Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI Grote Mark-alun-alun Kota Breda, Belanda-bangunan berbata merah kecokelatan itu sudah terlihat. Menara-menaranya berdiri anggun di empat sisi bangunan tersebut. Sebuah sungai kecil melingkari bangunan yang dikenal dengan nama Puri Breda itu.
Dibangun pada abad ke-12, puri itu pernah dimiliki William I, leluhur keluarga bangsawan Nassau-Orange, yang menurunkan raja-raja di Eropa. Puri itu pernah menjadi rumah sakit, sebelum difungsikan sebagai Akademi Militer Kerajaan Belanda.
Puri itulah yang menjadi saksi peristiwa politik penting yang terjadi lebih dari tiga abad silam: Traktat Breda. Perjanjian ini dibuat untuk mengakhiri perang laut yang kedua antara Inggris dan Belanda (1665-1667). Dalam perjanjian itu, terdapat kesepakatan yang menyangkut nasib sebuah pulau kecil di perairan kita sekarang, yang dulu begitu terkenal dan kini terlupakan.
Perundingan sepuluh hari itu menghasilkan keputusan pembaruan akta navigasi dan pembagian wilayah koloni. Poin penting perjanjian ini adalah bahwa Inggris mendapatkan Manhattan, pulau di hilir Sungai Hudson di wilayah benua baru. Ditambah pelabuhan kecil di Guinea di Teluk Barat Afrika dan Curacao di Kepulauan Karibia.
Sedangkan Belanda berhak atas Suriname beserta pabrik-pabrik gula di sepanjang pantainya, Kepulauan Tobago, dan Pulau Run di Laut Banda. Wilayah yang disebut terakhir ini dikuasai Inggris sejak 1616 dan merupakan salah satu pulau penghasil pala saat itu.
"Saat perjanjian ini diteken, Belanda merasa diuntungkan," kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan politik kolonial dari Universitas Indonesia, awal Mei lalu. "Kekuasaan atas Run merupakan kendali utuh Belanda atas monopoli rempah-rempah dunia." Kini sesuatu yang berkebalikan terjadi. Manhattan, New York, Amerika Serikat, yang dulu tak diperhitungkan Belanda, menjadi salah satu pusat bisnis dunia. Sedangkan Pulau Run kini terpencil, bahkan dalam sejarah Indonesia pun jarang disebut.
Pulau Run kini terlihat seperti bukit-bukit hijau yang menyembul di tengah birunya Laut Banda. Dikelilingi karang dan tebing-tebing terjal di sisi selatan, kawasan landai di sisi barat pulau menjadi satu-satunya tempat kapal bisa berlabuh. Di pantai berpasir putih itu, rumah-rumah beratap seng berdiri berimpitan. Nyiur dan pohon pala tumbuh lebat.
Tak bisa dibayangkan selama 60 tahun (1607-1667), Run pernah diperebutkan Belanda dan Inggris gara-gara suburnya pala di pulau itu. Pulau Run terletak paling barat dari Kepulauan Banda dan sedikit terpisah dari gugusan pulau besar. Berjarak 16 kilometer dari Pulau Banda Besar, pulau seluas 465 hektare itu dapat dicapai dengan mendayung perahu selama satu jam dari pulau tetangganya, Pulau Ai, atau dua jam perjalanan dengan kapal motor dari Pulau Banda Naira.
Topografi Pulau Run agak menanjak. Wilayah selatan pulau itu lebih terjal, dibentuk oleh Gunung Tanah Merah dan Gunung Gandulang, dengan ketinggian 188 meter di atas permukaan laut. Pada abad ke-17, Inggris memilih Run dan Ai sebagai pos dagang mereka. Armada Inggris tak sekuat Belanda, yang memperoleh sokongan dana dari Heeren Zeventies, pemilik modal perusahaan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Berkali-kali Belanda menyerbu Run, berkali-kali pula Belanda gagal menyentuh bibir pantai barat pulau itu. Serangan para penembak jitu Inggris yang berjaga di Fort Defense-benteng pertahanan Inggris di Pulau Nailaka-berhasil menghalau Belanda. Nailaka berjarak satu kilometer dari sisi utara Pulau Run. Pulau karang seluas 12,3 hektare itu bisa dicapai dengan berjalan kaki dari Tanjung Run ketika air surut. Kini benteng Inggris itu masih dapat dilihat di Nailaka meski tinggal sisa-sisa fondasinya. Sedangkan sisa-sisa Fort Swan, benteng Inggris lain di Pulau Run, sudah tak berbekas.
Pala (Myristica fragrans) semenjak abad ke-15 merupakan kemewahan. Harga pala di Eropa sangat tinggi. Penulis buku mengenai Pulau Run, Giles Milton, menyebutkan, dengan menjual sekantong penuh pala, seorang lelaki Inggris dapat membeli rumah beratap runcing di Holborn. Pala digunakan sebagai bumbu masak, penguat rasa manis dan gurih, serta pengawet makanan sebelum kehadiran lemari pendingin. Pada saat yang sama, pala juga merupakan obat ajaib yang mampu mengatasi gangguan pernapasan, rematik, gangguan pencernaan, sekaligus sebagai afrodisiak, zat yang bisa menambah gairah seksual.
Pala hanya tumbuh di Kepulauan Banda. Sama eksklusifnya seperti cengkeh, yang hanya tumbuh di Halmahera dan Maluku Utara. Dari sepuluh pulau di Laut Banda, hanya lima yang menghasilkan pala, yaitu Pulau Lontor (sekarang Banda Besar), Pulau Banda Naira, Pulau Rosengain (kini Pulau Hatta), Pulau Ai, dan Pulau Run.
Dari Laut Maluku dan Laut Banda, rempah-rempah diangkut ke Banten, Malaka, atau Guangzhou, kemudian berpindah tangan di Goa dan Konstantinopel. Para pedagang Venesia membawanya ke Eropa. Setiap kali rempah-rempah itu berpindah tangan, harganya naik 100 persen.
Adalah Portugis bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Banda Naira, setelah menaklukkan Malaka pada 1511. Portugis membeli pala dengan harga murah. "Sehingga dapat memperoleh keuntungan hingga 1.000 persen ketika menjualnya di Lisabon," tulis Des Alwi dalam bukunya, Sejarah Maluku, Banda Naira, Ternate, dan Tidore (2004).
Catatan pertama Eropa tentang Kepulauan Banda ditulis pada 1512-1515 oleh Tomé Pires-apoteker Portugis-dengan judul Suma Oriental. Dalam buku itu, Pires tak hanya menggambarkan pala dan Kepulauan Banda, tapi juga, "Menyebutkan bahwa orang-orang Banda baru masuk Islam 30 tahun sebelum kedatangan Portugis," kata Bondan Kanumoyoso. "Mereka diislamkan oleh orang-orang Jawa."
Inggris tanpa sengaja menemukan Kepulauan Banda ketika kapal Gold Hind milik Sir James Drake kandas di karang Pulau Karaka. "Drake menambah muatan dengan pala yang dibelinya menggunakan mata uang Spanyol di Banda Naira," tulis Willard Hanna dalam buku Banda: Colonialism and its aftermath in the Nutmeg Islands (1978). Drake adalah privateer, bajak laut Inggris yang memiliki wewenang menjarah kapal dari negara lain. Ketika sampai di Pelabuhan Plymouth pada 1580, Inggris terkesan pada muatan pala dan emas hasil rampasan dari kapal Spanyol.
Pada 1599, giliran Belanda melego jangkar di pantai Orantatta, Lontor. Sebelum melepas sauh, Laksamana Jacob van Heemskerk meninggalkan 20 pedagang untuk melakukan pembelian pala sebelum kapal selanjutnya datang menjemput. Kehadiran pedagang-pedagang Belanda di Lontor membuat gusar Portugis di Malaka. Tapi, ketika lima kapal berbendera VOC datang ke Banda Naira pada 1602, tidak pernah terjadi perang terbuka dengan Portugis. Persaingan yang nyata justru terjadi dengan Inggris, yang kembali ke Banda pada tahun yang sama.
Belanda berusaha menguasai perdagangan pala di Banda Naira dan Lontor, dengan membuat kontrak dengan sejumlah orang kaya-sebutan bagi kepala desa atau tokoh terkemuka-untuk menjual pala dan fuli (bunga pala) hanya kepada mereka dengan harga tetap dan rendah. Inggris menjadikan Pulau Run sebagai pos dagang. Di pulau terpencil ini, pala tumbuh di mana-mana.
Topografi Pulau Run menyulitkan kapal berlabuh kecuali dari sisi barat. Tapi, bagi Inggris, lokasi ini adalah pilihan yang tepat untuk mengurangi ketegangan dan menghindari konflik dengan Belanda. Sebab, dari segi keuangan dan perlengkapan, perusahaan dagang Inggris, East India Company (EIC), tidak memiliki keuangan dan perlengkapan sehebat VOC.
Faktanya, orang-orang Banda lebih suka membawa hasil pala ke Run-juga Pulau Ai, yang belakangan juga dijadikan pos dagang Inggris hingga 1615-untuk bertransaksi. Sebab, Inggris membeli rempah-rempah dengan harga yang lebih tinggi ketimbang Belanda. Hal ini kerap menjadi bahan ejekan Inggris kepada Heeren Zeventies, pemilik modal VOC. "Belanda memberi terlalu sedikit dan meminta terlalu banyak."
Pada 1608, Banda Naira bergolak. Penyebabnya, Laksamana Pieterzoon Verhoeven membangun Fort Nassau di sana. Tempat itu sesungguhnya lokasi sama yang dipilih Portugis untuk membangun benteng pada 1520. Namun benteng Portugis itu tak pernah selesai.
Alasan hengkangnya Portugis bisa dilihat dari empat seri buku yang ditulis João de Barros, Décadas da Ásia (1552-1615). De Barros menulis bahwa penduduk Ternate dan Tidore "jahat, palsu, dan tidak tahu terima kasih". Namun penduduk Banda "lebih parah.... Mereka tidak mengenal raja atau pemimpin. Mereka gaduh sesama mereka sendiri."
Struktur kekuasaan Banda adalah oligarki, kekuasaan dipegang oleh orang kaya dalam kelompok-kelompok kecil yang berdiri sendiri. Karena itu, Belanda kesulitan melakukan monopoli rempah-rempah. Ketika Verhoeven membuat kontrak dengan beberapa orang kaya di Banda Naira dan Rosengain, kontrak itu tak diakui oleh orang kaya di pulau lain.
Apalagi orang Banda menganut prinsip perdagangan bebas. Dan banyak orang kaya meneken kontrak beraksara Romawi itu tanpa memahami isinya. "Ini tampak pada beberapa tanda tangan para orang kaya yang hanya membubuhkan tanda silang atau menulis nama dengan aksara Jawi," kata Des Alwi dalam bukunya. Berkali-kali kontrak diperbarui, berkali-kali pula kontrak dilanggar.
Orang kaya Banda hanya bersatu ketika menghadapi Belanda pada 1609. Dengan dalih pembahasan kontrak, mereka menggelar pertemuan dengan Verhoeven dan 40 anak buahnya. Esoknya, sisa pasukan yang mencari sang Laksamana hanya menemukan tubuh-tubuh tanpa kepala. Juru tulis Verhoeven, Jan Pieterszoon Coen, selamat dari peristiwa itu. Dua belas tahun kemudian, Coen membalas peristiwa ini dengan kepedihan yang tak pernah dibayangkan.
Orang kaya Banda kembali bersatu pada 1615. Saat itu Datuk Putih mengantarkan surat yang diteken semua orang kaya Banda ke kantor dagang Inggris di Banten. Isinya merupakan permohonan senjata dan mesiu untuk melawan Belanda dengan janji penjualan rempah-rempah hanya kepada Inggris.
Surat itu direspons Inggris dengan berlabuhnya kapal Swan dan Defense yang dipimpin Kapten Nathaniel Courthope di Pulau Run pada 1616. Courthope melatih penduduk pulau Run, memperkuat pertahanan alami pulau, memasok amunisi dan mesiu, membangun dua benteng, meski pulau ini diblokade oleh Belanda. Courthope bahkan sempat mengibarkan bendera Inggris di Ai dan Rosengain. Run tidak pernah jatuh ke tangan Belanda selama Courthope hidup. Kisah Courthope ini menginspirasi Giles Milton menulis fiksi Nathaniel’s Nutmeg (1999).
Run baru jatuh ke tangan Belanda pada 1621. Coen, yang telah menjabat Gubernur Jenderal VOC, kembali ke Banda. Dia membawa 1.665 anggota pasukan bersenjata dalam 13 kapal besar. Belum termasuk 80 ronin-samurai Jepang yang tak bertuan-dan sekompi mardjikers dari Ambon. Itu adalah armada terbesar yang pernah dilihat penduduk Banda.
Coen marah besar karena Inggris telah mengadakan kesepakatan dengan Lontor dan mendirikan gudang rempah-rempah di sana. Orang-orang Inggris, baik yang di Run maupun di Lontor, ditawan. Satu demi satu desa di Banda ditaklukkan. Puncaknya pada 8 Mei, ketika 45 orang kaya ditangkap atas tuduhan persekongkolan.
Delapan orang kaya yang paling berpengaruh dihukum potong tubuh menjadi empat bagian sebelum dipenggal oleh para ronin. Sisanya dihukum pancung. Di lokasi pembantaian di Banda Naira itu kini dibangun Monumen Parigi Rante. Pada tahun penaklukan itu, VOC menjual 450 ribu pon pala ke Eropa.
J.A. Chijs, Ketua Bataviasche Kunstkring, dalam The Conquest of Banda Islands (1860), menulis bahwa saat penaklukan Banda, semua laki-laki di atas usia 15 tahun dibunuh. Yang selamat dan tertangkap dikapalkan ke Batavia dan tinggal di kawasan yang kini dikenal sebagai Kampung Bandan. Dari sekitar 15 ribu penduduk Banda saat itu, yang tersisa 3.000 orang. Hanya sedikit yang tetap bertahan di Banda. Kebanyakan melarikan diri ke Pulau Seram dan Pulau Kei.
Setelah genosida itu, pulau-pulau di Banda hampir tak berpenghuni. Coen mendatangkan budak dari kepulauan sekitarnya untuk mengolah perk (perkebunan) pala yang sudah dikaveling-kaveling kepada sejumlah perkeiner (penyewa kebun), yang notabene orang-orang Eropa.
Setelah pembantaian Banda, Inggris dua kali mencoba mengambil alih kembali Run, tapi gagal. Menurut Traktat Westminster yang mengakhiri perang laut pertama Inggris-Belanda (1652-1654), Run seharusnya dikembalikan ke Inggris. Belanda membakar pohon pala di Run pada 1665.
Setahun sebelumnya, James II, adik Raja Inggris Charles II, menaklukkan Manhattan, yang sebelumnya dikuasai Belanda. Pulau yang dikenal dengan nama Nieuw Amsterdam itu diganti nama menjadi New York untuk mengenang James II, yang dikenal dengan gelar Duke of York.
Saat Perundingan Breda digelar, Belanda sesungguhnya mengincar teluk Suriname. "Pulau Run hanya salah satu elemen untuk menyelesaikan konflik," kata Profesor Gerrit Knaap, sejarawan kolonial dari Utrecht University, Belanda, lewat sambungan telepon. Sebab, setelah penaklukan Banda, praktis seluruh kepulauan dikuasai Belanda. Meski demikian, klaim Inggris atas Pulau Run menjadi sandungan legalitas Belanda untuk menguasai rempah-rempah dunia.
Abad ke-16 hingga 18 adalah De Gouden Eeuw (Abad Keemasan) dalam periode sejarah Belanda. Gunung berapi di seberang Banda Naira memuntahkan lahar panas pada 2 April 1776. Saat itu panen berkurang hingga 45 persen. Namun, menurut Gerrit Knaap, Belanda berhasil mempertahankan harga pala di pasar tetap tinggi dan stabil. Gubernur Banda Reiner de Klerk (1748-1753) mencatat bahwa VOC memperoleh keuntungan hingga 6.000 persen dari penjualan pala dan fuli.
Namun kemudian Inggris kembali menduduki Banda. Pada 1796-1803, Belanda menyerahkan kekuasaannya untuk sementara kepada Inggris sebagai dampak Revolusi Prancis. Yang kedua berlangsung pada 1810-1819, ketika terjadi perang Napoleon di Eropa (1803-1815). Penaklukan Banda yang kedua ini, "Merupakan operasi yang penuh dengan keberanian dalam sejarah Inggris," tulis William Hanna.
Kapten Christopher Cole adalah perwira yang memimpin penaklukan Inggris atas Banda. Tapi Kapten Cole-lah yang kemudian juga membuat pala Banda tidak lagi menjadi satu-satunya asal pala di dunia. Cole mengumpulkan benih pala terbaik dari Banda dan mengapalkannya ke Sri Lanka, Bengkulu, dan Pinang. Ia juga membawa beberapa ton tanah vulkanis dari Banda. Dalam 10 tahun, benih itu tumbuh menjadi pohon pala unggul.
Pala Bengkulu, misalnya, mencapai pasar Eropa pada 1825, disusul pala dari kawasan lain. Pada abad ke-19, pala tidak lagi eksklusif dari Banda. Juga cengkeh. Harga pala Pulau Run jatuh, dan terus-menerus hingga tak lagi menjadi komoditas unggulan. Kini 350 tahun umur Traktat Breda. Dulu Pulau Run menjadi salah satu andalan ekonomi Belanda. Belanda girang tatkala dalam tukar-menukar mereka mendapatkan Pulau Run daripada Manhattan. Kini Run adalah pulau terisolasi. Tak dikenal.
Amandra M. Megarani (jakarta), Rere Khairiyah (pulau Run), Lea Pamungkas (den Haag)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo