Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sani Tawainella adalah lelaki yang tengah berusaha membuktikan diri. Bahwa ia lebih dari sekadar tukang ojek yang istrinya mesti gali-tutup utang demi membeli beras. Sekuat tenaga, ia ingin memperlihatkan, betapapun karier sepak bolanya kandas, setelah pahitnya konflik berdarah di Maluku, ia masih bisa mendidik anak-anak bermain sepak bola dan memboyong mereka berlaga di lapangan rumput Ibu Kota.
Chicco Jerikho, yang memerankan Sani dalam Cahaya dari Timur, pun tengah berusaha membuktikan diri. Bahwa ia mampu berakting dengan serius, dan memberikan lebih dari yang ia tampilkan di sinetron kejar tayang yang selama ini dilakoninya.
"Saya memang dari dulu ingin mendalami seni peran, tapi ketika stripping sinetron, minta izin untuk film cukup susah," kata pria 30 tahun ini ketika ditemui di kantor Visinema Pictures, Jakarta, 22 Desember lalu. Chicco dengan jujur mengaku, ia berkali-kali ikut casting film, tapi berkali-kali pula gagal. "Dibilang akting saya sinetron banget," ujarnya.
Tak sekali-dua kali alasan itu didengarnya, tapi ia tetap mencoba melakoninya. Rekannya banyak yang mempertanyakan langkah Chicco, yang berkukuh untuk bolak-balik ikut casting film. Mereka menyarankan Chicco menerima nasibnya mencari nafkah di dunia sinetron. "Sudah, main sinetron saja, yang sudah jelas," katanya menirukan komentar yang kerap diterimanya.
Sampai kemudian, ia akhirnya terpilih memerankan tokoh Sani Tawainella dalam Cahaya dari Timur. Sutradara Angga Dwimas Sasongko langsung membombardir Chicco dengan berbagai tuntutan. Angga merasa hasil video casting Chicco jauh di bawah harapannya. Namun, melihat energi dan antusiasme dia dalam proses casting, Angga yakin, setelah dipoles, Chicco mampu menghidupkan tokoh Sani.
Chicco pun menjawab tantangan itu. Ia berusaha keras mengubah image-nya sebagai figur "pria pemanis mata" yang lekat dengannya di sinetron. Ia menjemur diri menggelapkan kulit, membiarkan rambutnya gondrong keriting, dengan kumis dan jenggot yang mencuat kasar. Badannya juga lebih sekal, naik 13 kilogram.
Setelah sosok fisiknya agak berubah, Chicco memperdalam karakter Sani. Ia berusaha menggapai "roh" seorang Sani—yang merupakan tokoh nyata. Ia kemudian "tinggal' di Tulehu selama sepuluh hari untuk hidup bersama Sani asli. Telepon seluler dan dompetnya disita. Untuk bertahan hidup, ia meminjam sepeda motor Sani untuk mengojek, pekerjaan yang juga dilakukan tokoh Sani dalam film.
Selama itu pula ia memperdalam dialek Tulehu yang akan ia gunakan. Ia berbaur dengan penduduk Tulehu. Ia menggali banyak kisah penduduk Tulehu yang tertembak atau kehilangan anggota keluarga saat kerusuhan. Ia bahkan menggali cerita seorang anak yang mengumpulkan mayat korban kerusuhan dan membuangnya ke kali. Chicco selalu melihat ada beban pikiran yang menggayut di tiap kepala penduduk Tulehu. Chicco menyebut momen itulah yang menariknya untuk masuk lebih dalam pada karakter Sani di film ini. "Saya simpan perasaan itu dalam pikiran, saya ulang setiap hari, akhirnya terekam dan terbawa," ujarnya.
Deposit memori ini ia tumpahkan langsung pada hari pertama syuting—yang sekaligus juga adegan klimaks yang sangat menguras emosi—yaitu adegan ruang ganti ketika Sani memberikan semangat kepada anak didiknya. Adegan ini sangat berhasil. Dan sepanjang film, kita melihat ia mampu mempermainkan emosinya dengan baik, baik adegan dengan emosi meledak-ledak seperti ketika Sani bertengkar dengan Rafi maupun adegan ketika ia harus menekan emosi seperti saat menyerahkan ban kapten kepada Jago. Gerak tubuhnya juga meyakinkan. Pengucapan dialeknya pun terasa otentik.
Chicco mampu menjadi sosok Sani secara meyakinkan—sosok yang mampu menumbuhkan jiwa anak-anak. Image pemain sinetron dengan karakter dangkal pupus selama dua setengah jam ia memerankan Sani. Film ini seolah-olah menampilkan kelahiran Chicco yang baru. Itulah sebabnya kami memilih dia sebagai pemeran pria terbaik. Semoga keaktoran yang kuat ini dapat dipertahankan Chicco dalam film-filmnya yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo