PAGI itu, 1 Maret 1949, Yogyakarta merayakan kenduri besar. Di bawah pimpinan Kolonel Soeharto, tentara Republik memukul mundur Belanda. Penulis The Smiling General, O.G. Roeder, menggambarkan kemenangan itu sebagai ”kemajuan besar”. Menurut Roeder, selain menguasai kota, tentara kita merebut satu tank serta menyita lima ton bahan amunisi dan pelbagai senjata ringan, dengan korban ”tak seberapa”. Dalam biografi Tien Soeharto, Abdul Gafur juga melukiskan kegairahan pesta hari itu, ”Merah-Putih berkibar di setiap pojok kota, dengan berani orang-orang berteriak, ’Merdeka, merdeka’.”
Tapi benarkah itu yang terjadi? Robert Elson, profesor School of Asian and International Studies di Universitas Griffith, Brisbane, punya cerita berbeda. Dalam bukunya yang terbaru, Suharto, a Political Biography, Elson menyebut Serangan Umum itu bukan cerita sukses. Mengutip sumber intelijen Belanda, Elson menulis korban tewas pihak Indonesia men-capai ratusan orang (antara 192 dan 375), sedangkan Belanda cuma kehilangan enam orang. Senjata yang direbut Indonesia juga tak banyak: tiga karabin, empat bedil, lima pistol, dan beberapa amunisi.
Sulit untuk mengatakan versi mana yang tepat. Tapi setidaknya Elson telah menggali bahan-bahan tertulis alternatif yang selama ini jarang diungkap. Peneliti sosial dan ekonomi petani Jawa ini menghabiskan lima tahun untuk melacak masa kecil Soeharto, sepak terjangnya dalam ketentaraan dan politik, hingga saat-saat terakhir setelah ia lengser keprabon.
Berikut ini petikan wawancara Purwani D. Prabandari dari TEMPO dengan Elson ketika sejarawan Asia Tenggara ini datang ke Jakarta bulan lalu.
Apa yang Anda inginkan dengan penulisan buku ini?
Saya mencoba memahami perjalanan hidup Soeharto: bagaimana ia hidup, berpikir, dan bagaimana lingkungan serta pengalaman membentuk keyakinan-keyakinannya. Saya mencoba memahami masa kecilnya yang tak menyenangkan, pindah dari satu saudara ke saudara lainnya. Ia tak punya banyak teman dekat, tak menikmati pendidikan yang layak, juga tak mendapat perlakuan khusus karena kemiskinannya.
Masa dewasanya pun tidak menarik. Soeharto bergabung dengan tentara kolonial Belanda, KNIL, lalu dengan polisi Jepang, Peta, dan kemudian dengan TNI. Dia telah melayani tiga majikan berbeda.
Apakah Soeharto menikmati kehidupannya sebagai tentara?
Saya pikir dia sangat bahagia. Apa yang dia temukan dalam dunia militer adalah keteraturan, kedisiplinan, dan organisasi. Ini menjadi pelarian dari kehidupannya. Di masa kanak-kanak, ia kesepian dan tak memperoleh rasa aman. Dia menemukan keamanan itu dalam angkatan bersenjata, yang kebetulan juga menyukainya. Dia komandan yang hebat.
Apakah itu yang membuat karirnya cemerlang?
Saya kira ia sangat beruntung. Faktor keberuntungan ini amat penting. Kalau saja dia seperti orang lain, Soeharto akan berhenti hanya di pangkat brigjen.
Keberuntungan macam apa? Apakah tak ada jejak kerja keras sama sekali?
Sebenarnya kombinasi keduanya. Faktanya adalah ia lahir pada 1921, di masa perjuangan. Dia dewasa ketika terjadi perubahan sangat besar, dari masa kolonial Belanda, lalu zaman Jepang, kemudian perang kemerdekaan.
Ia bukan orang penting atau kaya. Ia juga tak punya pendidikan yang baik, terutama dalam soal kepemimpinan. Ketika itu, banyak petinggi militer yang punya potensi dan kemampuan baik di-kirim ke Amerika Serikat. Soeharto tak menikmati fasilitas semacam itu. Tapi ia pintar memanfaatkan keadaan guna mempercepat mobilitas sosialnya.
Apakah keberuntungan juga yang mengantarkannya sebagai Panglima Divisi Diponegoro?
Dia menjadi panglima karena tak ada orang lain lagi. Orang yang memimpin Diponegoro harus berasal dari Divisi Diponegoro. Tapi Ahmad Yani saat itu sedang berada di AS, sementara Sarbini di Brawijaya. Dan Soeharto adalah tentara senior di Diponegoro. Jadi memang tak ada orang lain lagi….
Waktu itu militer cenderung terpecah, golongan kiri dan kanan, tapi mengapa Soeharto bisa berada di antaranya?
Soeharto selalu hati-hati dan waspada. Ia hanya tertarik pada masa depannya sendiri. Ia akan lebih waspada lagi saat akan bergabung dengan kelompok tertentu. Ia harus yakin bahwa kelompok itu yang akan menang. Dia sangat pragmatis.
Soeharto juga diterima baik oleh tentara berhaluan ”kiri” yang memberontak di Madiun. Mengapa?
Waktu itu pemerintah ingin menghabisi pemberontak di Madiun. Tapi Sudirman tak menginginkan kekerasan. Ia mengirim Soeharto, seorang letnan kolonel TNI, untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Sumarsono, salah satu pemimpin militer di Madiun, mencoba meyakinkan Soeharto untuk membawa pesan ke Yogya, agar pusat tak perlu khawatir dengan kejadian Madiun. Tak ada revolusi, tak ada pemberontakan, tak ada PKI. Tapi pemerintah rupanya tetap melihat pemberontakan Madiun sebagai sesuatu yang harus dihabisi.
Mengapa Soeharto cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan? Geger 1965, misalnya?
Soeharto belajar banyak pada periode pendudukan Jepang dan Belanda. Dia mengembangkan ketidakpercayaannya kepada rakyat. Dia tak percaya rakyat akan melakukan hal yang benar kecuali dia yang mengaturnya.
Dengan kata lain, jika Anda membiarkan rakyat melakukan apa pun yang mereka inginkan, mereka akan mengerjakan hal-hal buruk. Agar rakyat berjalan ke arah yang benar, mereka harus dipimpin dari atas. Mereka memerlukan kepemimpinan yang kuat.
Mengapa dia begitu membenci PKI dan membasmi habis simpatisannya?
Kebencian Soeharto kepada PKI berdasarkan cara pandangnya yang konservatif dan hierarkis dalam masyarakat Jawa. Dia khawatir PKI akan memanfaatkan rakyat yang diyakininya bodoh untuk memperluas kekuatan politik, mengambil alih kekuasaan, dan melakukan revolusi. Ini akan mengakhiri zaman militer sebagai kekuatan politik.
Awal bisnis Soeharto dimulai dari Divisi Diponegoro, benarkah?
Sebenarnya Soeharto telah memulai bisnis jauh sebelum dia di Divisi Diponegoro, sejak zaman perang kemerdekaan. Ia berbisnis untuk menghidupi tentaranya. Ia pemimpin yang menciptakan hubungan bapak-anak.
Soeharto mulai mendirikan koperasi ketika bertugas di Solo untuk membantu tentaranya. Pada waktu di Divisi Diponegoro, ia membentuk dua yayasan: Territorium Empat untuk pasukannya dan Yayasan Pembangunan Territorium Empat untuk membantu masyarakat.
Kedua yayasan itu berkembang jadi bisnis yang besar. Mereka terlibat dalam semua jenis usaha: perdagangan, pengapalan barang, pengumpulan pajak, serta pembentukan perusahaan baru lainnya.
Bagaimana awal Soeharto memberikan perlakuan khusus kepada pengusaha Tionghoa?
Soeharto orang yang pragmatis. Ia tahu, dunia bisnis di Jawa Tengah atau Jakarta dipelopori orang keturunan Cina. Bisnis mereka kebanyakan berhasil karena punya koneksi dengan pengusaha Singapura atau Hong Kong. Jadi, ketika Soeharto mencari mitra, dia mencari partner yang kuat. Mereka adalah pengusaha keturunan Cina.
Berapa besar yang ia peroleh dari bisnis ini?
Tak banyak, terutama ketika dia masih di Divisi Diponegoro. Dia tinggal di rumah dinas, hidup dengan sangat sederhana. Dia selalu hidup sederhana. Bahkan rumahnya yang di Jalan Cendana pun tidak sangat bagus.
Mungkin karena Soeharto mau berhemat untuk anak dan keturunannya?
Bukan begitu. Soeharto hanya tertarik memanipulasi dan mengatur uang demi kekuasaan. Ia tak ingin pakaian atau mobil mewah. Bagi Soeharto, yang terpenting adalah apakah uang akan memberinya kekuasaan dan ia bisa mengatur semuanya dari atas.
Kapan Soeharto mulai ditinggalkan mahasiswa yang semula mendukungnya….
Di pengujung 1960-an, dukungan mahasiswa merosot saat mereka menyadari harapan kepada Orde Baru tak akan terwujud. Arief Budiman menulis tentang kekecewaan mahasiswa yang merasa Soeharto gagal mengembangkan masyarakat Indonesia yang lebih terbuka. Soeharto juga menolerir korupsi yang dilakukan orang di sekelilingnya. Di awal 1970-an, Soeharto tidak lagi merasa bergantung pada dukungan politik mahasiswa.
Apa peran Soeharto dalam pembangunan politik modern di Indonesia?
Soeharto kebanyakan memberikan pengaruh buruk bagi lembaga politik. Dengan kekuatannya, dia bisa menjadi Indonesia ketika ia menginginkannya. Semua kekuasaan ada di tangannya. Karena itu, semua lembaga tinggi negara, bahkan DPR, MPR, peraturan perundangan, juga konstitusi, amat lemah.
Ketika Soeharto jatuh, kekuasaan terbagi-bagi dan masing-masing lembaga memperebutkannya. Sentralisasi memang baik untuk menciptakan stabilitas. Tapi itu hanya sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini