Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Masih Terkungkung Sensor Militer

7 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalangan jurnalis di Myanmar berharap kemenangan partai Aung San Suu Kyi membawa ke pemerintahan yang demokratis. "Pemerintah baru harus menjamin kebebasan pers," kata Eaint Khaing Oo. Perempuan jurnalis Burma yang bekerja di VOA itu mengingat masa-masa dia dipenjara ketika junta militer berkuasa di Burma. Dia dipenjara satu tahun tiga bulan setelah meliput badai siklon dahsyat yang merenggut puluhan ribu nyawa penduduk Burma pada Mei 2008.

Eaint dituduh mengambil foto korban topan dan menyebarkan ke media asing. Ia dituduh melanggar hukum akibat menyiarkan ke publik berita yang mengecam pemerintah. Ia ditahan di penjara Insein di pinggiran Yangon. "Kami tak bebas mengambil foto dan mewawancarai pemerintah. Mereka tidak terbuka," kata alumnus Jurusan Hukum Universitas Dagon itu.

Executive Member of Myanmar Journalist Network, Myint Kyaw, mengatakan, selama diperintah junta, media di Myanmar mengalami sensor ketat. Publikasi berita politik baru mulai diizinkan setelah pemilihan umum 2010. Itu pun tak benar-benar bebas meliput.

Pemerintah Myanmar menggunakan undang-undang yang berkaitan dengan keamanan nasional untuk memenjarakan wartawan yang memberitakan isu sensitif seputar militer. Lima wartawan ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun pada Juli 2014. Adapun 47 wartawan dipenjarakan selama 14 tahun Presiden Then Sein memerintah.

Myanmar memiliki 32 surat kabar harian, 429 jurnal berita mingguan, 347 majalah bulanan, dan media eksil sebagai jurnal mingguan dan website. Setidaknya ada 4.000 wartawan di negara itu. Myanmar adalah satu di antara negara kawa­san Asia Tenggara yang tidak ramah terhadap media.

May Thingyan Hein, jurnalis lepas untuk liputan investigasi, mengatakan pentingnya jurnalis memberitakan pemilu bagi demokrasi. Menurut dia, jurnalis di daerah tidak mendapatkan informasi yang cukup dari Union Election Commission atau KPU Myanmar. Informasi tentang pemilu hanya terpusat di KPU pusat di Naypyidaw, ibu kota Myanmar. "Padahal, dalam meliput pemilu, jurnalis harus berimbang, adil, dan akurat menyajikan data," ujar May.

Selama pemilu, beberapa media nonpemerintah memberi porsi terhadap isu perempuan. Editor politik jurnal Kumudra berbasis di Yangon, Nan Lwin, menugasi reporternya untuk membuat tulisan tentang kandidat perempuan yang maju dalam parlemen. Jurnalnya mewawancarai lebih dari sepuluh kandidat perempuan. Kebanyakan kandidat berasal dari partai National League for Democracy, yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Nan memilih kandidat perempuan yang mengorbankan hidupnya untuk politik dan perempuan mantan tahanan politik. "Mereka berbasis di Shan dan Kachin," kata Nan. Shan dan Kachin adalah negara bagian yang rawan konflik di Myanmar.

Isu perempuan dan kekerasan selama pemilu juga ditulis oleh The Irrawaddy. Media ini meliput penggalangan dana kampanye oleh kandidat perempuan yang mendapatkan kekerasan. Mereka dihujat hanya karena bepergian dengan laki-laki. Direktur organisasi nonpemerintah, Gender Equality Network (GEN), May Sabe Phyu, mengatakan liputan media tentang calon perempuan dalam pemilu 2015 jauh lebih baik ketimbang pemilu periode sebelumnya.

Shinta Maharani (Yangon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus