Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Takhta, Kuasa, dan Motif Larangan

Keraton Yogyakarta setia menjaga batik larangan yang punya sederet pakem. Hanya boleh dipakai keluarga raja dan saat upacara di keraton.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kain bermotif parang bolodewo itu sekilas mirip batu karang yang disusun miring, membentuk semacam pedang. Peneliti batik asal Belanda, G.P. Rouffaer dan Hendrik Herman Juynboll, dalam buku Batik-Kunst in Niederlandisch-Indien und ihre Geschichte (Sejarah Seni Batik di Hindia Belanda) menyebutkan motif itu berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para kesatria dan penguasa saat berperang. Motif batik itu diyakini bisa melipatgandakan kekuatan dan menyimbolkan kekuasaan.

Konon, motif parang bolodewo muncul setelah Raja Mataram Sultan Agung bersemadi di pantai selatan Jawa. Gerak ombak yang menghantam karang mengilhami garis lengkung parang baladewo. Adapun komposisi miring pada motif itu melambangkan kekuasaan, kekuatan, kewibawaan, dan kecepatan gerak.

Batik parang bolodewo yang berusia lebih dari seabad itu tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai salah satu warisan leluhur. “Yang membatik Gusti Kanjeng Ratu Dewi,” kata putri Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono IX, Gusti Bendara Raden Ayu (GBRAy) Murdokusumo, kepada Tempo di rumahnya di Yogyakarta, medio September lalu.

Gusti Kanjeng Ratu Dewi adalah putri Sultan Hamengku Buwono VII, yang berkuasa pada 1877-1920. Menurut Murdokusumo, dulu semua anak raja seharusnya bisa menari dan membatik dengan canting. “Tapi banyak yang tidak telaten mbatik,” ujar perempuan 74 tahun yang menjadi pengelola batik klasik di Tamanan, kompleks keraton, itu.

Murdokusumo menuturkan, parang bolodewo memiliki peran penting dalam sejarah batik Keraton Yogyakarta. Sebab, motif ini tergolong motif larangan, yang hanya boleh dipakai raja, permaisuri, dan putra-putri keraton. Aturan pemakaiannya pun tak sembarangan. Makin besar ukuran parang, makin tinggi jabatan pemakainya. Batik dengan motif parang berukuran 15 sentimeter ke atas, misalnya, hanya boleh dikenakan raja.

Motif huk.

Motif larangan lain adalah huk, yang menggambarkan embrio burung burak. Burung itu menyimbolkan misteri Ilahi. Adapun raja, permaisuri, dan anak-anak mereka dianggap mengetahui rahasia Tuhan. Ada pula motif nitik bligon. Batik dengan motif tersebut dibikin Kanjeng Ratu Ayu Retno Wilanten, istri Hamengku Buwono VIII dan ibunda Murdokusumo.

Motif nitik bligon menggunakan citraan yang sangat detail dan rumit sehingga tergolong sulit pengerjaannya dalam dunia batik tulis. Murdokusumo menerangkan, membatik memerlukan ketekunan, ketelatenan, dan kesabaran. Pengerjaan satu kain batik klasik memerlukan waktu satu-dua bulan. Batik klasik Yogyakarta, kata dia, punya kekhasan pada warnanya, yakni warna sogan atau cokelat muda, biru tua, dan putih.

Dosen arkeologi Universitas Gadjah Mada, Sektiadi, mengatakan motif batik klasik Keraton Yogyakarta punya kemiripan dengan motif pada sejumlah arca. Misalnya motif lereng atau parang yang banyak ditemukan di situs Gunung Wingko di selatan Yogyakarta. Juga motif semen pada arca Dwarapala di Candi Sewu.

Kekhasan utama motif batik klasik tersebut ada pada pola geometrisnya yang kuat. Misalnya motif ceplok yang banyak ditemukan pada panil-panil candi. Pola tersebut khas memenuhi semua bidang kain batik. “Itu menguatkan dugaan bahwa banyak gagasan dari masa lalu yang masih ada sampai sekarang,” ucap Sektiadi.

Motif Bolodewo.

Batik Yogyakarta sendiri merupakan warisan kebudayaan Mataram Islam, yang beribu kota di Kotagede. Peristiwa Palihan Nagari, yakni pembelahan keraton menjadi Yogyakarta dan Surakarta, punya andil dalam membentuk karakter motif kedua kesultanan tersebut. Saat itu kain batik di Keraton Surakarta diboyong ke Yogyakarta, sehingga batik yang berkembang mewarisi motif-motif lama Mataraman. “Karena itulah batik Yogyakarta sering disebut punya gaya Mataraman,” ujar Sektiadi.

Batik klasik keraton itu, menurut Sektiadi, lebih bersifat folklore atau berkembang dari tradisi lisan. Ia menjadi khas karena keraton cukup kuat mengatur penggunaan motif tertentu, misalnya larangan. Pakem batik larangan dalam upacara keraton sekaligus membuat sejumlah motifnya terlindungi.

GBRAy Murdokusumo mengungkapkan, tak mudah bagi keraton untuk menjaga marwah batik klasik mereka. Upaya pelestarian ini dijalankan sejak 1999, pada masa kepemimpinan Hamengku Buwono X. Menurut Murdokusumo, pelestarian kian penting karena penggunaan batik klasik Keraton Yogyakarta mengalami pergeseran nilai. Tak mengherankan bila di luar istana bisa dijumpai warga yang mengenakan kain batik bermotif parang barong. “Tapi, bila masuk ke lingkungan keraton, motif ini tak boleh dipakai. Sebab, motif parang barong sebenarnya milik raja,” tuturnya.

Pemerhati batik dari Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad yang juga keturunan Hamengku Buwono VII, Mari S. Condronegoro, mengatakan motif batik parang ada sejak Sultan Agung berkuasa pada 1613-1645. Dulu hanya raja dan keluarganya yang boleh mengenakannya. Namun kini motif batik parang banyak beredar di luar tembok keraton. “Pemakaiannya makin longgar,” ucap Mari.

Penulis buku Busana Adat Keraton Yogyakarta 1877-1937: Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara itu menganggap kelonggaran tersebut terjadi karena secara politis kekuasaan keraton berkurang setelah Republik Indonesia lahir. Padahal kalangan keraton masih menjaga tradisi penggunaan batik motif larangan.

Mari menuturkan, aturan batik larangan ada di bawah kuasa raja. “Setiap raja punya wewenang menetapkan motif tertentu sebagai batik larangan,” katanya. Parang rusak adalah motif batik pertama yang digolongkan sebagai larangan, yakni oleh Hamengku Buwono I, pada 1785. Pada era Hamengku Buwono VII, motif huk dan kawung yang diistimewakan.

Putri Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono IX, Gusti Bendara Raden Ayu (GBRAy) Murdokusumo

Kawung menggunakan pola geometris berbentuk empat elips yang mengelilingi satu pusat. Pola itu dalam budaya Jawa dikenal sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin. Budaya Jawa mengenalnya sebagai keblat papat lima pancer.

Ihwal penggunaan motif larangan juga tercantum dalam Rijksblad van Djokjakarta tahun 1927. Ada aturan yang menyebutkan batik motif parang dengan ukuran 10 sentimeter ke atas hanya boleh dikenakan raja, permaisuri, dan anak mereka.

Pada masa kepemimpinan Hamengku Buwono VII, batik hanya diproduksi di lingkungan keraton dan rumah-rumah bangsawan. Motif batik klasik baru beredar di luar tembok keraton pada akhir masa kekuasaannya. Saat itu batik mulai dibuat di kampung oleh para abdi dalem. “Ini yang membuat motif batik larangan keluar dari keraton dengan sendirinya,” ujar Mari Condronegoro.

Mari menilai batik klasik keraton mengalami pergeseran nilai karena banyak orang kurang memahami filosofinya. Ia mencontohkan pengalamannya melihat motif parang yang dijadikan kain karpet dan motif slobok, yang semestinya dikenakan untuk menghadiri pemakaman, malah dipakai ke pesta pernikahan.

Sektiadi menyebutkan batik klasik Yogyakarta mengalami pergeseran nilai karena orang lebih mudah mendapatkan motif tersebut di pasar. “Keraton tak bisa melarang orang memproduksi batik motif klasik keraton,” katanya. “Pihak keraton perlu terus mensosialisasi makna motif tersebut ke kalangan luar keraton dan memberi contoh penggunaan motif itu secara tepat sesuai dengan aturan.” 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus