Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Nurcholish Madjid: "Lapar Dahulu, Pandai Kemudian"

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONSTITUSI harus ditaati. Karena itu, presiden yang terpilih secara demokratis harus dipertahankan. Apa boleh buat kalau yang dipertahankan itu ternyata Gus Dur.

Beberapa hari sebelum Sidang Tahunan MPR dibuka, Nurcholish Madjid berbicara soal ini. Ia tak ingin Indonesia terjebak preseden menurunkan presiden sebelum waktunya. Kalau itu terjadi, Indonesia bisa kacau-balau, kemungkinan besar tak bakal bisa keluar dari krisis.

Bicara soal krisis dewasa ini, Nurcholish Madjid, 61 tahun, doktor filsafat Islam dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, percaya kepada pendidikan. Jika saja di masa lalu kita menomorsatukan pendidikan dan baru kemudian pertumbuhan ekonomi, katanya, kita tak akan jatuh semenderita sekarang ini dalam krisis.

Putra Haji Abdul Madjid, pemilik dan guru Madrasah Al Wathaniah di Mojoanyar, Jombang, ini pun mencemaskan salah satu semangat yang tumbuh di sebagian masyarakat kini: mengusulkan dimasukkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945. Bersama beberapa intelektual muslim dan tokoh partai, Nurcholish menyatakan menolak usulan tersebut. "Yang terpenting dalam Islam adalah percaya kepada Tuhan—tanpa embel-embel apa pun," ujarnya kepada wartawan TEMPO, Edy Budiyarso, yang mewawancarainya, di Jakarta, Selasa pekan lalu.

Berikut ini petikan wawancara dengan bapak dua anak itu tentang bagaimana sebaiknya bangsa Indonesia bersikap di tengah krisis yang terasa tak kunjung teratasi ini. Bisakah kita optimistis? Apa pula modal untuk itu?


Apakah Anda punya ide menumbuhkan optimisme di masa sekarang?

Kita tidak bisa optimistis 100 persen. Indonesia negara yang besar sekali. Bentangan Sabang sampai Merauke itu seperti London ke Teheran, melewati semua negara di Eropa, ditambah Timur Dekat, atau hampir seperti Jakarta-Osaka. Jadi, yang mengherankan itu bukan ancaman disintegrasi. Tapi, sebaliknya, kok, kita bisa bersatu. Di sini, kita harus memberikan kredit kepada perintis perjuangan seperti Boedi Oetomo, H.O.S. Tjokroaminoto, juga kepada agama, khususnya Islam, yang meratakan jalan bagi terbentuknya budaya umum Indonesia. Dan walau ini pahit, Belanda pun punya peran penting.

Dari sisi mana optimisme ditumbuhkan kendati tidak sampai 100 persen?

Kita punya persatuan di tengah keragaman luar biasa. Indonesia, berbeda dengan Cina, Jepang, dan Korea, adalah negara yang amat heterogen. Bahasa Indonesia, sebuah aset nasional, memainkan peran penting dalam persatuan kita.

Selain efektif menyatukan bangsa, apa peran bahasa Indonesia?

Proses demokratisasi. Pada bangsa-bangsa yang "meminjam" bahasa asing, seperti Malaysia, India, Pakistan, dan Banglades, ada jurang antara kaum terpelajar dan orang awam.

Jurang apa?

Jurang karena (alat) komunikasi yang tidak sama. Di India, ada demokrasi yang mapan bagi mereka yang berbahasa Inggris. Di Malaysia, kaum terpelajar berbahasa Inggris, sementara yang kurang pendidikan (hanya) berbahasa Melayu. Di Indonesia? Bahasa nasional telah mengurangi kesenjangan antara elite dan massa yang kurang terpelajar. Ini seperti Amerika: dari presiden sampai rakyat, bahasanya sama. Karena itu, pendidikan harus selalu diselenggarakan dalam bahasa Indonesia.

Selama ini bukankah kita menyelenggarakan pendidikan dalam bahasa Indonesia?

Pernyataan ini adalah antisipasi terhadap hadirnya sekolah-sekolah asing di Indonesia. Mereka tidak boleh secara eksklusif berbahasa asing, tapi harus berbahasa Indonesia, kecuali sekolah itu memang khusus untuk orang asing.

Antisipasi itu bisa menumbuhkan dilema lain: kita tertinggal oleh bangsa lain karena lemah dalam bahasa Inggris?

Pembangunan bahasa harus disertai dengan sikap fanatik, seperti orang Amerika fanatik terhadap bahasa Inggris. Di Amerika, nilai terpenting (di sekolah) adalah bahasa Inggris. Jadi, nilai yang lain boleh rendah, tapi kalau bahasa Inggrisnya jelek, ia gagal sekolah. Apabila ini diterapkan di Indonesia, akan besar sekali keuntungannya.

Jadi, menurut Anda, kita belum cukup baik mengajarkan bahasa nasional itu?

Pembangunan bahasa Indonesia terlalu lembek karena sikap kejiwaan. Akibatnya? Ada orang Indonesia yang 50 persen percakapannya menggunakan bahasa Inggris. Gawatnya, ini implikasi rasa kurang percaya diri. Atau, karena tidak menguasai bahasa Indonesia, ia mencari istilah asing untuk mengemukakan pikirannya.

Di simpul mana kita harus mulai menata kembali pola-pola pengajaran yang dapat melahirkan sumber daya yang baik?

Gerakan pendidikan nasional masih kurang. Kita memerlukan kepemimpinan nasional yang menyadari masalah itu dan melaksanakannya sebagai bentuk kebijakan nasional.

Kesalahan apa (di masa lalu) yang harus dihindarkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya?

Seandainya kita boleh menoleh sedikit ke belakang, kita akan lebih sedikit menderita jika kita menomorsatukan pendidikan ketimbang pembangunan ekonomi. Hal itu membuat kita tidak akan menikmati kemewahan hidup, tapi tingkat pendidikan akan tergenjot dengan sangat kuat.

Seperti yang dilakukan Korea pada 1960-an?

Seperti Korea pada 1960-an. Ini yang ditulis pemikir Soedjatmoko dan kemudian menjadi polemik. Korea memilih jalan lapar dahulu, pandai kemudian. Asalkan lapar itu dapat dikontrol sehingga orang tidak sampai kelaparan. Soedjatmoko memperkirakan Korea akan menjadi negara paling "ribut" karena banyaknya orang terdidik yang masuk birokrasi. Saat itu, rata-rata negara Asia memang terjangkit "priayiisme". Semua orang ingin menjadi pegawai—terutama di Cina dan Indonesia.

Dan prediksi Soedjatmoko benar….

Tapi ada yang luput dari pengamatannya, bahwa dengan pendidikan, orang menjadi kreatif dan akan sampai pada titik jenuh yang membuat orang tidak ingin menjadi pegawai.

Jadi, kejenuhan yang menumbuhkan self employment?

Ya, orang cenderung ingin bekerja. Dan ini akibat pendidikan. Semangat itu ada di Korea Selatan. Seperti kita, Korea mengalami krisis ekonomi, tapi bangunnya lebih cepat. Dan krisis di Korea juga lebih banyak terjadi karena dominasi konglomerat chaebol. Taiwan, yang tidak punya chaebol, dapat luput dari krisis ekonomi.

Apa yang Anda tangkap dari situasi terakhir krisis ekonomi kita?

Ada kemajuan pelan-pelan di sektor riil. Dan ini perlu kita amankan. Yang dulu terlihat melonjak adalah ekonomi finansial saja, yang sejak permulaan Orde Baru sudah menjadi hal kontroversial. Muncul perdebatan apakah kita akan menempuh ekonomi moneter finansial atau ekonomi riil. Hatta, dan tokoh seperti Sarbini Sumawinata, termasuk orang yang berpendirian agar Indonesia menempuh jalan ekonomi riil.

Tapi ekonomi riil menghasilkan kemajuan yang lebih pelan (bandingkan dengan pemain valuta asing yang bisa kaya mendadak)….

Sektor riil harus menghasilkan barang dulu, menjualnya kembali, sebelum mendapatkan keuntungan. Dia menyumbang produksi bagi masyarakat. Seorang pemain valas atau saham bisa saja kaya mendadak. Tapi sebenarnya dia tidak memproduksi apa-apa. Dia tidak menambah apa pun pada masyarakat.

Bagaimana agama melihat hal ini?

Inilah yang disebut riba. Kalau orang mengharap keuntungan dari jual-beli valas dengan spekulasi dan mempengaruhi pasar, tentu saja itu riba. Lain halnya jika tukar-menukar itu dilakukan karena kebutuhan kita ke luar negeri atau mau naik haji. Riba adalah perang dengan Tuhan. Itu sudah ada dalam Alquran. Bayangkan! Sekarang ini, dengan mengutak-atik komputer, seseorang dapat memindahkan kekayaan suatu negara ke kantongnya sendiri. Ini jelas tidak benar. Jadi, ada hikmahnya juga kita mengalami krisis, karena ternyata kita harus kembali ke ekonomi riil. Dan kalau kita ke ekonomi riil, Indonesia adalah salah satu negara yang potensinya besar sekali.

Lalu, bagaimana dengan ekonomi finansial?

Biarkan menjadi masalah Dana Moneter Internasional (IMF) sampai batas tertentu. Kalau bisa dinegosiasikan, dana IMF pun bisa digunakan untuk mengembangkan ekonomi riil.

Untuk menata kembali ekonomi, kita tidak cuma memerlukan infrastruktur, tapi juga stabilitas. Bagaimana Anda mengartikan stabilitas?

Meminjam istilah Dr. Alfian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, (ada dua stabilitas, yakni) stabilitas dinamis dan stabilitas statis yang dipaksakan. Dalam stabilitas dinamis, kebebasan menjadi unsur terpenting. Yang kita alami sebelum ini adalah stabilitas semu karena ditekan. Begitu pintu penekan dibuka, meledak semuanya. Sebaiknya letupan emosional itu dibiarkan dulu sampai habis.

Artinya, jika ini diterapkan pada kasus Ambon, apa mereka perlu dibiarkan berhantam dulu sampai habis?

Bukan begitu. Membiarkan di sini dalam arti memahami. Jika pertengkaran itu lewat, insya Allah, kita akan stabil. Pemilu 1999 membuktikan, kalau kita bebas, relatif ada damai. Pemilu-pemilu sebelumnya begitu kacau karena tidak ada kebebasan.

Kondisi riil kita sekarang menunjukkan letupan di mana-mana. Bagaimana memelihara rel demokrasi dalam kekacauan ini?

Seorang diplomat yang lama di Rusia mengatakan, rakyat Rusia menderita ketergesa-gesaan. Ketika terjadi reformasi di negeri itu, rakyat Rusia mengira semuanya akan cepat beres seperti sulap. Selama 70 tahun, mereka hidup dalam situasi sentralisasi—-serba top down. Jadi, ketika demokrasi dimulai, mereka tidak sabar. Padahal, proses itu kan seharusnya dimulai dari bawah, seperti yang dilakukan Deng Xiaoping di Cina. Sebelum mengenalkan reformasi, ia membiasakan dulu rakyatnya menanami halaman rumah dengan tanaman apa saja. Seperti Rusia, Indonesia juga mengalami ketergesa-gesaan, khususnya terhadap Gus Dur. Tapi ini terutama karena Gus Durnya sendiri juga tergesa-gesa.

Tapi Anda tidak setuju Presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan?

Karena akan menjadi preseden, (dan karena itu) siapa pun presiden Indonesia di masa yang akan datang tidak akan aman. Jika Gus Dur bisa dipertahankan, nanti ke depan akan muncul ungkapan, Gus Dur yang begitu saja dipertahankan, presiden yang lebih baik juga harus dipertahankan. Ini terjadi pada Presiden AS Henry Jhonson. Ia menang satu suara dalam impeachment. "Tradisi" ini kemudian diwarisi presiden Amerika selanjutnya. Jadi, publik AS fanatik pada lembaga kepresidenan, bukan pada presidennya. Jadi, mari kita selesaikan hal ini, sekali saja—dengan menanggung segala pengorbanan.

Setujukah Anda dengan sistem parlementer yang mulai berkembang dalam wacana DPR sekarang?

Kita memang harus menghargai Bung Sjahrir yang mengintrodusir sistem parlementer—antara lain untuk mengatasi situasi darurat menghadapi Sekutu. Sayangnya, sistem ini tidak dianggap darurat, malah dikukuhkan melalui UUDS 1950. Maka, mulailah awal pemerintahan jatuh-bangun yang diwarnai kekacauan. Kemudian, Bung Karno, melalui pidato Menemukan Kembali Jalan Revolusi, memberlakukan kembali UUD 1945.

Tentang agama dalam situasi sekarang. Dapatkah toleransi agama memberikan optimisme menghadapi krisis?

Kalau kita melihat contoh di Amerika Serikat, Protestant ethic sudah diambil pada tingkat generalisasi, sehingga nilai kekristenan sebagai mayoritas tidak lagi menjadi eksklusif. Untuk sampai ke sana, Amerika mengambil referensi dari banyak sekali agama, termasuk Islam. Jadi, seharusnya Islam ditarik ke generalisasi yang tinggi, tidak boleh eksklusif khas Islam. Dari situ kita menghargai Pancasila. Bung Karno mendapatkan inspirasi dari Thomas Jefferson, menarik agama ke level yang tinggi.

Apakah hal itu bisa diterapkan di sini?

Kita menghadapi satu masyarakat yang pengetahuannya tentang agama tidak memadai. Tapi, karena berkaitan dengan emosi, masalah ini menjadi sensitif sekali.

Seberapa sensitif?

Misalnya, ada yang menganggap Islam sekarang dalam posisi menang dan, karena itu, Piagam Jakarta harus dikembalikan lagi untuk menjalankan syariat Islam. Seperti yang tertulis dalam Piagam, "Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Kalau kita pertanyakan dengan dingin, agama Islam tidak menyatakan seperti itu.

Maksud Anda?

Yang penting dalam Islam, kamu harus percaya kepada Tuhan—tanpa tambahan harus menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Karena itu, Islam harus ditarik pada dataran generalisasi yang tinggi dan universal, kemudian diturunkan lagi ke dataran operasional, disesuaikan dalam konteks ruang dan waktu. Ini yang tidak dilakukan oleh ulama Islam.

Ada anggapan yang masih berkembang pada sekalangan politisi Islam bahwa perubahan Piagam Jakarta terjadi karena kekalahan Islam saat itu?

Waduh, ini karena persepsi mereka tentang masalah itu dilihat dari sudut yang sangat formal. Makanya, Gus Dur menjadi sangat penting di sini. Karena itu, dalam hati saya berkata, semoga Gus Dur diberi umur panjang agar dapat menyelesaikan masalah ini, walaupun dengan segala ngawurnya itu. Banyak orang yang berpikiran sama dan mau berjuang untuk hal ini, tapi tidak memiliki Banser. Amien Rais, misalnya, mudah tergoda dengan pendapat bahwa perubahan itu terjadi karena kekalahan umat Islam. Jadi, amendemen (untuk Pasal 29 UUD 45) sebaiknya tidak usah dilakukan karena akan membuka kotak Pandora.

Bagaimana dengan alasan partai-partai Islam yang menyebut keinginan untuk mengamendemen pasal itu sebagai upaya untuk menenangkan konstituennya?

Tapi itu kan bisa kebablasan. Janji itu bisa terus ditagih oleh para pemilih. Ibaratnya menumbuhkan benih yang nyaris mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus