Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegemaran Sori Siregar menonton teater menjadi tak leluasa setelah dia membubuhkan tanda tangan mendukung Manifes Kebudayaan. Ia saat itu berusia 24 tahun dan tinggal di Medan. Dia hanya berani masuk Gedung Kesenian Medan jika lampu sudah dimatikan. Jika lampu masih menyala, selalu ada orang meneriaki atau mengejeknya. "Meski saya datang setelah lampu dimatikan, tetap saja ada yang melihat dan berteriak kencang, 'Manikebu!'" kata Sori, kini 73 tahun, yang terlihat sehat.
Saat mendukung Manifes Kebudayaan, Sori bekerja sebagai Sekretaris Redaksi Mingguan Waspada Teruna. Selain bekerja di koran itu, dia kerap mengirim cerita pendek ke berbagai media. Salah satu karyanya pernah muncul di majalah Ibu Kota, Aneka, yang saat itu banyak mengulas berita film dan olahraga. Di Medan, Sori aktif dalam berbagai kegiatan kebudayaan, termasuk teater. Pada 1962, dia bahkan terpilih sebagai aktor terbaik dalam Festival Drama Sumatera Utara II.
Sejak Presiden Sukarno melarang dan menyatakan "ganyang Manikebu karena melemahkan revolusi" pada 8 Mei 1964, kehidupan Sori berubah 180 derajat. Dia dipecat dari kantornya. Ia pun tak lagi bebas melakukan aktivitas kesenian. "Saya kembali bergantung pada orang tua, tanpa pekerjaan," ujarnya.
Bersama 22 seniman Medan, Sori Sutan Sirovi Siregar—demikian nama lengkapnya—menjadi pendukung Manifes karena setuju kesenian dan politik mesti dipisahkan. "Aktivis Lekra dan PKI menuduh kami kontrarevolusi, padahal tidak," katanya.
Sementara Sori sudah bekerja ketika mendukung Manifes, Sapardi Djoko Damono saat itu mahasiswa tingkat akhir Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Sama seperti Sori, setelah ia mendukung Manifes, berbagai tekanan datang mendera.
Sapardi ingat, beberapa waktu setelah Sukarno melarang Manifes Kebudayaan, dia tengah menyutradarai pementasan drama. Pementasan itu hampir kandas—juga kacau-balau—karena para pemainnya, mahasiswa junior, waswas lantaran tahu sang sutradara musuh pemerintah. "Ada adegan mengangkat telepon, tapi lupa dibunyikan deringnya," ucapnya.
Sapardi tertarik menandatangani Manifes Kebudayaan karena sejak awal ia menilai tidak beres bila kesenian dikaitkan dengan kepentingan politik. "Menurut saya, nulis itu ya nulis, tidak harus diarahkan atau dipaksakan. Karena itu, saya setuju menandatangani manifesto tersebut." Saat itu, umurnya 23 tahun.
Dampak tanda tangan itu terasa setelah Sapardi lulus kuliah pada 1964. Ia tak bisa bekerja di Balai Pustaka seperti impiannya. Pemimpin Balai Pustaka menolaknya mentah-mentah. "Ngapain ke sini? Kamu tak akan diterima," ujar Sapardi. Ia sangat ingat kalimat yang dilontarkan kepadanya itu. Sapardi lalu malang-melintang, bekerja apa pun, untuk mencari uang. Belakangan seorang temannya berkirim surat, menawarinya mengajar sastra Inggris di Universitas Malang Cabang Madiun. Ia pun berangkat ke Madiun.
Di lingkungan kampus, Sapardi melihat betapa kuatnya friksi di antara mereka yang berbeda keyakinan politik, baik di kalangan dosen maupun mahasiswa. Itu terutama antara Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). CGMI memusuhinya. Namanya ditulis di tembok kampus dan kemudian ditembloki lumpur. "Saya dianggap sesuatu yang berbeda dengan yang lain," ucapnya. Meski merasa tertekan, ia terus bertahan karena kebutuhan pekerjaan untuk hidup.
Saat Orde Lama tumbang, Sapardi tetap mengajar. Pada mata kuliah sastra dunia, ia memperkenalkan para sastrawan Rusia, seperti Anton Chekhov dan Tolstoy. Tindakannya ini ternyata dicurigai aktivis kampus dari HMI, yang menuduhnya komunis. "Saya bingung. Sebelumnya saya dianggap antikomunis, tapi selanjutnya dianggap komunis. Jadi saya harus berdiri di mana? " katanya mengenang situasi sulit yang menimpanya setelah Orde Lama jatuh itu.
Sama seperti Sapardi yang tak bisa meraih keinginannya bekerja di Balai Pustaka, Taufiq Ismail kehilangan kesempatan kuliah di Amerika Serikat lantaran menandatangani Manifes Kebudayaan. Ketika mendukung Manifes, ia bekerja sebagai dosen Institut Pertanian Bogor. Kala itu, ia bersiap-siap melanjutkan studi S-2 di Kentucky University. Taufiq mendapat beasiswa untuk belajar ilmu peternakan di sana.
Dukungan terhadap Manifes membuat Taufiq diberhentikan sebagai dosen. "Otomatis beasiswa saya hilang karena sudah tak terdaftar sebagai dosen," tuturnya. Pemecatannya sebagai dosen terjadi tiga bulan setelah Presiden Sukarno melarang gerakan Manifes Kebudayaan. Taufiq terhitung aktvis gerakan itu. Ia ikut rapat dan merumuskan Manifes, yakni di sebuah rumah di Jalan Raden Saleh, Jakarta. Usianya saat itu 29 tahun.
Di kampus, para mahasiswa kerap mengejeknya dengan teriakan "Manikebu" berulang-ulang. "Anak-anak kiri berteriak 'Manikebu' setiap bertemu dengan saya," ujarnya. Masa penuh tekanan berbaur dengan kisah percintaannya yang berakhir kelam. "Pada saat yang sama, saya putus cinta dengan pacar. Bayangkanlah kondisinya saat itu."
Sejak kehilangan pekerjaan, Taufiq banting setir menjadi pedagang batik. Dia pulang ke rumah orang tuanya di Pekalongan untuk mengambil batik dan menjualnya di Jakarta. "Setiap kembali ke Jakarta, saya membawa dua-tiga kodi kain batik," ujarnya.
Ayah Taufiq, Gaffar Ismail, adalah kiai karismatis di Pekalongan yang memiliki murid ribuan. Bekas muridnya banyak yang berdiam di Jakarta, Bogor, dan Bekasi. Ke sanalah Taufiq menjajakan batiknya. "Saat saya tawarkan, mereka terharu dan membeli batik saya," katanya.
Dari berdagang batiklah Taufiq bertahan hidup. Dia indekos di Jakarta dan melanjutkan aktivitas politiknya melawan pemerintah Orde Lama. Bersama sejumlah temannya, Taufiq membuat berbagai selebaran yang isinya mengkritik Orde Lama. Aktivitas kegiatannya itu terutama di tempat para seniman biasa berkumpul, di Jalan Raden Saleh dan Balai Budaya. Selama dua tahun ia menjadi pedagang batik "kagetan". Setelah Orde Lama jatuh, ia mendapat tawaran bekerja di Dewan Kesenian.
H.B. Jassin (almarhum) juga merasakan pahit-getir akibat mendukung Manifes Kebudayaan. Dia dipecat dari tempatnya bekerja, Lembaga Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan sebagai dosen Universitas Indonesia.
Sejak 1962, Pramoedya Ananta Toer dari Lembaga Kebudayaan Rakyat dan Jassin bersitegang. Pram, lewat majalah Lentera, menuduh novel Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, merupakan plagiat dari karya pengarang Arab, Manfaluthi. Jassin, yang memimpin majalah Sastra, membela Hamka dengan menerbitkan terjemahan asli karya itu.
Ketegangan Pram dan Jassin terus berlanjut hingga lahirnya Manifes Kebudayaan. Dalam wawancara dengan majalah Tempo pada 10 Mei 1999, Pram menjelaskan sikapnya terhadap para pendukung Manifes Kebudayaan. "Saya cuma membuat polemik. Saya hanya menulis. Yang tidak setuju, ya, minggir saja. Negara kan dalam keadaan bahaya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo