Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”There are things known and things unknown and in between are the Doors....”
KALIMAT terkenal Jim Morrison itu mungkin tepat untuk meresumekan niatan pameran 1001 Doors Reinterpreting Traditions” di Ciputra Marketing Gallery, Jakarta, yang dikuratori Asmujo Irianto. Kita ingat pada 1965 vokalis Jim Morrison, keyboardist Ray Manzarek, gitaris Robby Krieger, dan drumer John Densmore mengikrarkan The Doors sebagai nama band. Inspirasi nama itu mereka dapat dari selarik puisi penyair Inggris, William Blake (1757–1827): ”If the doors of perception were cleansed every thing would appear as it is, infinite,” yang dikutip di buku Aldous Huxley, The Doors of Perception.
Sebanyak 101 perupa, arsitek, fotografer, desainer (mode, produk, interior, dan aksesori) yang diundang terlibat dalam pameran ini agaknya diharapkan mampu menyajikan kekayaan tafsir infinite atas pintu itu. Dari pintu sebagai simbol keamanan sampai jalan masuk arwah orang mati. Dari pintu sebagai metafor kerangkeng sampai hal yang darurat. Pintu adalah jembatan masa lalu, sekarang, dan akan datang.
Tidak semua karya dalam acara yang digagas Galeri Lawang Wangi, Bandung, ini menggebrak. Beberapa perupa dan arsitek yang selama ini dikenal memiliki karya instalasi cemerlang seolah macet ide, karyanya tidak bunyi bila tidak dikatakan mengada-ada. Tapi beberapa perupa yang bukan tergolong ”blue chip” justru karyanya cukup menggelitik.
Bila kita baca, secara umum titik tolak karya 101 seniman ini bertolak dari gagasan tradisi dan global atau hibrida dari keduanya. Pada Ulos Hela karya Altje Ully, misalnya, kita melihat ide berasal dari dunia adat. Ia menghadirkan pintu dengan jeruji jendela di bagian atasnya. Di dalamnya ada patung kepala mengenakan ulos. Seniman kelahiran Tarutung, Sumatera Utara, ini ingin berbicara tentang keterkaitan perkawinan dan kematian di Tapanuli. Di sana ada adat orang tua mempelai perempuan memberikan ulos hela kepada mempelai pria. Kain itu kelak akan menjadi penutup jenazah sang mempelai pria saat meninggal.
Pada Bagus Pandega kita melihat sebuah pintu hitam sungguhan seolah terbuat dari baja, yang bisa bergerak sendiri dan berbunyi dengan irama ritme bandul jam. Akan halnya Budi Pradono menyajikan gerbang yang bentuknya futuris, tapi terbuat dari tumpukan gulungan koran dari berbagai negara. Ada De Telegraf, NRC Handelsblad, Broodje Barmhartigheid, juga koran berbahasa Rusia, Cina, dan Jepang.
Rata-rata imaji seniman terhadap pintu tidak begitu jauh dari bentuk pintu asli sehari-hari yang kita kenal. Bentuk pintu itu lalu dikreasi, diberi ornamen tambahan seperti motif mega mendung Cirebonan oleh Radi Arwinda, atau dipermak dibuat bolong-bolong oleh Mimi Fadmi. Lihat para seniman yang menggunakan pintu lawas. Pintu lawas itu diukir atau diberi ilustrasi lain. Pintu lawas sendiri rata-rata berbahan kayu jati tua dengan kunci berupa engsel, selot kayu geser, atau gembok yang eksotis.
Cantolan gemboknya bermacam-macam. Ada yang berupa dua cincin yang ditautkan dengan gembok, dan ada yang model knop bersayap dengan lengkungan tempat cantolan gembok seperti pintu gudang. Dipo Andy, misalnya, menghadirkan sebuah pintu jati lawas dengan pengunci selot kayu geser. Di sekujur pintu itu ia tempelkan 98 buah canting. Karyanya berjudul Canting Project #2.
Beberapa seniman membuat pintu dari bahan bekas. Lurus Jalan Terus karya Eko Prawoto berupa sepasang pintu lengkap dengan kusen yang dibuat dari kaleng bekas yang direkatkan dengan patri. Adapun Nandang Gawe menghadirkan sebuah lawang beroda yang dibangun dari beberapa roda bekas sepeda anak-anak, lempeng pelek sepeda, dan sisa-sisa potongan lis aluminium.
Beberapa pengecualian, mereka yang tidak menghadirkan asosiasi pintu konvensional misalnya I Wayan Sujana. Karyanya berjudul Phallus menggabungkan drum yang dicor beton dengan rajutan besi di bawahnya, yang menjadi simbol bertemunya lingga dan yoni. Pintu kecil tembus ke dasar drum menggambarkan adanya pintu kehidupan baru yang bakal muncul jika lingga-yoni bertemu. Atau karya Jatiwangi Factory, Memasuki Gerbang Mimpi, yang menghadirkan tujuh deretan bantal keramik. Ada orang yang seolah masuk ke bantal-bantal itu dan hanya tangannya di depan dan kakinya di belakang yang terlihat.
Asmudjo Irianto, kurator, membagi pameran ”kolosal” ini menjadi sembilan kategori (Door to Traditional Space; Mining Door; Pintu Waktu; Connecting Door; Emergency Door; Virtual Door; Pintu Mimpi; Door, Soul and Spirituality; dan Seribu Satu Pintu). Sungguh pembagian yang menarik. Tapi, berjalan dari satu karya ke karya lain, yang tak terasa adalah perbedaan dari satu kategori ke kategori lain. Mungkin cara penempatan dan display yang terlalu dekat antara karya satu dan karya lain membuat muncul perasaan demikian. Bila sebuah karya dimanjakan dengan spasi ruang yang luas (yang mungkin di Galeri Ciputra), misteri pintu antara ”known and unknown” yang diutarakan Jim Morrison itu pasti bisa mengemuka. Di situ ziarah dari pintu ke pintu barangkali tak terasa monoton.
Dwidjo U. Maksum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo