Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membatik Rifa’iyah Menembang Tradisi

Warga Rifa’iyah mengekspresikan seni dan identitas komunitas mereka melalui batik tulis. Pantang melukis hewan secara utuh.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seraya duduk di dingklik di tepi pintu rumahnya, Umriyah menarik perlahan ujung canting cokelat di atas kain mori. Cairan malam panas yang mengalir dari pucuk canting itu meninggalkan jejak gambar bunga kecil, dedaunan, dan ranting melengkung. Separuh kain putih sepanjang 1,5 meter yang dipangkunya sudah dipenuhi klowongan atau kerangka desain batik tulis.

Umriyah, 75 tahun, adalah salah satu pembatik tertua di Desa Kalipucang We-tan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Seperti para pembatik lain di kampungnya, Umriyah biasa membatik di kala senggang, selepas membereskan urusan rumah tangga atau menengok sawahnya di tepi desa. Meski renta, Umriyah jelas masih piawai menggoreskan cairan malam membentuk aneka motif. “Membatik membantu pikiran Mak tetap bagus,” kata Umriyah, yang biasa disapa Mak Sium, lalu tertawa, Kamis, 20 September lalu.

Membatik juga menjadi cara Mak Sium merawat kenangan dan tradisi yang dipelajarinya dari sang ibu kala ia masih berusia 10 tahun. Membatik, menurut Mak Sium, menjadi bagian dari kehidupan warga kampungnya. Mak Sium dan warga Kalipucang Wetan lain adalah bagian dari komunitas Rifa’iyah, pengikut paham keislaman yang diajarkan Syekh Ahmad Rifa’i, ulama yang hidup pada 1786-1869 di Kalipucang Wetan.

Pada awal 2000-an, batik Rifa’iyah hanya dikenal terbatas. Batik buatan warga Rifa’iyah kebanyakan diproduksi untuk dikenakan kalangan sendiri. Para pria mengenakan kain bermotif itu sebagai sarung untuk salat. Adapun kaum perempuan memadankan kain batik panjang dengan kebaya dan kerudung untuk pakaian harian.

Sekarang batik asal kampung ini lebih dikenal sebagai batik Rifa’iyah dan menjadi salah satu ikon Batang. Sebutan batik Rifa’iyah sebetulnya tak pernah dipakai oleh warga komunitas tersebut. Istilah ini muncul dalam laporan-laporan para peneliti untuk membedakan produk batik komunitas Rifa’iyah dengan batik tulis lain yang bergelimang di kawasan pesisir utara Jawa Tengah, terutama di Pekalongan dan Batang. “Kalau melihat motifnya, pasti langsung kenal itu batik Rifa’iyah,” ucap peneliti batik Nusantara, Kwan Hwie Liong.

Berbeda dengan perkembangan batik Pekalongan yang dinamis, menurut Kwan, batik Batang bertahan dengan gaya desain yang sama hingga saat ini, yaitu batik pesisir peranakan Tionghoa. Adapun motif khas batik Batang dibedakan menjadi gaya pedalaman alias soganan dan gaya pesisiran. Batik buatan warga Kalipucang Wetan ini masuk kategori gaya pesisiran.

Selintas batik Rifa’iyah tak jauh berbeda dengan model batik pesisir yang biasa menggunakan warna-warna cerah kombinasi merah, biru, cokelat, kuning, dan hijau. Namun detail batik Rifa’iyah lebih rumit, rapat, dan halus. Seluruh bidang kain dipenuhi gambar dan isen-isen alias ornamen latar motif batik.

Motif Batik buatan Umriyah.

Tanda lain batik tulis Rifa’iyah adalah goresan malam pada kain yang dibuat secara bolak-balik atau sebagai terusan. “Para pembatik Rifa’iyah wajib membuat goresan malam bolak-balik ini,” tutur Unipah, Ketua Kelompok Usaha Bersama Tunas Cahaya—wadah pembatik Desa Kalipucang Wetan.

Ciri utama batik Rifa’iyah adalah gambar hewan tidak dibuat utuh. Rupa ayam atau burung sengaja dilukis terpisah antara kepala dan tubuh, seolah-olah terpenggal. Gambar serangga, seperti kupu-kupu, yang biasa terdapat di batik pesisir lain disamarkan dalam bentuk dedaunan. Bagian-bagian tubuh hewan, misalnya ekor, sayap, bahkan bulu, pun digambar dalam bentuk perpaduan dengan motif bunga atau pohon.

Usaha menyamarkan wujud fauna ini didasarkan pada ajaran Ahmad Rifa’i, yang pernah diasingkan Belanda ke Ambon, Maluku, pada pertengahan abad ke-19. Selepas dari pengasingan, Rifa’i kembali ke Jawa untuk berdakwah. Pantangan menggambar hewan atau manusia utuh itu sesuai dengan hadis Nabi Muhammad. Pakaian batik bergambar hewan utuh pun tidak bisa digunakan untuk salat. Jadilah warga Rifa’iyah memodifikasi gambar hewan dalam tradisi membatik.

Ada lebih dari 20 motif batik Rifa’iyah, di antaranya kawung ndog, krokotan, banji, liris, gemblong sairis, pelo ati, nyah pratin, dan materos. Adapun untuk pewarnaan, para pembatik Rifa’iyah kebanyakan menggunakan gaya tiga negeri (merah, biru, dan cokelat).

Di tengah gempuran industri batik cap dan cetak yang bisa berproduksi lebih cepat dan dalam jumlah besar, para pembatik Rifa’iyah mampu bertahan. Ini terbukti dari tidak berkurangnya pembeli yang mencari produk mereka. Hingga saat ini pun mereka tetap mempertahankan gaya tradisional dalam membatik, dari pembuatan desain hingga pewarnaan yang masih menggunakan teknik celup. “Pembatik Rifa’iyah biasa mengerjakan seluruh proses itu sendiri,” ucap Unipah.

Selembar kain batik dengan panjang 2,5 meter bisa diselesaikan dalam tempo sekitar enam bulan. Harganya Rp 1,5-2 juta per lembar. Makin rumit motif dan kombinasi warna, menurut Unipah, durasi pengerjaan makin lama dan harganya pun makin mahal. Pemesan biasanya datang langsung ke desa itu atau menghubungi via telepon untuk meminta dibuatkan batik. “Kita bantu juga pembatik kalau mereka ada kesulitan atau halangan membatik,” ujarnya.

Kegiatan membatik dikerjakan para perempuan di komunitas Rifa’iyah. Namun membatik di kampung itu tidak menjadi pekerjaan utama mereka. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pembatik di Pekalongan, yang menjadikan aktivitas itu sebagai mata pencarian. “Membatik sesempatnya saja, kalau urusan rumah tangga selesai. Makanya bisa lama proses pembuatan batik di sini,” kata Unipah, yang sudah lebih dari 20 tahun membatik.

Untuk menemani kegiatan membatik, Unipah melanjutkan, ada kebiasaan melagukan tembang-tembang tradisional yang juga diwarisi dari para orang tua mereka. Syair-syair lagu berbahasa Jawa itu biasanya diambil dari ajaran agama tentang berbuat baik kepada sesama. “Bersenandung bersama lebih menarik dan membuat membatik tidak membosankan,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus