Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melawan Pemanasan Global dengan Ruang Hijau

Suhu panas ekstrem sedang terjadi di berbagai belahan dunia. Pemanasan global tidak ditangkal semata dengan membuka ruang hijau.

24 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta, 1 Februari 2023. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Suhu panas ekstrem yang menyerang berbagai belahan dunia merupakan bagian dari pemanasan global.

  • Perencanaan kota yang memperhitungkan kontur alam berperan penting dalam mengurangi dampak pemanasan global.

  • Membangun ruang terbuka hijau perlu memperhitungkan lingkungan sekitar dan aktivitas warganya.

Salah satu pesan utama dari pertemuan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) adalah mengintegrasikan ruang beton dan ruang hijau sebagai strategi adaptasi perubahan iklim. Ketika kota-kota modern telah meninggalkan praktik tradisional, leluhur-leluhur kita sebenarnya lebih memahami cara hidup dengan alam ketimbang kita. Karena itu, semakin banyak peneliti yang mendalami cara sejumlah kota mengatasi perubahan iklim yang mendorong kita untuk meraih kembali pengetahuan lokal tentang alam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembangunan kota kerap tak mempertimbangkan orientasi air, angin, dan cahaya. Dalam menghadapi pemanasan kota, pendingin ruangan (AC) terus menjadi jalan keluar di negara-negara maju, bagaimanapun jenis cuacanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AC memang menurunkan risiko penyakit akibat cuaca panas, tapi tagihan listriknya tak terjangkau masyarakat miskin. Mesin pendingin ruangan juga menyebarkan hawa panas sehingga meningkatkan tekanan panas bagi orang-orang di luar ruangan. Semua berlangsung saat terjadi peningkatan besaran, frekuensi, dan durasi suhu panas ekstrem.

Kota padat penduduk yang beriklim hangat dan lembap berisiko lebih besar. Area perkotaan secara umum lebih panas sekian derajat daripada daerah sekitarnya akibat permukaan tanah yang telah ditutupi aspal, semen, dan gedung. Fenomena ini disebut efek pulau panas perkotaan. Hilangnya kawasan alami akibat urbanisasi mengurangi mekanisme pendinginan evaporatif dan efek adem dari kerindangan pepohonan. Pembangunan yang menghambat saluran alamiah, seperti lembah, tepian sungai, dan pantai, juga mengurangi ventilasi alami.

Pemerintah daerah yang berwenang mengatur penggunaan lahan dan pembangunan berperan penting dalam mengurangi pengurangan risiko panas lewat berbagai cara. Contohnya, memodifikasi peraturan tata kota, tata ruang, dan mewajibkan bangunan memperbaiki ventilasi serta ruang-ruang hijau dalam mengurangi efek pulau panas perkotaan. Cara ini sekaligus memperbaiki kesetaraan sosial dalam adaptasi panas. Memperbaiki ventilasi kota dan memperluas lahan hijau di kawasan gersang dapat mengurangi kebutuhan AC serta membantu memitigasi risiko kesehatan yang berkaitan dengan suhu panas bagi kelompok masyarakat bawah.

Kota Stuttgart, Jerman, terkenal sebagai pelopor tata kota berdasarkan klimatologi. Berlokasi di lembah, kota ini sebelumnya kesulitan mendapat akses cahaya dan udara bersih. Namun, pada 1938, Pemerintah Kota Stuttgart berpikir jauh ke depan dengan melibatkan ahli klimatologis dalam perencanaan tata kota mereka. Berdasarkan riset panjang, mereka mendapati angin yang membawa udara bersih lewat perbukitan yang menurun terhalang gedung-gedung yang dibangun serampangan. Mereka lalu mengatur agar tercipta bidang tanah terbuka di lereng bukit. Berbagai penyesuaian geografis yang mempengaruhi aliran udara, seperti hutan di gunung, sungai, lembah, dan ruang hijau lain, dibuat sebagai zona ventilasi dalam rencana tata kota.

Termometer menampilkan suhu udara di Kumagaya, Prefektur Saitama, Jepang, 18 Juli 2023. The Yomiuri Shimbun via Reuters

Taipei merupakan kota subtropis yang berlokasi di cekungan. Sejumlah riset menggambarkan sirkulasi udara laut-darat di kota itu. Selama musim panas, angin laut dan gunung bertiup mengikuti lembah-lembah Sungai Danshui, Keelung, serta Dahan, melintasi sekaligus menyejukkan Taipei.

Namun pembangunan kota modern mengabaikan mekanisme alami itu. Lembah-lembah dijadikan koridor transportasi, sedangkan daerah pantai menjadi pusat pembangunan. Akibatnya, angin tak dapat masuk kota. Hasilnya, di luar faktor urbanisasi yang lebih intensif, Taipei mengalami dampak tren pemanasan yang lebih cepat dan tinggi daripada kota-kota lain di Taiwan.

Padahal, saat regenerasi kota, ada kesempatan bagi pemerintah untuk memasukkan pengetahuan klimatologi dalam tata ruang. Mereka dapat menentukan zona ventilasi lewat kontur geografis, lalu secara sistemik membentuk ruang terbuka guna membuka jalan bagi angin yang mendinginkan kota.

Ruang terbuka hijau memang berpengaruh terhadap iklim kota secara mikro, dengan menurunkan suhu lingkungan. Namun efek penurunan suhunya terbatas, kurang dari seratus meter.

Pembangunan geometri di sekitar ruang hijau menentukan sejauh mana udara dingin dapat tersebar. Kalau tak ada sumber panas ataupun rintangan fisik yang menghalangi, aliran udara itu bisa berjalan lebih jauh. Maka, hanya memperluas cakupan ruang hijau tanpa mempertimbangkan lokasi sekitarnya, tak dapat menjawab persoalan pemanasan kota secara efektif. Memahami mekanisme pendinginan ini sangat penting bagi kota-kota, seperti Taipei, yang bangunannya sangat padat. Maka, ruang hijau perlu dikembangkan dan dibangun secara lebih strategis.

Ruang hijau yang luas memiliki jangkauan yang lebih luas. Namun, tentu saja, tak semua kota bisa menyediakan bidang tanah yang luas untuk ruang hijau, terutama bagi kota yang telanjur padat bangunan. Namun petak-petak kecil vegetasi juga bisa menurunkan suhu.

Mengelompokkan petak-petak kecil secara berdekatan atau menyebarkan di bidang yang sejuk, seperti sungai, taman, dan hutan, bisa memperpanjang pendinginan. Pemahaman ini menghadirkan pilihan untuk menciptakan ruang hijau luas di tengah kota yang panas dan padat bangunan. Mendorong terbentuknya kebun-kebun kecil secara berdekatan di halaman sekolah, kawasan bisnis, rumah, dan lahan tidur yang dapat menurunkan suhu di kawasan padat penduduk.

Warga beraktivitas di ruang terbuka hijau di Jakarta, 1 Februari 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Tanaman memiliki efek pendinginan yang berbeda. Secara umum, lahan yang ditanami pohon lebih dingin daripada lahan yang ditutupi rumput dan semak. Tumbuhan menyedot air dari tanah dan menguapkannya dari daun. Proses ini, disebut evapotranspirasi, mengurangi panas di area sekitarnya. Pohon, dengan permukaan daun yang lebih lebar, biasanya memiliki kemampuan evapotranspirasi yang lebih tinggi daripada rumput dan semak. Hal lain yang lebih terasa efeknya, pohon menyediakan keteduhan.

Sejumlah riset mendapati temuan bahwa, pada musim panas, lahan berumput memiliki suhu permukaan yang sama dengan trotoar, akibat terpapar langsung sinar matahari. Tak seperti di negara beriklim sedang, area teduh dari gedung maupun pohon merupakan hal penting untuk aktivitas luar ruangan di negara tropis. Pada siang musim panas, orang-orang kerap mencari rute teduh serta menghindari bidang berumput. Karena itu, penambahan ruang hijau untuk pendinginan perlu mempertimbangkan baik jenis tanaman maupun aktivitas warga di sana.

Memahami iklim lokal sangat penting bagi adaptasi suhu panas. Pada iklim kering dan panas, kita mendapati gang-gang sempit di antara bangunan menjadi tempat warga ngadem. Berbeda pada iklim sedang, ruang terbuka berumput dan kaya sinar matahari menjadi tempat favorit warga.

Lebar jalan dan rasio tinggi bangunan mempengaruhi iklim mikro lewat cara yang rumit. Di satu pihak, jalan yang sempit dan gedung-gedung tinggi menutupi paparan langsung sinar matahari yang membuat permukaan jalan panas. Di sisi lain, konstruksi seperti ini membuat aliran udara terhambat. Jalan yang lebar mempersilakan angin dingin masuk, tapi sengatan sinar matahari ikut masuk. Solusinya adalah menanam pohon dengan tajuk lebar.

Pengukuran suhu dari satelit di Taipei menunjukkan efek pendinginan yang jelas dan stabil dari pohon-pohon jalanan di dua ruas utama kota itu pada musim panas. Kedua jalan tersebut dilengkapi jalur hijau dengan tajuk besar. Pohon-pohon itu menyediakan keteduhan dan kesejukan bagi warga yang berjalan kaki maupun berkendara saat musim panas.

Ruang hijau memiliki aneka fungsi. Dari rekreasi, interaksi sosial, habitat binatang liar, peredam kebisingan, penyaring polusi, hingga pengaturan suhu. Fungsi-fungsi itu penting bagi kualitas hidup warga kota. Namun berbagai fungsi tersebut tak selalu hadir berbarengan. Ruang hijau yang dibangun untuk pendinginan bisa jadi tak memiliki fungsi lain. Misalnya, karena membutuhkan pohon dengan tajuk besar, pemilihan pohon jadi seragam, sehingga mengurangi biodiversitas kota itu.

Menghadapi pemanasan global, kota perlu menerapkan strategi untuk menurunkan suhunya. Penghijauan merupakan cara yang murah, tapi penting bagi kesejahteraan warganya.

---

Artikel ini ditulis oleh Wan-Yu Shih, lektor kepala Departemen Tata Kota dan Manajemen Bencana di Ming-Chuan University, Taiwan. Terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di 360info dan diterjemahkan oleh Reza Maulana dari Tempo.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus