Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah bangunan menyerupai masjid berdiri di halaman Balai Desa Bakaran, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bangunan berukuran 4 x 4 meter itu memiliki dua tumpuk atap tajuk yang puncaknya menyerupai puncak candi. Di sebelah bangunan berwarna hijau itu, tumbuh pohon beringin yang dikelilingi pagar bergaya arsitektur Hindu-Buddha. Oleh warga Baka-ran, bangunan itu diyakini sebagai peninggalan nenek moyang mereka, Nyi Danowati, yang berasal dari Kerajaan Majapahit.
Menurut sesepuh Desa Bakaran, Bukhari, 67 tahun, Nyi Danowati-lah yang membawa tradisi membatik dari Kerajaan Majapahit. Ari Kinoysan Wulandari dalam bukunya, Batik Nusantara, menyebutkan batik sudah ada pada zaman kerajaan yang berdiri di Jawa Timur selama 1293-1500 itu. Buktinya, kata dia, di Candi Rimbi, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, terdapat motif kawung pada Harihara, arca yang menggambarkan sosok Raden Wijaya, raja pertama Majapahit.
Bukhari berkisah, Nyi Danowati adalah abdi dalem Kerajaan Majapahit yang bertugas membuat pakaian prajurit dan kerabat keraton. Pada 1478, Majapahit diserang Demak, kerajaan Islam pertama di Indonesia. Nyi Danowati lantas melarikan diri dan membangun sebuah perkampungan yang ia beri nama Bakaran, yang berjarak sekitar 200 kilometer dari Kerajaan Majapahit.
Nyi Danowati juga mendirikan bangunan menyerupai masjid yang tidak memiliki tempat imam untuk mengelabui tentara Kerajaan Demak. “Di tempat yang disebut mesigit itu, Nyi Danowati mengajari orang-orang sekitar membatik,” ujar Bukhari saat ditemui Tempo di kediamannya, Sabtu tiga pekan lalu.
Pengaruh Kerajaan Majapahit itu terlihat pada motif-motif batik klasik Bakaran. Saat menelusuri batik di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, yang diduga kuat sebagai pusat Majapahit, Bukhari menemukan kemiripan batik di sana dengan batik Bakaran. “Ada batik dengan motif daun yang bentuknya seperti buah jambu monyet yang mirip dengan motif di sarung batik buatan ibu saya pada 1969,” kata pria generasi kelima perajin batik Bakaran itu.
Hingga kini, motif-motif batik klasik Bakaran tersebut masih dipertahankan. Salah satu motif Bakaran buatan Nyi Danowati adalah motif gandrung. Motif itu dibuat ketika Nyi Danowati kembali bertemu dengan kekasihnya, Joko Suyono, saat ia sedang membatik di mesigit-nya. “Gandrung berarti cinta,” Bukhari menjelaskan.
Ada pula motif khas Bakaran yang mirip dengan sekar jagad dari Surakarta dan Yogyakarta, yakni padas gempal. Dalam bahasa Jawa, padas berarti batu karang dan gempal adalah gumpalan. “Bentuk gumpalan batu karang itu berbeda-beda,” tutur Bukhari. Maknanya, dia melanjutkan, dalam kehidupan pasti terdapat perbedaan, tapi perbedaan itu menciptakan keindahan tersendiri.
Selain motif, menurut Ketua Asosiasi Batik Tulis Bakaran, Agus Wibawa, ciri khas batik Kerajaan Majapahit yang melekat pada batik Bakaran adalah warnanya. Meskipun batik Bakaran yang berkembang saat ini juga menggunakan warna-warna terang yang menjadi ciri khas batik pesisir, batik klasik Bakaran cenderung berwarna gelap, seperti cokelat dan hitam. “Cokelatnya pun gosong. Berbeda dengan batik Solo atau Yogyakarta yang keemasan,” ucap Agus saat ditemui di rumahnya di Bakaran, Ahad dua pekan lalu.
Batik asal Bakaran pun memiliki ciri khas berlatar belakang retakan. Agus, yang juga assessor (penilai) di Lembaga Sertifikasi Pembatik, mengatakan latar retakan itu mirip dengan batik Kerajaan Majapahit yang ia temukan di Tulungagung dan Banyuwangi, Jawa Timur. Menurut Bukhari, retakan itu dibuat dengan meremuk kain batik yang dilapisi malam sebelum dicelupkan ke cairan warna. Setelah malam dibersihkan, muncul motif abstrak berupa retakan sebagai latar belakang kain. ”Orang Bakaran menyebutnya remekan,” ujar Agus.
Peneliti batik, William Kwan, pada pertengahan September lalu di Jakarta menyebutkan batik lain yang berkembang di Juwana adalah lokcan. Batik itu dibuat masyarakat keturunan Cina. Selain di Juwana, batik lokcan berkembang di Lasem, Rembang, Pekalongan, Batang, Jawa Tengah; Cirebon, Jawa Barat; dan Gresik, Jawa Timur.
Menurut pengamat wastra tradisional, Judi Achjadi, batik lokcan adalah batik yang dibuat di atas sutra berwarna biru. Kata lokcan berasal dari bahasa Hokkian, lo cuan. Lo berarti biru dan cuan berarti sutra. “Biasanya motifnya berupa burung hong, burung dalam legenda Cina, dan kapas,” katanya di Jakarta, pertengahan September lalu.
Saat ini, Judi menambahkan, pembatik lokcan sudah tak ditemukan lagi di Juwana. Batik yang eksis pada 1875-1920 itu tidak diproduksi lagi karena meroketnya harga sutra. Menurut Bukhari, kini yang tersisa dari batik lokcan di Juwana hanyalah motifnya. Adapun kain yang digunakan adalah mori prima atau mori primis.
Kain sutra digunakan pembatik Bakaran untuk membuat motif khas Bakaran, bukan lokcan. “Batik lokcan adalah perintis batik di atas sutra di Indonesia,” kata William Kwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo