Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Teka-teki mengenai sikap Partai Demokrat pascapemilihan presiden 2019 makin menarik perhatian. Apakah partai berlambang mercy ini akan menyeberang ke koalisi pemerintah, ataukah bertahan di kubu Prabowo-Sandiaga Uno? Semua masih serba mungkin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kepala Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean mengatakan sampai saat ini partai belum melakukan pembicaraan resmi akan berkoalisi dengan oposisi atau bergabung ke pemerintahan. “Tunggu saja bagaimana perkembangannya nanti. Apakah Partai Demokrat tetap menjadi partai penyeimbang (beroposisi) atau partai pemerintah?” kata dia, Sabtu, 8 Juni.
Sepertinya sikap itu masih terlihat mengambang. Tetapi publik juga melihat bahwa berkali-kali Demokrat mengirim sinyal kemana arah politik akan dilabuhkan. Kapal Demokrat sepertinya tengah mengarah ke kubu pemerintah.
Tanda itu pertama kali dinyalakan oleh Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Putra Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambanag Yudhoyono, ini setidaknya sudah dua kali menemui Presiden Joko Widodo pascapemilu di Istana.
Selain itu, AHY dan adiknya, Edhie Baskoro Yudhoyono, juga hadir di open house lebaran Jokowi dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bersama Menteri Sekretaris Negara Pratikno usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 2 Mei 2019. Tempo/Friski Riana
Sebelumnya, AHY juga berkumpul bersama beberapa kepala daerah di Bogor. Dalam Forum Bogor itu berkumpul AHY, Yenny Wahid, dan kepala daerah yang selama ini dikenal sebagai pendukung Jokowi. Dalam pertemuan itu AHY menyampaikan Partai Demokrat mendukung langkah yang konstitusional dalam kompetisi politik.
Tapi jauh sebelum AHY berzig-zag, hubungan Demokrat dengan koalisi Prabowo-Sandiaga yang disebut Koalisi Adil Makmur itu, sudah lebih dulu memanas. Melejitnya tensi itu dipicu oleh aksi Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief yang mencuit di akun twitternya.
Andi menulis bahwa Prabowo dipasok informasi dan data yang salah sehingga terjerumus menyatakan menang Pilpres 62 persen. Andi menyebut si pemasok sebagai “setan gundul”. Cuitan ini memancing keriuhan, dan juga reaksi partai-partai di kubu koalisi Prabowo.
Tetapi apakah semua sinyal itu memang cukup terang menunjukkan arah politik Partai Demokrat?
Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon mengatakan keputusan terkait koalisi sepenuhnya ada di tangan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum partai. Dia menegaskan kini Demokrat adalah partai mandiri dan tak terikat koalisi mana pun.
Jansen menyatakan pasca Pemilihan Umum 2019, koalisi partai di kubu pasangan pengusung Prabowo Subianto - Sandiaga Uno juga selesai. Koalisi, kata dia, bukanlah fusi partai. Karena itu Demokrat kini mandiri dan tak ada di kubu mana pun.
"Sebagai partai yang mandiri, independen, punya badan hukum sendiri, sikap sendiri, pandangan politik sendiri, ya, kita bebas menentukan arah sikap Partai Demokrat pascapemilu," kata Jansen. Apapun pilihannya nanti, baik bergabung dengan pemerintah atau tetap menjadi oposisi, Jansen menegaskan Demokrat siap menjalankannya.
Termasuk siap menjadi oposisi? Jansen mengingatkan bahwa selama hampir lima tahun pemerintahan Jokowi, Demokrat memilih menjadi oposisi. Kata dia itu modal bagus bagi Demokrat.
Namun jika akhirnya partai memutuskan bergabung dengan pemerintah, Demokrat juga telah siap. Pengalaman kepemimpinan SBY sebagai Presiden Indonesia dari 2005 hingga 2014, dinilai Jansen menjadi modal yang meyakinkan. "Tak semua partai punya pengalaman seperti Demokrat. Kami kan pernah keduanya. Kami tahu kalau di dalam mau melakukan apa, di luar mau melakukan apa," kata dia.
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai dari gestur yang ditujukan belakangan, Demokrat memang cenderung ingin bergabung dengan pemerintah. Selain dari semakin seringnya pertemuan antara tokoh, Demokrat juga telah menyatakan menerima hasil perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum. Sikap ini bertentangan dengan Koalisi Indonesia Adil Makmur, yang menentang keras keputusan KPU dan sudah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Adi mengatakan untuk jangka pendek, jika Partai Demokrat merapat ke koalisi pemerintah, kemungkinan mendapat jatah kursi menteri. Namun secara jangka panjang, dia melihat hal itu bisa menjadi batu loncatan lebih besar, yakni menggabungkan dua trah politik besar, yakni trah SBY dan Megawati. "Merajut kemungkinan menduetkan mantan 'anak-anak presiden' maju di pilpres 2024," kata Adi.
Kemungkinan bergabungnya Demokrat ke pemerintah itu ditanggapi beragam oleh para pendukung Jokowi. Keraguan muncul, salah satunya, dari Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani.
Arsul menilai selama Pilpres 2019 Partai Demokrat menunjukkan sikap keras terhadap pemerintahan Jokowi. Dia menilai ini bisa menimbulkan kekahwatrian. "Apa komitmen mereka bisa dipegang, karena (kini) begitu mudah berpindah haluan," tanya dia.
Sikap lebih lunak ditunjukkan anggota koalisi lainnya. Sekretaris Jenderal Partai Perindo Ahmad Rofiq mengatakan siap saja menerima tambahan partai baru di koalisi, selama tujuannya benar-benar untuk mendukung Jokowi. "Ini lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Maka tentu kami akan memberikan pertimbangan khusus," kata dia.
Kini, bola –sepertinya-- di tangan Demokrat. Tetapi Jansen enggan berandai-andai. Dia mengatakan kepastian sikap itu akan diputuskan pasca gugatan di MK selesai dan keputusan telah keluar. "Jadi biarlah hal besar seperti itu diputuskan pemimpin-pemimpin besar di atas. Kalau dalam hal ini, antara Pak SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia dengan Pak Jokowi," kata Jansen.
EGI ADYATAMA | FIKRI ARIGI