Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUKISAN berwarna sepia itu menampilkan sebuah aula dengan tiang-tiang berukir yang diisi banyak orang. Berjudul Traktat Breda, karya itu merupakan tafsir Hanafi yang berdasarkan ilustrasi perundingan di Puri Breda dari buku A Short History of the English People (1892). Sejak 23 April lalu, Hanafi menggelar pameran tunggal di New York, Amerika Serikat. Lukisan itu bersama 16 lukisan lain dipajang di aula kantor Konsulat Jenderal Kedutaan Besar Republik Indonesia di New York.
"Pameran ini tidak dimaksudkan untuk merayakan penaklukan bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa lain atau memperingati kolonialisme," ujar Abdul Kadir Jailani, Konsulat Jenderal KBRI di New York, lewat pesan aplikasi. Pameran ini, kata dia, bertujuan mengingatkan kembali sejarah Traktat Breda yang hampir dilupakan.
Di Pulau Run, penduduk menamakan salah satu jalan setapak di bekas perk (perkebunan) Eldorado dengan sebutan Jalan Manhattan, nama pulau yang ditukarkan Belanda dalam Traktat Breda. Tapi di Pulau Manhattan tidak ada nama jalan yang mengingatkan penduduk New York bahwa mereka berbagi masa lalu dengan Pulau Run. "Pala di Kepulauan Banda memiliki hubungan sejarah yang dekat dengan New York," ujar Jailani.
Hanafi memajang enam sketsa dari tinta hitam berukuran 77 x 58 sentimeter yang menggambarkan kondisi Pulau Run saat ini. Ada sketsa Ruang Tunggu yang menampilkan gambar dermaga kayu sederhana di pelabuhan Pulau Run. "Saya beri judul Ruang Tunggu karena jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal tidak pernah jelas," kata Hanafi. Ada juga sketsa Abdullah Petani Pala dan Sarintah dan Tasya, penduduk Run yang dilukis wajahnya di tempat oleh Hanafi. Lalu sketsa Rumah Besi berjudul Eldorado dan pemandangan Pasir Pulau Neilaka.
Benteng Revenge, benteng Belanda di Pulau Ai yang dibangun untuk membalas Inggris, dilukis Hanafi. Juga lukisan hitam-putih Jan Pieterszoon Coen, si penakluk Banda. Lukisan Coen berhadapan dengan lukisan musuh bebuyutannya, John Jourdain, pemimpin East India Company (EIC) generasi awal. "Saya berusaha menangkap sejarah konflik atas Run," kata Hanafi, yang juga melukis pemandangan Fort Nassau di Banda Naira dalam dua karya.
Dari lukisan-lukisan itu, Pala di Bawah Liberty yang paling mencuri perhatian pengunjung. Hanafi melukis Patung Liberty dari sisi bawah belakang. Patung itu dilukis berdiri di atas biji-biji pala. Untuk membangun drama, Hanafi memajang lukisan itu dengan biji-biji pala sungguhan dalam pameran tersebut.
Hanafi mengaku kesulitan membawa biji pala sebanyak 42 kilogram itu ke New York. Meski mengantongi surat diplomatik untuk pameran, jasa pengiriman internasional menolak mengirim paket itu tanpa izin dari Kementerian Pertanian Indonesia. "Padahal waktu sudah mepet," ujar Hanafi. Dia lalu nekat memasukkan biji-biji pala ke dalam koper-kopernya. Di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, puluhan kilogram biji pala ini lolos dari deteksi petugas. Di Bandara John F. Kennedy, New York, Hanafi juga bisa melenggang tanpa pertanyaan atas rempah-rempah di bagasinya. Menurut Hanafi, "Liberty itu ikon kebebasan dan kemajuan di New York. Run sudah seharusnya maju," katanya.
Tiga belas tahun sebelumnya, Hanafi bertemu dengan I Made Wianta bersama sejumlah tokoh seniman dan pemerhati seni berkumpul di sela-sela muhibah budaya pra-Olimpiade Athena di Yunani pada 2004. Obrolan itu salah satunya mengenai sejarah Pulau Run yang terlupakan.
Berangkat dari pembicaraan itu, I Made Wianta mempersiapkan pameran tunggal tentang Traktat Breda. Saat berpameran tunggal di New York (2005) dan menjadi dosen tamu di Holy Cross College, Massachusetts,Amerika Serikat, pada 2012, Wianta menyempatkan pergi ke Manhattan. Selain bekerja sama dengan Ronald Jenkins, sahabatnya, profesor teater dari Amerika Serikat-yang belakangan juga membuat teater tentang Traktat Breda-Wianta berkonsultasi kepada mantan kurator Museum der Kulturen in Basel, Urs Ramseyer, dalam proyek ini.
Pada awal 2013, Wianta, timnya, dan Jenkins melakukan napak tilas ke Pulau Run. Menurut Wianta, Pulau Run mendapat anugerah alam yang indah. "Pasir putihnya setara dengan keindahan Maladewa," kata Wianta. Bedanya, ia terletak di gunung api yang menjadi ikon landscape Kepulauan Banda. "Selain itu, pulau-pulau tersebut dilindungi oleh ombak yang sangat besar layaknya tsunami yang sangat sulit ditembus," ucap Wianta.
Suasana itu ditafsirkan Wianta dalam karyanya. Salah satunya berupa instalasi yang memanfaatkan jarum di atas papan. Karya ini menggambarkan adanya hujan di pulau itu yang bila jatuh rasanya seperti sedang dihujani oleh jarum. Wianta menarik pulau-pulau itu dalam kesatuan yang lebih besar yang disebut Nusantara. Pada karya lain, ia menampilkan instalasi pohon knalpot yang mengepulkan asap. Karya ini merupakan kritik Wianta bahwa Kota Manhattan yang terencana pun tak lepas dari problem polusi.
Menurut Wianta-kini sedang dalam pemulihan setelah tabrakan sepeda motor di Apuan, Tabanan, Bali, setahun lalu-pameran tentang Traktat Breda ini bakal digelar di Jakarta dan New York dalam waktu dekat. Sebelum ini, Wianta telah menggelar sejumlah pameran tentang Maluku, antara lain"Gunung Api Banda"di Ciputra Artpreneur Jakarta (2010),"Treasure Island"di Gaya Gallery Ubud (2012),"Islands"di World Bank Washington (2013), dan"After Utopia" di Singapore Art Museum (2015).
Karya-karya Wianta juga diulas dalam buku Run for Manhattan karya Ron Jenkins dan Urs Ramseyer, yang akan diluncurkan pada Juli mendatang. Jenkins, yang ikut terinspirasi peristiwa bersejarah ini, juga menciptakan pertunjukan teater tentang Traktat Breda. Pertunjukan bertajuk Islands: The Lost History of the Treaty that Changed the World itu dipentaskan di Wesleyan University, Connecticut, Amerika Serikat, pada 21 April lalu. Versi pendek dari pertunjukan ini juga dipentaskan dalam pembukaan pameran Hanafi di kantor Konsulat Jenderal KBRI di New York, dua hari kemudian.
Pertunjukan ini mengisahkan potongan sejarah Pulau Run lewat penuturan beberapa karakter utama. Di antaranya seorang prajurit Belanda yang menyesal telah menindas warga pribumi, seorang budak Melayu di kapal Portugis, seorang petani tua yang setia merawat tanaman pala, juga karakter pohon pala yang akan mengisahkan sejarah dari sudut pandang yang berbeda. Pertunjukan teater ini rencananya juga dipentaskan di Jakarta dan Bali.
Amandra M. Megarani (jakarta), Rofiqi Hasan (denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo