Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR satu setengah tahun sejak diajukan, pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Terorisme baru rampung separuhnya. Hingga Rabu pekan lalu saat rapat pembahasan daftar inventarisasi masalah, panitia khusus aturan ini baru membahas 66 dari 112 butir daftar inventarisasi masalah.
Para politikus dari Komisi Pertahanan dan Komisi Hukum baru selesai berdebat tentang pasal 28 yang berisi ketentuan batas waktu penangkapan seseorang yang diduga hendak berbuat terorisme. "Sudah kami ketok, menjadi maksimal 21 hari," kata Ketua Panitia Khusus Muhammad Syafi’i pada Rabu pekan lalu.
Dalam aturan lama, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, masa penangkapan untuk interogasi maksimal 7 hari. Dalam revisi ini, pemerintah minta diperpanjang menjadi 30 hari. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat 21 hari dengan ketentuan 14 hari setelah penangkapan yang bisa diperpanjang sepekan.
Ketentuan masa penangkapan ini menjadi salah satu isu krusial pembahasan penanganan terorisme. Ketentuan lain yang alot dibahas adalah keterlibatan tentara dalam pencegahan terorisme. Dalam aturan lama, penanganan terorisme dipegang sepenuhnya oleh polisi melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Dalam revisi undang-undang itu, pemerintah mengajukan tentara ikut andil mencegah terorisme, yang pengaturannya tertera pada pasal 43-B. Pasal ini diajukan oleh perwakilan Tentara Nasional Indonesia saat rapat membicarakan daftar masalah dengan panitia khusus. Setelah klausul itu diterima untuk dibahas, para jenderal kian aktif melobi panitia khusus agar usul mereka dikabulkan.
Salah satu yang aktif melobi politikus di panitia khusus adalah Direktur G Badan Intelijen Strategis TNI Laksamana Pertama Anwar Saadi. Ia bahkan melobi panitia khusus sejak pertengahan tahun lalu. "Mereka gagal melobi pemerintah," ujar seorang politikus.
Rupanya, kata politikus ini, lobi yang gencar itu dilakukan setelah TNI gagal meyakinkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar satu suara menyokong usul mereka. Kementerian Hukum menolak usul itu dengan tak memasukkan usul TNI ke daftar inventarisasi masalah yang dikirim ke DPR. Mereka memilih mempertahankan polisi sebagai lembaga utama menangani terorisme.
Maka para jenderal TNI pun mendatangi fraksi-fraksi di DPR untuk memasukkan usul mereka. Pelobi TNI dipimpin Direktur G Badan Intelijen Strategis TNI Laksamana Pertama Anwar Saadi. "Mereka datang dengan kajian dan usul pasal yang konkret," ucap seorang anggota panitia khusus.
Ketika dimintai konfirmasi soal upayanya itu, Anwar menolak menjelaskannya. "Coba tanya ke Pusat Penerangan TNI," katanya.
Bukan hanya anak buahnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga turun gunung mendekati anggota Dewan untuk urusan terorisme. Ia mengundang sejumlah anggota panitia khusus makan siang di rumah dinasnya di kawasan Menteng awal tahun ini. Yang hadir antara lain Muhammad Syafi’i dari Gerindra, Risa Mariska dari PDI Perjuangan, dan Arsul Sani dari Partai Persatuan Pembangunan.
Sambil makan siang itu, Gatot menjelaskan pentingnya TNI dalam pemberantasan terorisme. Ia mencontohkan peran intelijen untuk deteksi dini dan menguatkan pencegahan teror. Menurut dia, TNI mumpuni dalam soal penciuman intelijen ini. "Ya, waktu itu diundang makan siang oleh Panglima," Risa Mariska mengkonfirmasi lobi itu.
Tak semua fraksi akhirnya setuju dengan usul TNI. Fraksi PDI Perjuangan, partai asal Menteri Hukum Yasonna Hamonangan Laoly, tak sepakat dengan klausul itu karena menganggap penanganan terorisme cukup oleh polisi seperti yang terjadi selama ini.
Fraksi NasDem juga tak terlalu bulat. Meski sikap resmi fraksi mendukung Kementerian Hukum, salah satu anggota fraksi di Panitia Khusus RUU Terorisme, Supiadin Aries Saputra, masih ingin usul itu dibahas. NasDem punya dua wakil di panitia khusus. Selain Supiadin dari Komisi Pertahanan, ada Akbar Faisal dari Komisi Hukum.
Menurut Akbar, sikap fraksinya sudah jelas, yakni menolak usul TNI. Sementara itu, ketika ditanya ulang, Supiadin menolak jika disebut tak sepaham dengan sikap resmi fraksinya. "Kami masih satu tujuan," kata pensiunan tentara berpangkat mayor jenderal ini. Ia pernah menjadi Panglima Komandan Daerah Operasi Militer IX Udayana.
Hanya dua fraksi, Demokrat dan Gerindra, yang menyokong usul TNI. Kedua fraksi yang partainya dipimpin para mantan jenderal ini secara terbuka menyatakan dukungan kepada tentara. "Agar terorisme bisa dicegah lebih dini," ujar politikus Demokrat, Darizal Basir.
Ironisnya, meski PDIP dan menterinya menolak usul TNI, Presiden Joko Widodo malah mendukung tentara berwenang dalam menangani terorisme. "Berikan kewenangan TNI masuk RUU Terorisme," katanya seusai rapat membahas soal ini di Istana Bogor pada 29 Mei lalu.
Pintu lain yang menjadi celah lobi tentara dalam penanganan terorisme adalah pasal 1 angka 1, yang menjabarkan definisi terorisme. Para pendukung TNI ingin agar kata "tindak pidana" di depan terorisme dihapus dalam pasal ini. Sedangkan barisan penolak bertahan ada dua kata itu dalam pasal ini.
Meski hanya dua kata, konsekuensinya lumayan pelik dan bersangkut paut dengan peran tentara dalam penanganan terorisme. Tanpa frasa "tindak pidana", terorisme akan didefinisikan sebagai kejahatan yang mengancam negara sehingga tentara perlu masuk menanganinya. Adapun terorisme sebagai tindak pidana akan digolongkan sebagai tindak kriminal yang penanganannya cukup oleh polisi.
Karena tak kunjung sepakat, rapat pada Rabu pekan lalu itu menunda pembahasan soal definisi ini. "Pembahasannya belakangan saja," ucap Risa Mariska.
Ketua Panitia Khusus RUU Terorisme Muhammad Syafi’i mengatakan penundaan definisi dilakukan karena perbedaan pandangan di lingkup internal pansus masih tajam. Soalnya, definisi ini akan berpengaruh pada isi aturan secara keseluruhan. Menurut Syafi’i, pansus ingin terorisme dirumuskan lebih obyektif dan proporsional.
Salah satu yang dibahas adalah pengertian yang tak hanya menyorot pada salah satu agama. Sejauh ini terorisme di Indonesia dilakukan oleh anggota kelompok organisasi radikal agama Islam. Padahal, kata Syafi’i, terorisme tak punya agama. "Kami tunda agar tidak ada persepsi berbeda-beda di antara anggota pansus," ujarnya.
Pendapat Fraksi Gerindra dan Demokrat soal definisi terorisme ini sejalan dengan keinginan Gatot Nurmantyo. Menurut Gatot, terorisme seharusnya dipandang sebagai kejahatan negara. Aturan yang berlaku saat ini, kata dia, dibuat untuk mempercepat peradilan pelaku bom Bali. Karena itu, ia menilai aturan tersebut sudah tak relevan lagi. "Alangkah bodohnya kalau masih menggunakan undang-undang yang ada," ucapnya.
Undang-Undang Terorisme memang lahir setelah bom Bali II, yang membunuh banyak turis pada 2005. Pemerintah mengusulkan ada undang-undang sebagai dasar hukum memburu para pelaku teror. Sebab, ketika itu polisi kesulitan melacak jaringan para teroris tanpa landasan hukum menangkap orang yang diduga berhubungan dengan pelaku teror. Sejak itu, muncul Detasemen Khusus 88 Antiteror, disusul Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Risa Mariska menolak pernyataan Gatot. Menurut dia, Detasemen Khusus Antiteror Kepolisian RI terbukti berhasil mencegah beberapa serangan teror di Indonesia. Hanya, ia mengakui ada sejumlah kekurangan di undang-undang sekarang, yakni mengenai fungsi pencegahan. "Sebaiknya Panglima TNI bersabar menyimak pembahasan RUU Terorisme," kata Risa.
Risa mendapat dukungan dari Fraksi PPP. Anggota panitia khusus dari fraksi ini, Arsul Sani, mengatakan melibatkan TNI dalam penanganan terorisme bakal mengubah sistem peradilan pidana. "Nanti akan ada pertanyaan lanjutan mengenai hukum acara," ujarnya.
Meski punya lebih banyak pendukung di DPR, menurut seorang politikus, Polri kalah cepat melobi anggota panitia khusus agar parlemen mempertahankan kewenangan mereka menangani terorisme. Para jenderal polisi baru mengajak diskusi politikus pada Desember nanti setelah mereka menggelar diskusi soal ini di Hotel Borobudur.
Polisi membahas lagi soal RUU Terorisme dua pekan lalu, setelah rapat kabinet ketika Presiden Jokowi secara tegas mendukung TNI. Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin mengundang anggota Komisi Hukum ke rumah dinasnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dua pekan lalu. Politikus yang hadir antara lain Trimedya Panjaitan dari PDIP, Arsul Sani, dan Akbar Faisal. Menurut salah satu peserta diskusi, Syafruddin bercerita mengenai pasukan Detasemen Khusus yang harap-harap cemas menunggu pembahasan RUU Terorisme di DPR.
Syafruddin khawatir masuknya tentara bakal menimbulkan gesekan dengan anggota Densus terkait dengan kewenangan di lapangan. Sebab, polisi dan tentara memiliki doktrin berbeda dalam menangani kejahatan. "Kalau koordinasinya tidak kuat, berpotensi ada benturan," kata Syafruddin seperti ditirukan politikus itu.
Akbar Faisal tertawa saat dimintai konfirmasi mengenai pertemuan tersebut. "Anda tahu dari mana?" ujarnya. Adapun Syafruddin menolak menjelaskan detail pertemuan itu. "Nanti saja, saya harus segera take off," katanya pekan lalu.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengakui lembaganya meminta penguatan kewenangan dalam revisi ini. Menurut dia, terorisme merupakan perbuatan ujung yang didahului oleh persiapan. Misalnya latihan perang, rekrutmen anggota, dan pelatihan hingga pengiriman orang ke luar negeri.
Dengan undang-undang yang berlaku saat ini, Tito mencontohkan, polisi tak bisa menangkap orang yang baru pulang dari Suriah bertempur di bawah kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). "Seharusnya, asalkan terbukti perbuatan awal itu ada, mereka bisa dipidana," ujar Tito.
Wayan Agus Purnomo, Aditya Budiman, Hussein Abri Dongoran
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo