Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Batuk, Perlukah Diobati?

Sebuah riset di Inggris menyebutkan, sebagian besar obat batuk bebas tidak bermanfaat. Ada yang kerjanya sama dengan pil bohongan yang cuma berisi tepung.

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATUK sempat membuat Andri Haryanti kelimpungan. Hampir sepanjang malam selama dua minggu dia terus didera batuk. Begitu nyeri dan gatalnya, ia sampai mengibaratkan tenggorokannya seperti dijejali kulit durian. Dada terasa sesak dan cairan ludah seolah mengering. Tiga jenis obat batuk sudah yang digelontorkan ke tenggorokannya. Toh, siksaan batuk tak kunjung surut. ?Sengsara banget. Enggak bisa tidur. Kerja jadi enggak bener,? kata warga Jakarta itu. Ada apa dengan batuk Andri? Batuknya yang kelewatan, ataukah obat batuk bebas yang dikonsumsinya yang tak manjur? Yang penasaran pada batuk dan pengobatannya tentu bukan cuma Andri. Pengalaman menghadapi batuk yang bandel memang bukan pengalaman eksklusif Andri. Di belahan dunia lain pun fenomena semacam itu banyak dijumpai. Jangankan orang awam, para ahli pun penasaran jadinya terhadap keampuhan obat batuk yang beredar bebas di pasaran, yang juga biasa disebut obatan-obatan OTC (over the counter). Knut Schroeder, ahli penyakit pernapasan dari Universitas Bristol, di Bristol, Inggris, adalah salah satu ilmuwan yang penasaran. Schroeder menggelar sebuah riset untuk melacak efektivitas obat batuk. Riset Schroeder yang dilaporkan dalam British Medical Journal (BMJ) edisi 7 Februari lalu terus mengundang perdebatan yang masih berlanjut sampai BMJ edisi terbaru pekan lalu. Kajian Schroeder memang menarik. Dia menganalisis 15 riset obat batuk yang melibatkan 2.166 responden berusia 23-48 tahun. Semua responden terserang batuk akut sejak kurang dari tiga pekan sebelum riset bermula. Tiap responden boleh memilih satu dari 25 merek obat batuk bebas. Sebagian besar merek adalah kombinasi lebih dari satu jenis obat batuk, seperti antitusif (pereda batuk), ekspektoran (pelancar dahak), antihistamin (pereda ingus meler), dan dekongestan (pelega hidung mampet). Berikutnya, Schroeder menganalisis tanggapan tubuh responden terhadap obat batuk yang mereka konsumsi. Hasilnya, ada 19 merek obat batuk yang tak bermanfaat apa pun. Kinerja belasan merek ini sama saja dengan pil plasebo atau pil bohongan yang cuma berisi tepung gula. Malahan, ?Beberapa obat batuk memiliki efek samping, yaitu membuat mulut kering, pusing, dan susah tidur,? demikian ditulis Schroeder. Memang masih ada enam merek obat batuk yang dinilai cukup bereaksi positif. Namun, khasiat keenam merek obat ini pun tidak signifikan secara klinis. Walhasil, Schroeder tak merekomendasikan satu pun dari 25 merek yang diteliti sebagai obat batuk cespleng. Semua merek obat tersebut hanya menguras isi kantong tanpa punya manfaat setimpal. Kontan saja, hasil riset Schroeder memancing beragam reaksi. Maklumlah, obat batuk OTC adalah kue bisnis yang gurih. Di AS saja, tahun lalu nilai peredaran obat batuk bebas mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 1 triliun. Procter & Gamble, produsen merek terkenal Vick?s 44, misalnya, segera melontarkan ketidaksetujuannya pada pendapat Schroeder. Perusahaan farmasi AS ini menjamin semua produknya telah melalui uji klinis ketat. Lagi pula, ?Masyarakat telah membuktikan produk kami berfungsi baik,? kata Kurt Wingand, Kepala Saintis di Institut Ilmu Kesehatan Procter & Gamble. Namun, Kurt Wingand agaknya juga harus membuka telinga terhadap suara konsumen yang lain. Termasuk di antaranya adalah konsumen dari Indonesia. Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), sepakat dengan Schroeder. Marius yakin seratus persen, hal serupa juga terjadi di negeri ini. Berdasar Daftar Obat Indonesia (DOI), tahun 1994, ada 150 merek obat batuk yang beredar bebas di pasaran. ?Sebagian besar tidak punya khasiat medis. Mubazir,? ia menegaskan. Marius mengakui, keyakinannya belum ditunjang riset yang mendalam. Namun, setidaknya ada indikasi yang layak dirujuk. Hampir semua obat batuk OTC di sini bersifat gado-gado. Antitusif, dekongestan, antihistamin, dan ekspektoran kadang digabung jadi satu. Bahkan ada juga obat batuk yang plus vitamin C, kafein, dan pereda rasa nyeri. Sayangnya, di sini muncul salah kaprah. Masyarakat justru menyambut antusias produk yang komplet serba ada. Padahal produk semacam ini hanya bekerja di permukaan, tanpa menukik pada sasaran. Itulah sebabnya batuk tetap bandel meskipun sudah digempur berbotol-botol sirup obat. Pendapat senada muncul dari Utomo Dewanto, ahli farmakologi dari Fakultas kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Jakarta. Konsumen hendaknya bijaksana memilih obat bebas. Salah pilih, batuk malah tambah bandel menggerogoti fungsi sistem pernapasan. Bukan tak mungkin pula muncul infeksi susulan, baik karena bakteri, jamur, maupun virus, yang lebih serius. Sementara itu, Sutji Mariono, ahli paru-paru dari Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, malah punya pendapat yang lebih ekstrem. Anjurannya lugas dan tegas. ?Jangan beli obat batuk bebas di pasaran,? katanya. Batuk sebetulnya adalah mekanisme peringatan dini. Ketika batuk, tubuh sedang memberitahukan adanya zat asing yang mengganggu saluran pernapasan. Melalui batuk, tubuh berupaya mengusir zat-zat asing tersebut keluar dari tubuh. Pada saat ini tubuh butuh dukungan. Jadi, penderitanya harus mengonsumsi makanan bergizi, cukup istirahat, dan banyak minum air putih. Persoalan jadi lain jika batuk terus bandel sampai lebih dari tiga pekan. Ini menandakan adanya problem kesehatan serius lainnya, semisal infeksi jamur, bakteri, virus, tuberkulosis, alergi, atau asma. Problem ini mestinya diatasi dengan obat yang spesifik berdasar resep dokter untuk memberantas akar persoalan. Tetap bertahan minum obat bebas sama saja dengan memelihara batuk plus problem lain yang lebih serius. ?Akibatnya bisa fatal,? kata Sutji. Mardiyah Chamim dan Setiyardi --------------------------------------------------------- Memilih Obat Batuk ?Pilih obat yang senyawa aktifnya spesifik dan tidak dicampur-campur,? kata Utomo Dewanto, ahli farmakologi dari FKUI. Agar mahir memilih obat batuk, kenali istilah yang tercetak di kemasan obat dan kegunaannya. Antitusif atau Pereda Batuk Obat jenis ini cocok untuk batuk kering yang tidak berdahak. Gabungan antitusif dan ekspektoran tidak dinilai bermanfaat menyembuhkan. Antitusif bisa berupa senyawa aktif kodein atau dekstrometrofan (DMP), yang bekerja menenangkan saraf pusat batuk di otak. Batuk yang berlendir tak cocok diberi obat antitusif. Ekspektoran Obat ini tepat bagi batuk produktif atau yang berdahak. Senyawa kimia aktif dalam ekspektoran bisa berupa gliseril guayakolat (GG). Antihistamin Jenis ini berguna meredakan hidung meler, gatal-gatal hidung, dan bersin yang berkepanjangan. Dampak lainnya, mulut terasa kering dan irama denyut jantung berubah. Tidak dianjurkan untuk anak-anak balita. Dekongestan Bahan aktif dekongestan antara lain pseudoefhedrin dan fenil propanol alanin, yang berfungsi menghilangkan lendir penyumbat hidung. Sama sekali tidak dianjurkan untuk balita. Senyawa yang tergolong dekongestan juga bisa menggenjot tekanan darah dan denyut jantung. --------------------------------------------------------- Beginilah Batuk Terjadi
  1. Debu, gas, jamur, bakteri, dan lain-lain terhirup masuk ke saluran napas melalui hidung. Tubuh kemudian bereaksi dengan memproduksi lendir.
  2. Produksi lendir yang berlebihan akan menyumbat sebagian saluran napas, misalnya tenggorokan dan kantong udara (alveoli) paru-paru.
  3. Zat asing atau sumbatan lendir memicu reaksi saraf pusat batuk yang terletak di otak, yang disebut medula oblongata. Pusat batuk ini memberi komando kepada otot-otot sistem pernapasan agar ?batuk? sebagai cara mengusir zat asing atau sumbatan lendir.
  4. Batuk akan produktif jika segala pengganggu bisa diusir keluar dari saluran pernapasan. Sebalik-nya, batuk berstatus tidak produktif jika sumbatan lendir terlalu kental hingga tak bisa dikeluarkan.
  5. Batuk yang kelewat sering dan tidak produktif berdampak melemah-kan otot pernapasan, mengurangi volume oksigen yang masuk ke paru-paru, dan melemahkan daya tahan tubuh.
  6. Jika poin 5 terus berlanjut, bakal timbul infeksi lanjutan, baik karena bakteri, jamur, maupun virus. Adanya infeksi lanjutan ini bisa terlihat dari dahak yang kental dan berwarna gelap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus