Pada saat kemarau pun hujan masih turun. Tapi pulau itu tidak memiliki satu pun mata air, kali, atau sungai.

Pada zaman dulu, penduduk pulau itu kerap mengambil air minum dari Kombir, Banda Besar. Belakangan, mereka menyimpan air hujan di kendi-kendi besar untuk dimanfaatkan saat kemarau. Kini penduduk Run memiliki satu bak penampung air besar di tengah kampung. Pipa-pipa mengalirkan air dari bak itu ke rumah-rumah. Penduduk Run bukan tak punya sumur. Tapi mereka hanya menggunakannya jika keadaan darurat. Sebab, airnya sepat dan sedikit asin.

Saat konflik Belanda-Inggris memanas pada 1616-1620, penduduk pulau itu tak hanya kesulitan mengakses air, tapi juga bahan pangan. Belanda memblokade akses keluar-masuk Pulau Run. Padahal, sejak sebelum kedatangan bangsa Eropa, penduduk pulau itu bergantung pada beras dari Jawa dan sagu dari Pulau Seram. Akibat blokade itu, banyak penduduk menderita kelaparan. Mereka terpaksa makan pucuk pohon kelapa yang masih muda (umbut).

Kini penduduk Run masih bergantung pada beras dari Pulau Banda Naira. Namun mereka juga menanami kebun dengan sagu, singkong, dan umbi-umbian lain sebagai alternatif pangan. Sebab, ketika gelombang tinggi, praktis akses laut ke Pulau Run terputus. "Biasanya pada bulan Agustus kami tidak diperbolehkan melaut," kata Mada, nakhoda perahu pok-pok. Saat itu gelombang laut bisa mencapai 5-7 meter.

Gelombang di Kepulauan Banda memang terbilang tinggi. Awal Mei lalu, ketika Tempo mencapai pulau itu, gelombang laut mencapai 2-3 meter. Kapal berkali-kali terguncang dibentur ombak. "Ombak segini biasa," katanya. Bersama Tempo, turut pula seorang turis asal Amerika Serikat, delapan penduduk Run berikut 100 karung semen, kayu, tripleks, beserta bahan makanan seperti beras dan sayuran.

Di Run, listrik hanya menyala lima jam mulai pukul 18.30. Listrik dihasilkan oleh mesin diesel yang dikelola pihak swasta mulai dua tahun lalu. Tarif per bulan yang dibebankan kepada warga Rp 140-190 ribu untuk daya 450-900 watt. Tidak ada telepon rumah di Pulau Run. Dari tiga provider telepon seluler, hanya sinyal dari satu provider yang mampu menjangkau pulau tersebut. Itu pun naik-turun. Jika beruntung, pada malam hari, sinyal GPRS muncul.

n n n

Kehidupan sehari-hari penduduk Run terbilang sederhana. Saat musim panen tiba, mereka menjadi petani pengumpul buah pala dalam anyaman sukel. Jika tidak sedang panen, mereka menjaring ikan. Setiap hari mereka bisa memperoleh Rp 50-200 ribu dengan menjual ikan. "Alhamdulillah, kami bisa makan," kata Akbar, salah satu penduduk di sana, dengan logat Ambon yang kental.

Seusai panen, Akbar bersama petani-nelayan lain menjual biji pala kepada tengkulak di Banda Naira seharga Rp 85 ribu per kilogram. Fuli (bunga pala) dihargai 120 ribu per kilogram. Sedangkan cengkeh bernilai Rp 135 ribu per kilogram. Dua pertiga dari pulau itu ditanami pala. Ketika Tempo mengunjungi pulau tersebut, aroma biji pala yang sedang dijemur semerbak tercium dari rumah-rumah penduduk.

Di Run masih banyak ditemukan jejak peninggalan Inggris dan Belanda. Kakek-nenek penduduk Run dulu masih menemukan koin perak EIC di kebun-kebun pala. Run sesungguhnya menyimpan potensi wisata yang besar. Selain wisata sejarah, gugusan terumbu karang di Tanjung Run, Tanjung Noret, Tanjung Lokon, merupakan tiga spot diving terbaik di Kepulauan Banda. Di sisi tenggara pulau, ada juga hamparan pasir putih tempat penyu biasa bertelur.

Potensi wisata ini tidak digarap oleh warga lokal. Turis yang datang biasanya telah mengambil paket wisata hotel dari Banda Naira. Di Run tidak ada hotel, tapi ada dua rumah warga yang dibuka untuk penginapan. Tarif menginap Rp 200 ribu per malam, termasuk makan tiga kali sehari. Jika beruntung, turis bisa menikmati karmanaci, hidangan khas Pulau Run, yakni masakan ayam berbumbu pala. Sajian ini hanya ada pada hari-hari khusus, menjelang Ramadan atau saat Idul Fitri.

Untuk meningkatkan potensi wisata, akses transportasi umum ke pulau itu juga harus dibenahi. Dalam sehari, hanya ada satu kali perjalanan pulang-pergi ke Pulau Run. Tarifnya juga terbilang mahal. Jika penumpang kurang dari 10 orang, penumpang yang ada harus membayar Rp 750 ribu untuk menyewa perahu.

Rere Khairiyah (pulau Run)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus