Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tahun belakangan ini, ahli tanaman tropis Cisca van der Zwaan memiliki kesibukan baru. Setiap musim panas, dia mengadakan kursus batik di Hortus Botanicus, kebun botani di Leiden, Belanda, tempat ia bekerja sebagai pemandu. Peserta kursusnya selalu membeludak. ”Kami hanya menerima sepuluh peserta,” katanya kepada Tempo, tiga pekan lalu.
Dalam kursus pada Juli lalu, para peserta, yang semuanya perempuan, tampak antusias menggambar motif batik. Ada gambar bunga, tanaman, atau pola lain. Duduk berhadapan dalam satu meja, mereka bergantian memakai canting dan menggoreskan malam pada sehelai kain putih.
Di salah satu kebun botani tertua di dunia itu, Cisca memulai kursus membatik tanpa sengaja. Pada 2016, ia memberikan simposium tentang indigo alias tarum, tanaman penghasil warna biru, dalam pembuatan batik. Saat itu banyak orang tertarik dan meminta Cisca membuat pelatihan batik untuk memperingati 200 tahun kerja sama Hortus Botanicus Leiden dan Kebun Raya Bogor. Sejak itu, ia banyak diminta mengadakan kursus batik.
Pelatihan batik tidak hanya ada di Leiden. Sekolah Tekstil DIY di Ibu Kota Amsterdam bahkan mempunyai jurusan khusus membatik. Sepanjang Januari-Juni, setiap pekan para siswa mendapat teknik membatik dari pakar batik tradisional. Lewat teori dan praktik, mereka dikenalkan pada peralatan, bahan pewarna, dan proses membatik.
Kurator batik Alit Djajasoebrata mengatakan kursus-kursus batik di Belanda umumnya bersifat sosial, yakni untuk mengisi waktu luang. Namun Daan van Dartel, kurator mode dan budaya populer di Tropenmuseum, Amsterdam, mengatakan ikatan sejarah antara Belanda dan Indonesia berperan penting dalam menjaga antusiasme warga di Negeri Kincir Angin terhadap batik.
Orang Belanda terpesona oleh keindahan batik sejak pertengahan awal abad ke-19, saat Belanda menjajah Nusantara. ”Belanda, yang juga ingin memproduksi batik, membawa para pembatik terampil ke negaranya sebagai instruktur,” tulis Michael Hitchcock dalam buku Building on Batik: The Globalization of a Craft Community.
Pemerintah Belanda bahkan membangun pabrik batik di Leiden pada 1835, yang memantik negara-negara Eropa lain menirunya. Swiss, misalnya, sempat mengekspor batik tiruan. Namun produksi batik ini melorot setelah batik cap berkembang di Jawa pada 1870-an. Orang Jerman juga bereksperimen dan memproduksi batik massal dengan pena kaca pada awal 1900.
Jejak batik Nusantara juga terekam di British Museum, London. Koleksi batik Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris yang menguasai Jawa pada 1811-1816, tersimpan di sana. ”Ada sarung batik pesisir berwarna sogan dan batik bermotif parang rusak yang ujungnya memakai pucuk rebung,” kata peneliti batik William Kwan, tiga pekan lalu.
Dalam bukunya, The History of Java, Raffles memaparkan berbagai koleksi etnografi, termasuk 22 potong kain batik Jawa. Kain-kain ini kemudian menjadi contoh untuk direproduksi di sebuah pabrik katun di Inggris. ”Namun pemerintah Inggris gagal menjual kain buatan Inggris di Jawa karena mereka tidak dapat mereplikasi pewarna (yang dibikin) di Jawa,” tulis Hitchcock.
Di Benua Biru, Belanda terbilang negara paling sukses mengembangkan batik. Ini tak lepas dari kebijakan Politik Etis pada 1867. Pemerintah Hindia Belanda ingin membangun tanah jajahannya lewat pendidikan, irigasi, dan imigrasi sebagai balas budi. Dua tahun sebelum itu, Belanda telah membangun Colonial Museum di Haarlem. Museum ini yang pertama kali mengoleksi batik dari Indonesia serta banyak menyumbangkan hasil penelitian dan koleksinya, antara lain ke Tropenmuseum.
Selain itu, munculnya Gerakan Seni dan Kerajinan di Eropa menjadi faktor penting yang membuat batik sangat populer pada masa itu. Gerakan yang dipelopori perancang busana asal Inggris, William Morris, serta seniman dan pelukis John Ruskin pada pertengahan abad ke-19 ini terutama bertujuan melawan produk Revolusi Industri, yang dianggap norak dan murahan.
Di Belanda, banyak laboratorium tekstil melakukan berbagai eksperimen teknis ataupun uji keawetan warna pada bahan. ”Apa pun yang berasal dari daerah jajahan menjadi menarik,” ujar Daan van Dartel. Batik dengan karakternya, yang berpihak pada perajin dan kebudayaan, dianggap mampu melawan kekuatan industri yang tengah melanda Eropa.
Colonial Museum berperan vital bagi perkembangan batik di Belanda. Dengan adanya museum ini, untuk pertama kalinya Negeri Kincir Angin menerbitkan tulisan tentang kesenian dan kerajinan, termasuk batik. Peneliti dan kolektor batik bermunculan dan menghibahkan koleksi mereka ke museum-museum Belanda.
Colonial Museum juga banyak melakukan penelitian dan eksperimen dalam teknik pewarnaan organik. Hasil eksperimen mereka diterapkan dalam batik yang kemudian dikenal sebagai Batik Haarlem. Saat itu banyak mahasiswa tamu belajar teknik membatik di Colonial Museum. Setelah lulus, mereka membawa keahlian ke negaranya, dari Belgia sampai Polandia.
Sayangnya, museum ikonik itu ditutup dan dipindahkan ke Amsterdam pada 1923. Satu-satunya jejak batik klasik di Belanda yang masih buka sampai sekarang adalah Pabrik Batik Vlisco di Helmond. Sejak 1852, Vlisco membuat bermacam batik imitasi dari Hindia Belanda. Pendirinya, Jan Willem Sutorius, kala itu bertekad sebaik mungkin membuat tiruan batik asli.
Vlisco menjadi pesaing berat gaya Batik Haarlem pada 1906. Batik Vlisco sangat populer di kalangan serdadu Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dari Afrika. Saat ditarik ke Ghana pada 1837-1872, setelah bertugas di Hindia Belanda, tentara KNIL membawa kain-kain batik ke tanah airnya. Di sana batik sangat disukai.
Melihat fenomena ini, Vlisco mulai mengirimkan batik tiruan ke Afrika Barat. Pasar ini menjadi sangat penting bagi Vlisco karena di Hindia Belanda mereka menghadapi tantangan berat, yaitu pasar batik yang dikuasai penduduk lokal yang mulai memproduksi batik cap. Mereka makin kesulitan karena pemerintah Belanda melindungi pembatik tradisional itu.
Sejak itu Vlisco berfokus menggarap pasar Afrika. Vlisco, yang menggenggam monopoli batik tiruan, terus menguasai pasar batik di sana, meskipun disaingi batik tiruan Cina.
Belanda kini rumah bagi ribuan koleksi batik kuno asal Indonesia. Tropenmuseum, museum etnografik terkemuka di Belanda, menyimpan sekitar 3.000 lembar batik yang dikumpulkan selama lebih dari 150 tahun. Ada pula koleksi batik di National Museum of Ethnology di Leiden dan Wereldmuseum di Rotterdam. Sebagian besar batik tersebut dikoleksi selama masa Hindia Belanda.
Daan van Dartel, kurator di Tropenmuseum, mengatakan ribuan lembar batik biasanya digulung atau dibentangkan supaya tidak ada garis lipatan. Jika tidak ada pameran, kain-kain itu ditaruh dalam ruang penyimpanan khusus. Batik hanya bisa dipamerkan selama tidak lebih dari tiga bulan dengan pencahayaan yang redup, ”Karena dikhawatirkan akan mengubah warnanya.”
Batik koleksi Tropenmuseum umumnya hibah perorangan, dari pekerja swasta, kaum misionaris, tentara, sampai pedagang. ”Tiap helai batik berisi kisah dari orang-orang yang membuat, mengenakan, dan mengoleksinya,” kata Itie van Hout, bekas kurator batik Tropenmuseum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo