Inilah sebuah buku biografi politik yang luar biasa mahal harganya, yang terutama membahas cara Soeharto meraih (dan akhirnya kehilangan) kekuasaan. Namun, buku ini tak secara sistematis mengulas penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan sang Jenderal.
--------------------------------------------------------------------------------
SUHARTO, A POLITICAL BIOGRAPHY
Penulis : Robert Edward Elson
Penerbit : Cambridge University Press, 2001, 389 hlm.
Sangat sulit menentukan bagaimana peran Soeharto dalam sejarah (Indonesia) kini. Setelah ia berhenti jadi presiden pada 1998, arus sejarah cenderung menanggalkan atribut kebesaran yang telah dilekatkan dan disandangnya selama puluhan tahun. Kehebatannya, yang telah diangkat ke layar lebar (Janur Kuning dan Serangan Fajar), dipertanyakan orang. Misalnya, ternyata Soeharto bukanlah konseptor Serangan Oemoem 1 Maret 1949 yang dibangga-banggakannya itu. Supersemar, yang menjadi entry point baginya untuk masuk ke Istana, masih dicari naskah aslinya dan diperdebatkan bagaimana cara mendapatkannya. Ia pun dikaitkan dengan G30S, dengan mengarahkannya sebagai orang yang paling diuntungkan dalam proses kudeta merangkak (1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai satu kesatuan gerakan untuk merebut kekuasaan dari tangan Sukarno).
Dalam arus balik sejarah seperti itu, jelas sukar untuk menulis secara jernih mengenai Soeharto. Pandangan Juwono Sudarsono—yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan Soeharto selama berkuasa tidak semuanya buruk, ada juga yang baik, bahkan Soeharto juga pernah berjasa—ditanggapi dengan sinis. Bukankah Juwono sendiri pernah menjadi menteri selama Orde Baru?
Tentu timbul pertanyaan apakah pada setiap perubahan pemerintahan terjadi hal serupa. Dengan kata lain, apakah pergantian rezim senantiasa diikuti dengan perubahan historiografi? Tidak selalu demikian, walaupun dalam kasus peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto bentuknya sangat kentara. Pergeseran itu tidak terjadi dalam sekejap mata, tetapi terjadi selama tahun-tahun. (Para pembantu) Jenderal mencurahkan segenap daya dan cara untuk sampai ke sana.
Maka, Sukarno pun dibunuh dua kali, seperti kata sejarawan Prancis, Jacques Leclerc. Perlakukan keras terhadap Sukarno menyebabkan kesehatannya semakin buruk dan akhirnya, 21 Juni 1970, ia wafat. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya 1 Juni 1970, peringatan hari lahir Pancasila ditiadakan oleh pemerintah. Pada 23 September 1970, Kopkamtib melarang beredarnya ajaran-ajaran Bung Karno dan melarang peringatan hari kematiannya (instruksi 010/KOPKAM/9/1970). Sebelumnya, sejarawan militer Nugroho Notosusanto telah mengotak-atik fakta bahwa Sukarno bukan penggali Pancasila dengan dalih M. Yamin telah mengulasnya lebih dahulu.
Dulu Sukarno memang ditekan habis-habisan kelompok Soeharto sehingga segala sesuatu yang berbau Sukarno disingkirkan. Ajarannya dilarang. Ia sakit secara fisik dan disakiti secara psikologis. Keadaannya berbeda sekali dengan sekarang. Soeharto memiliki fasilitas kesehatan yang sempurna, dengan puluhan dokter serta fasilitas hukum yang juga komplet dengan belasan pengacara yang keluar-masuk televisi.
Dalam kondisi seperti itulah terbit buku Robert Edward Elson, Suharto, Political Biography, Cambridge U.P., Oktober 2001. Elson, yang kini menjadi profesor di Universitas Griffith, Brisbane, sebelumnya telah menulis disertasi Javanese Peasant and the Colonial Sugar History: Impact and Change in an East Java Residency, 1830-1940 (Oxford U.P., 1984). Tahun 1997, ia menerbitkan buku The End of the Peasantry in Southeast Asia: a Social and Economic History of Peasant Livehood, 1800-1900 (Maxmillan). Entah kenapa ia tertarik pada orang kuat Orde Baru itu. Barangkali karena Soeharto adalah anak petani dan bergaya petani ketika berkuasa.
Menurut Elson, Indonesia kelihatannya ingin melupakan Soeharto dan karya-karyanya serta menganggap Orde Baru sebagai suatu penyimpangan dalam perkembangan sejarah negeri ini. Sikap seperti itu dapat dipahami, tapi Elson menganggapnya ”dangkal”. Padahal, ”Soeharto merupakan tokoh yang amat penting selama abad ke-20 di Asia,” demikian ditulis Elson. ”Secara bertahap, serba hati-hati dan terencana, ia telah membangun Indonesia yang sama sekali baru.” Pada bab terakhir, dikatakan bahwa Indonesia baru yang diciptakan melalui tahap-tahap pembangunan berencana telah melahirkan kekuatan baru yang menginginkan ”reformasi total”.
Bab pertama sampai bab lima buku ini berupa kronologi pengalaman Soeharto dari masa kecil, menjadi tentara semasa revolusi, komandan militer di Jawa Tengah, tugas penting tahun 1960-1965, percobaan kudeta. Bab 6 sampai dengan 11 membahas usaha meraih kekuasaan (1965-1968), legitimasi dan konsolidasi (1968-1973), berbagai masalah Orde Baru (1973-1980), ekonomi, politik, dan pembangunan (1980-1988), puncak ke-jayaan (1988-1993), kemerosotan (1993-1998).
Pengalaman Soeharto selama revolusi digambarkan dalam sebuah bab panjang (32 halaman). Arsip Belanda dan koran-koran yang terbit semasa revolusi digunakan sebagai sumber. Namun, pada bab mengenai masa revolusi ini relatif tidak ada yang baru. Operasi gerilya itu sengaja diuraikan agak rinci dengan alasan untuk mengetahui apa yang menyebabkan Soeharto percaya diri (karena pernah berhasil memimpin pasukannya). Tetapi, di lain pihak, keterangan yang panjang-lebar itu juga menggambarkan betapa berjasanya Soeharto dalam perang melawan Belanda selama revolusi. Maka, meski niat Elson adalah pemahaman tindakan sang pelaku sejarah, kesan yang timbul bagi pembaca adalah penonjolan kepahlawanan Soeharto.
Mengenai peristiwa 3 Juli 1946 (Soeharto membocorkan ke Istana rencana ”kudeta” Mayor Jenderal Sudarsono dan kawan-kawan), disimpulkan bahwa itu merupakan kualitas Soeharto yang menjadi karakternya di kemudian hari, yaitu ”caution, coolness, calculated decisiveness when the time was right”. Namun, dari sisi lain, bukankah kejadian itu dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap atasannya sendiri (Mayor Jenderal Sudarsono), atau bahwa segalanya dapat dihalalkan untuk mencapai tujuan?
Sedangkan kontroversi mengenai konseptor serangan 1 Maret 1949—Sultan ataukah Soeharto—hanya dibahas sepanjang satu alinea, tetapi rincian tentang serangan itu sendiri diuraikan dalam 15 alinea dengan mengutip antara lain ”sejarah resmi Kodam Diponegoro”. Elson juga doyan menyitir buku versi penguasa, seperti yang disusun oleh Abdul Gafur, Anton Tabah, Roeder, dan Nazaruddin Sjamsudin. Sementara itu, mengenai aspek kejiwaan Soeharto, laporan penelitian yang bagus dari dosen psikologi UI, Bagus Takwin, Niniek L. Karim, Hamdi Muluk, Soeharto; Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat (2001), tidak disinggung sama sekali.
Sejarah memang untuk memahami, bukan menilai. Maka, penulisnya bisa berdalih buku ini ditujukan untuk memahami Soeharto, tetapi jangan heran jika menganggap buku ini sebagai rangkaian upaya untuk memulihkan nama baik Soeharto. Apalagi buku itu diluncurkan di CSIS, yang merupakan think tank awal Orde Baru. Bahkan beberapa bulan sebelumnya telah diadakan seminar serupa di tempat yang sama dengan penulis yang sama. Elson, kelahiran Sydney 1947—ayah enam orang anak—sebelum masuk Universitas Monash sempat belajar teologi selama lima tahun. Barangkali dimensi teologis ini juga ikut mewarnai buku Elson (yang tidak merasa geram terhadap ulah Soeharto).
Selain dari persoalan kontroversial tersebut, terdapat beberapa kekeliruan dalam buku ini. Misalnya, dalam kepustakaan dicantumkan buku Adian Husaini, Soeharto 1998, yang terbit tahun 1996. Buku Elson ini ditujukan kepada sejarawan ekonomi Thee Kian Wie —a True Indonesian. Bolehlah kalau buku tentang industri gula atau transformasi di pedesaan. Tetapi biografi politik, apa hubungannya? Lebih tepat jika buku ini ditujukan bukan kepada Pak Thee, melainkan Bu Tien. Ada pula beberapa kesalahan ketik yang biasa dilakukan orang asing yang meneliti Indonesia, seperti penulisan ”Sabtu Pandito Ratu” (hlm. 129).
Dalam rangka pengusutan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), yang diamanatkan oleh ketetapan MPR, Soeharto dan kroni-kroninya harus diusut. Sejarah Soeharto hari ini adalah sejarah kejahatan (KKN dan pelanggaran hak asasi manusia). KKN tidak dilakukannya sendirian, tetapi ”jasa” Soeharto adalah menciptakan kondisi agar KKN itu diterima dalam masyarakat sebagai sesuatu yang wajar. Ia sendiri yang merintisnya sejak dari Semarang. Demi kesejahteraan anak buah, demikian alasannya. Pelanggaran berat hak asasi manusia telah dimulai sejak Oktober 1965 (pembantaian setengah juta warga sebangsa), penahanan politik di Pulau Buru (1969-1979), pembunuhan di Irianjaya, Timor Timur, Aceh, Lampung, dan Jakarta (Tanjungpriok, kasus 27 Juli 1996, Trisaksi, Semanggi, dan lain-lain).
Belakangan ini wacana untuk mengenang ”jasa” Soeharto telah dioperasionalkan. Sopir taksi dan kuli bangunan sering berkomentar, ”Dulu, waktu Pak Harto, tidak ada bom-bom. Lebih aman. Banyak proyek.” Para penyiar televisi yang imut-imut seolah merasa berdosa bila menyebut nama Soeharto tanpa sebutan ”Pak”. Sementara dulu Sukarno terbunuh dua kali, Soeharto seakan tak pernah mati-mati. Nama Soeharto tetap ”hidup” di Jakarta, di Poso, Ambon, Sampit, Aceh, tempat wacana stabilitas bercampur dengan permainan intelijen, dana operasi, dan kekerasan.
Menurut Mochtar Pabottingi, Jenderal Soeharto masih bisa berguna bagi negeri ini bila ia dapat mengoordinasi putra dan kroni-kroninya untuk membantu pemulihan ekonomi nasional. Tetapi, kenyataannya, ia malah hanya mau menyelamatkan diri dan keluarganya. Yang paling repot sebetulnya, sampai tahun 2000, ia sedikit pun tidak merasa bersalah atas kerusakan negeri ini. Menurut tim dokter, ada kerusakan otak yang dideritanya secara permanen. Apakah faktor keturunan juga berperan di sini? Ibunya menderita gangguan jiwa setelah melahirkannya. Pertanyaan yang penting diketahui masyarakat: sejak kapan Soeharto menderita penyakit itu?
Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini