Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU sepuluh bulan pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, tapi gonjang-ganjing politik tiada henti. Ditambah lagi dengan gaya Presiden Abdurrahman yang acap tak pasti. Bahkan, di sidang tahunan MPR, Rabu pekan lalu, Gus Dur menyatakan akan menugasi Wakil Presiden Megawati untuk melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari.
Segera saja pernyataan itu mengundang kontroversi. Apalagi bila dihubungkan dengan hasrat sebagian anggota MPR sebelumnya. Mereka menginginkan fungsi Gus Dur cukup sebagai kepala negara, sementara fungsi kepala pemerintahan dipegang Wakil Presiden.
Kalau memang manuver Gus Dur seperti kehendak sebagian anggota MPR tadi, tentu persoalan menjadi amat serius. Sebab, hal itu menyimpang dari ketentuan UUD 1945 yang bersistem (quasi) presidensial. Menurut sistem ini, presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Pemisahan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan hanya ada pada sistem parlementer.
Berarti Presiden secara tak langsung menyiasati UUD 1945 tanpa melalui amendemen? Indikasi serupa berlaku kalaupun Wakil Presiden hanya diberi urusan pemerintahan sehari-hari. Presiden sebagai kepala pemerintahan, ya, harus melaksanakan tugas pokok itu. Wakil presiden hanya membantunya. Semasa Orde Baru, wakil presiden juga diberi tugas khusus di bidang pengawasan—meski korupsi semakin menggunung.
Ada pendapat, pendelegasian wewenang dari presiden ke wakil presiden terhitung semacam konvensi (kebiasaan) tata negara. Pada awal kemerdekaan, praktek seperti itu sering terjadi. Contohnya, Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang mengubah sistem presidensial menjadi parlementer.
Namun, pendapat itu perlu dipertanyakan. Sebab, pada usia muda Republik itu belum ada MPR dan DPR, sehingga kekuasaan presiden sangat besar. Kecuali itu, konvensi mestinya tak melanggar konstitusi, menyangkut hal yang tak diatur konstitusi, dilakukan beberapa kali, dan diterima masyarakat.
Yang pasti, Gus Dur dikabarkan mau mengukuhkan penyerahan urusan itu melalui keputusan presiden atau keppres. Alasannya, hal itu masih sesuai dengan sistem presidensial menurut UUD 1945. Karena itu, presidenlah yang menentukan tugas dan wewenang wakil presiden.
Ahli hukum tata negara di Yogyakarta, Moh. Mahfud, sependapat dengan keppres semacam itu. Apalagi persoalannya masih dalam lingkup kekuasaan eksekutif. "Ini kan penugasan untuk memimpin urusan pemerintahan, bukan pemisahan tugas kepala negara dan kepala pemerintahan. Jadi, cukup dengan keppres. Bahkan bisa melalui keputusan di rapat kabinet," katanya.
Namun, ada juga suara di MPR yang menghendaki delegasi wewenang di atas dituangkan dalam Ketetapan (Tap) MPR. Hal itu dimaksudkan agar Gus Dur tak gampang mengubah keputusan penting tersebut di kemudian hari. Rupanya, mereka merasa khawatir bila menilik pengalaman gaya Gus Dur selama ini.
Toh, dosen hukum tata negara di Jakarta, Satya Arinanto, menganggap hasrat membuat Tap MPR itu berlebihan. Sebab, bisa mengesankan campur tangan MPR dalam urusan eksekutif. "Kok, produk hukum harus disesuaikan dengan keadaan orang, meski dikatakan cuma berlaku sekali," ujar Satya.
Terlepas dari soal pembagian tugas dan produk hukumnya, agaknya esensi permasalahan, yakni kenapa presiden membagi porsi kekuasaannya kepada wakil presiden, tak terungkap. Mestinya, bila presiden tak mampu melakukan kewajiban, MPR bisa memberhentikannya. Berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, otomatis wakil presiden mengisi jabatan presiden yang kosong.
Tapi alternatif itu ditentang Mahfud. "Gus Dur kan tidak berhalangan. Ia tetap melaksanakan tugas sebagai presiden," katanya. Demikian pula kemungkinan pemberhentian presiden melalui sidang istimewa menurut Tap MPR Nomor III Tahun 1978. Sebab, syarat dan mekanisme sidang istimewa tidak gampang. "Gus Dur juga tak melanggar UUD 1945. Ini hanya masalah kinerjanya yang lemah," tambah Mahfud.
Kalau demikian, bagaimana dengan kondisi presiden dianggap berhalangan sementara karena sakit? Sesuai dengan Tap MPR Nomor VII Tahun 1973, bila keadaan itu terjadi, wakil presiden menjalankan tugas sebagai presiden sampai presiden sembuh. Mungkin itu berlangsung sekitar tiga bulan, seperti pernah diutarakan Gus Dur beberapa waktu lalu.
Atau akan ada pilihan lain dari kompromi Presiden dan MPR? Mungkin. Asal bukan jurus mengakali UUD 1945 seperti masa Orde Baru.
Happy, Levi (Jakarta), dan Yanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo