Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Tanjungpinang - Berdiri sejak 2008 dan mulai beroperasi pada bulan April 2009, Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pusat Tanjung Pinang, telah menindak ratusan warga negara asing yang bermasalah di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangunan tiga lantai yang terletak di Jalan Jenderal Achmad Yani No 31 A Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, tersebut merupakan tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenakan proses pengusiran atau deportasi atau tidakan Keimigrasian lainnya yang terbesar di Indonesia. Wilayah kerjanya mencakup seluruh wilayah mulai dari Sabang hingga Merauke.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbentang di atas tanah 4.692 meter persegi. Rudenim Pusat Tanjungpinang mempunyai 13 blok dan enam ruang isolasi. Kapasitasnya dapat menampung 400 sampai dengan 500 deteni (sebutan bagi WNA yang menghuni rumah detensi imigrasi).
Tak ubahnya sebuah penjara, Rudenim juga dilengkapi dengan penjagaan ketat dan blok-blok yang dibatasi jeruji besi. Fasilitas di sana juga terbilang lengkap mulai dari sarana olahraga, tempat ibadah, ruang isolasi, ruang makan, hingga klinik.
Memasuki ruangan depan terpampang tulisan "Selamat Datang di Rudenim Pusat Tanjungpinang" menyambut setiap tamu yang berkunjung. Biasanya para tamu berasal dari keluarga para deteni yang hendak mengurus kepulangan atau perwakilan duta besar negara yang bersangkutan.
Tertulis di ruang tunggu jumlah deteni yang mendekam dan beragam informasi lainnya. Saat ini yang mendekam di Rudenim Pusat Tanjungpinang sebanyak 30 deteni, berasal dari Nigeria, Myanmar, Palestina, Ghana, Iran, Uganda, Pantai Gading, Filipina, India dan Senegal.
"Pelanggaran mereka rata-rata overstay," kata Kepala Rudenim Pusat Tanjungpinang, Agung Prianto ditemui Tempo, Rabu, 14 Mei 2024.
Rudenim Pusat Tanjungpinang ini berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Imigrasi. Rudenim menjalankan fungsi keimigrasian sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang melanggar Undang-Undang Imigrasi.
Dasar hukum pendirian Rudenim itu berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No.M.05.IL.02.01 tahun 2006 Tentang Rumah Detensi Imigrasi dan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-1002.PR.02.10 Tahun 2006 tentang tata cara pendetensian orang asing.
Saat ini di Indonesia telah ada 13 rudenim yang tersebar di berbagai kota, yakni Tanjungpinang, Jakarta, Medan, Pekanbaru, Semarang, Surabaya, Pontianak, Balikpapan, Manado, Denpasar, Kupang, Makassar, dan Jayapura.
"Tanjungpinang ini Rudenim Pusat, orang asing yang melanggar, jika setelah 30 hari tak berhasil dideportasi oleh kantor imigrasi, maka dikirim ke sini," kata Agung.
Tidak ada batasan waktu para WNA pelanggar undang-undang itu bisa mendekam di Rudenim. Apabila syarat sudah terpenuhi untuk bisa pulang maka itu menjadi hari terakhir WNA tersebut berada di Indonesia.
"Persyaratannya biaya kembali ke negaranya ditanggung deteni," kata Kasi Pemulangan dan Deportasi Rudenim Pusat Tanjungpinang, Kristian.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 63 ayat (3) UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, biaya yang timbul akibat tindakan administratif berupa deportasi, akan dibebankan kepada penjamin WNA.
Kristian mengatakan, hal itulah yang kemudian menjadi tantangan bagi Rudenim untuk bisa memulangkan para deteni ke negara asal. Ditambah lagi ada pula WNA yang datang ke Indonesia karena lari dari negaranya sebab konflik.
"Ada satu deteni di sini berasal dari Iran, sudah 8 tahun mendekam karena tak mau pulang," kata Kristian.
Kristian mengatakan, deteni dari Iran itu kabur dari negaranya dan hendak menjadi pengungsi, namun ditolak oleh IOM (Organisasi Internasional untuk Mograsi) sehingga statusnya sebagai deteni.
"Ketika hendak kami pulangkan, dia menolak karena khawatir nyawanya, tapi dia bukan pengungsi, disebutnya final reject," kata Kristian.
Indonesia merupakan negara yang strategis, karena berbatasan dengan Australia. Tujuan pencari suaka datang ke Indonesia bukan ingin tinggal, melainkan sebatas transit untuk sampai ke Pulau Natal, Australia, salah satu negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol New York 1967 tentang Status Pengungsi.
Tapi, pemerintah Indonesia tidak dapat memulangkan atau mengusir para pemcari suaka karena menganut asas Non-Refoulement, yakni larangan bagi suatu negara untuk memulangkan paksa pengungsi berdasarkan Pasal 33 Konvensi 1951.
"Ini yang kemudian jadi kendala kami, jika deteninya tak mau pulang, kami tidak bisa memaksa," kata Kristian.
Namun begitu, kata Kristian, Rudenim tetap berupaya memulangkan para deteni ke negara asalnya. "Kami aktif untuk membrikan asistensi ke setiap deteni dalam hal pemulangannya," kata Kristian.
Hak Deteni tak dicabut selama mendekam
Meski kondisi rudenim tak ubahnya sebuah penjara, namun para deteni tidak dicabut haknya seperti seorang narapidana. Para deteni tetap diperbolehkan berinteraksi dengan dunia luar. Penahanan badan hanya untuk mengantisipasi perilaku tidak diinginkan oleh para deteni.
"(Bedanya dengan Lapas) para deteni disini tidak dicabut haknya (seperti narapidana), mereka boleh pegang handphone untuk berkomunikasi dengan keluarganya," kata Kasi Keamanan Rudenim Pusat Tanjungpinang, Sony Septiadi.
Deteni juga diberikan hak perawatan apabila menderita sakit saat mendekam hingga bisa sembuh.
Pilihan Editor: Sekjen DPR Indra Iskandar Gugat Praperadilan KPK atas Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi Rumah Dinas