Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membanding Elson dan Otobiografi dari Cendana

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku dari Jalan Cendana, begitu sebutan penulis biografi Ramadhan K.H. atas otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, yang Mang Atun—sebutan akrab Ramadhan—tulis lebih dari satu dekade lalu. Membolak-balik lagi buku Mang Atun ini menjadi penting karena kini buku tersebut bisa diperbandingkan dengan buku biografi Soeharto lainnya, yang ditulis oleh Bob Elson, seorang pengajar dan ahli masalah Indonesia dari Universitas Griffith. Ramadhan sendiri mengatakan bahwa buku yang ia tulis bukanlah buku biografi dalam arti sebenarnya, tapi sebuah otobiografi Soeharto yang dituturkan kepada dirinya dan G. Dwipayana—seorang perwira di Sekneg yang juga menjadi Direktur Perusahaan Film Negara sekaligus pemilik gagasan biografi Soeharto. Jauh-jauh hari Rama-dhan mendesak agar biografi itu dinamai sebagai ”otobiografi sebagaimana dituturkan kepada” (authobiography as told to), sebagai usaha untuk mempertahankan reputasinya sebagai penulis. Mang Atun di sini mengacu pada penulisan biografi Sukarno, yang dilakukan oleh wartawati Amerika Cindy Adams. Tugasnya sebagai penulis di situ adalah bagaimana menghadirkan buku yang enak dibaca dan lancar bahasanya, sementara kalau soal isi, itu adalah tanggung jawab si penuturnya. Kalau membandingkan buku Elson dengan buku tulisan Ramadhan K.H. ini, kita akan menemukan beberapa hal yang menarik. Ada hal yang ditulis sama, ada yang berbeda, bahkan tak jarang bertolak belakang. Mari kita lihat beberapa di antaranya. Peristiwa Madiun 1948 Versi buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, seperti di-paparkan kepada Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana (hlm. 51-54). Sewaktu saya kembali dari Jawa Timur, persis di jembatan Jurug Solo, saya ditahan, lalu dibawa ke pos Siliwangi. Saya dilucuti, senjata saya diambil. Ternyata karena nama saya Soeharto, saya dikira Mayor Soeharto dari batalyon di Solo…. Lalu saya kemukakan kepada Muso bahwa ”janggal, waktu kita sekarang menghadapi Belanda, kok kita saling bermusuhan”. ”Apakah tidak baik kalau kita tinggalkan permusuhan di antara kita ini dan bersatu menghadapi Belanda?” kata saya…. Setelah itu saya kembali dengan Suadi ke Wonogiri. Sampai di Wonogiri Suardi turun dan kami berpisah. Saya terus menuju ke Solo melewati Sukoharjo. Tetapi waktu itu Siliwangi sudah kelihatan bergerak. Versi Suharto, a Political Biography oleh R.E. Elson (hlm. 26-27) Dengan mengutip studi Salim Said yang melakukan wawancara dengan Soeharto pada 1984, Soeharto berupaya membujuk Muso untuk menghentikan permusuhan. Soeharto mengaku telah menyodorkan sejumlah kondisi tertentu, tetapi ia tak berhasil kembali ke Yogya dengan membawa pesan tersebut, karena pasukan yang setia pada pemerintah telanjur menyerbu Madiun. Versi lain dikemukakan oleh Sumarsono (Ketua Pesindo, Pemuda Sosialis Indonesia, Red.), yang diwawancarai Elson, menyebut bahwa setelah Soeharto akhirnya menetap di Madiun selama beberapa hari, karena ia merasakan bahwa Madiun tak seperti yang diceritakan orang padanya. Saat itu, menurut Sumarsono yang menemani Soeharto, Madiun dalam keadaan damai dan tak ada tanda-tanda terjadinya pemberontakan. Saat itu ia mengasumsikan kelompok Muso sebetulnya lebih tertarik untuk melakukan perundingan damai dengan pemerintah di Yogya. Ketika Soeharto kembali ke Yogya dengan pesannya, ternyata ia tidak didengarkan dan pemerintah tetap pada keputusannya untuk menghancurkan gerakan komunis. Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 Versi Ramadhan K.H dan G. Dwipayana (hlm. 58) Otak saya seakan-akan berputar, cari akal, bagaimana caranya mengembalikan kepercayaan rakyat Yogyakarta kepada TNI. Bagaimana meyakinkan mereka bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan. Satu-satunya jalan adalah melakukan serangan balasan secepat mungkin ke Ibu Kota (waktu itu ada di Yogyakarta—Red.)…. Apa pun yang terjadi di Ibu Kota sangat besar pengaruhnya terhadap perlawanan di daerah lainnya. Begitu pula terhadap dunia luar. Versi R.E Elson (hlm. 35-37) Dengan mengutip sumber dari Belanda, serangan pada tanggal 1 Maret 1949 itu digambarkan sebagai ”serangan musuh di pagi hari dari arah selatan dan barat dengan pasukan dengan memanfaatkan waktu malam, termasuk di dalamnya sejumlah pasukan yang terkonsentrasi di dekat keraton. Pasukan ini berhasil ditangkap dan digeledah oleh pasukan kita (Belanda—Red.) Di sebelah barat Yogya kelompok musuh menyerah. Kelompok oposisi berhasil disingkirkan dan situasi terkendali.” Sementara itu kekalahan di pihak Soeharto sangatlah besar, dengan kematian anggota pasukan dengan jumlah antara 192 dan 375 orang, sementara itu dari pihak Belanda yang menjadi korban jiwa hanyalah enam orang dan beberapa orang luka-luka. Yayasan-yayasan Soeharto dalam Kodam Diponegoro Versi Ramadhan K.H dan G. Dwipayana (hlm. 90-92) Kami dirikan Yayasan Pembangunan Teritorium Empat dan mengadakan pelbagai usaha di bidang ekonomi dan keuangan untuk memberikan kemungkinan menolong para petani, orang-orang di desa itu… saya dibantu oleh beberapa kawan dalam hal ini…. Sebagai penguasa perang, saya merasa ada wewenang mengambil keputusan darurat untuk kepentingan rakyat, ialah barter gula dengan beras…. Ternyata di belakang hari kejadian ini ada ekornya. Di tengah-tengah saya mengikuti pendidikan di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat—Red.) diisukan bahwa saya adalah koruptor beras, memperkaya diri dari hasil barter gula. Sampai-sampai saya dipanggil menghadap pimpinan Angkatan Darat, dalam hal ini Jenderal Gatot Subroto sebagai Wakil KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat—Red). Saya dikonfrontasikan dengan semua yang menuduh. Saya hadapi, saya jelaskan segala persoalan barter dan kalau belum puas saya bersedia mempertanggungjawabkannya di pengadilan. Akhirnya Pak Gatot memutuskan tidak ada yang diragukan dan disalahkan atas tindakan saya itu, dan saya diperintahkan melanjutkan pendidikan di SSKAD sampai selesai. Versi R.E. Elson (hlm. 62-63, 71) Ketika YPTE (Yayasan Pembangunan Teritorial Empat) di bawah kontrol Lt. Sunarso, seorang anggota staf Finek, yayasan ini sudah memiliki kekayaan Rp 419.352 dari hasil kopra, dan juga hibah dari Asosiasi Pengusaha Pabrik Rokok Kudus. Pada akhir 1957, yayasan tersebut sudah punya kekayaan Rp 18 juta dan diharapkan oleh Soeharto bisa meningkatkan modal kerjanya menjadi Rp 25 juta. Pada awal 1959, modal yayasan ini sudah mencapai Rp 35 juta lebih…. Sementara itu, kegiatan bisnis Soeharto telah menuju pada suatu tuduhan korupsi. Nasution menyadari hal ini dengan adanya kritik dari kalangan sipil tentang terjadinya korupsi yang dilindungi oleh militer… pada bulan April 1957 Nasution mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan masalah korupsi dan berencana untuk melakukan penyelidikan di tingkat komando teritorial, termasuk Teritorial IV. Peran dalam peristiwa 30 September 1965 Versi Ramadhan K.H. dan G. Dwipayana (hlm. 118) Tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul sembilan malam saya bersama istri saya berada di RS Gatot Subroto. Kami menengok anak kami, Tomy, yang masih berumur empat tahun, dirawat di sana karena tersiram air sup yang panas…. Kira-kira pukul sepuluh malam saya sempat menyaksikan Kol. Latief ber-jalan di depan zaal tempat Tomy dirawat. Kira-kira pukul 12 seperempat tengah malam saya disuruh istri saya cepat pulang ke rumah Jalan Haji Agus Salim karena ingat kepada Mamik, anak perempuan kami yang bungsu, yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggal-kan Tomy, dan ibunya tetap menungguinya di rumah sakit. Sesampai di rumah saya berbaring dan bisa cepat tidur. Tetapi kira-kira setengah lima subuh, tanggal 1 Oktober, saya kedatangan seorang cameraman TVRI, Hamid. Ia baru selesai melakukan shooting film. Ia memberi tahu bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat…. Versi R.E. Elson (hlm. 99, 100, 110) ”Soeharto terbangun pada pukul 4.30 karena kunjungan seorang kameraman televisi bernama Hamid Syamsuddin, yang melapor mendengar suara tembakan di daerah Kota. Soeharto kemudian menyebutnya bahwa ”ia tidak banyak pikir lagi kalau itu”. Setengah jam kemudian tetangganya, Mashuri (kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Menteri Penerangan—Red.) mendatanginya dan mengutarakan hal yang sama…. Soeharto segera mengirimkan pesan lewat Sujiman kepada Umar (Wirahadikusumah, Panglima Kodam Jaya saat itu—Red.) bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju ke Markas Kostrad. Dengan mulai menyadari adanya lubang besar dalam kepemimpinan di Angkatan Darat, Soeharto sadar bahwa ”Angkatan Darat sedang dalam bahaya besar dan saya memutuskan untuk mengambil alih kepemimpinan.” Soal Anak-anak Soeharto Versi Ramadhan K.H dan G. Dwipayana (hlm. 533) Alhamdulilah, mereka semua (anak-anak Suharto—Red.) semua jadi manusia—begitu sebutannya di tengah-tengah kehidupan kita sekarang—sementara saya mengharuskan mereka untuk mengetahui akan kewajiban mereka sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat luas. Kami didik mereka supaya ingat kepada orang tua, supaya hormat dan mengerti akan kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat…. Saya tidak ingin anak-anak saya mendewakan harta dan pangkat. Versi R.E. Elson (hlm.249) ”Soeharto tidak saja mendorong perusahaan negara untuk membantu anak-anaknya—walaupun ia juga bicara tentang arti penting deregulasi ekonomi dan disiplin ekonomi—tapi juga secara diam-diam mengarahkan kelompok swasta pada tujuan yang sama. Seorang pengamat politik terkenal menyebutkan pada awal 1990 bahwa ”kemunculan kerajaan bisnis anak-anak Soeharto terlihat menjadi pilihan pertama dari semua kontrak besar dan kecil dari pemerintah” …. Soal oposisi terhadap Soeharto Versi Otobiografi Soeharto (hlm. 346) Sesungguhnya saya gembira jika ada oposisi terhadap saya, dengan syarat ia adalah oposisi yang loyal. Tetapi apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya ”Petisi 50” itu tidak saya sukai. Cara-caranya tidak saya sukai. Lebih-lebih kalau melihat bahwa mereka adalah juga yang menyebut dirinya pejuang…. Dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat untuk oposisi ala Barat. Dalam alam Demokrasi Pancasila kita mengenal musyawarah untuk memperoleh mufakat rakyat. Versi Elson: (hlm. 231) ”Berbicara tanpa teks dalam Rapim ABRI di Pekanbaru tanggal 27 Maret 1980, Soeharto berbicara bahwa ABRI harus memilih partnernya yang akan membela Pancasila dan UUD 45—membiarkan kepada para pendengar untuk menafsirkan bahwa yang paling depan membela Pancasila adalah Golkar, dan musuhnya dalam kelompok politik Islam, khususnya NU yang menolak menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Pernyataan itu juga bertentangan dengan jaminan yang diberikan oleh Menteri Pertahanan M. Yusuf bahwa ABRI tidak akan memilih salah satu kelompok dan akan berdiri di atas semua partai politik.” Ign. Haryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus