PUJA-PUJI setinggi langit mengiringi peluncuran awal Human Genome Project, hampir satu dasawarsa lalu. Menghabiskan ongkos US$ 3 miliar—atau sekitar Rp 27 triliun, proyek ini punya misi luar biasa: mengungkap rahasia 100 ribu gen yang terekam dalam DNA manusia. Orang pun menyamakannya dengan Proyek Manhattan—misi mendaratkan manusia di bulan.
Proyek itu semula diperkirakan selesai pada 2005. Namun, persaingan bisnis mungkin akan membuatnya selesai jauh lebih cepat. Berbeda dengan proyek Apollo yang cuma diminati pemerintah, proyek ini membuat ngiler kalangan bisnis: di masa depan genetika diyakini bakal mengambil peran penting dalam dunia kedokteran, sebuah bidang usaha yang menguntungkan pula.
Tak mengherankan jika banyak perusahaan farmasi bersemangat menganggarkan miliaran dolar bagi riset genom untuk menemukan berbagai metode pengobatan mutakhir. Tentu saja dengan kesadaran: yang mampu mendapatkannya pertama kali dan kemudian mematenkannya berhak atas porsi keuntungan terbesar.
Adu kencang pun tak terelakkan. Celera Genomics Corporation yang dipimpin seorang ilmuwan nyentrik Craig Venter langsung tancap gas. Venter bersumpah: cuma perlu waktu tiga tahun untuk merampung proyek itu. Pesaing lain lalu "gelap mata". Para pemimpin proyek pemerintah—di laboratorium milik universitas dan pemerintah di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, juga Jepang—kontan berpikir ulang soal tenggat mereka. Buntutnya, tahun 2003 ditetapkan sebagai batas akhir. Draf kasar sudah akan diterbitkan tahun 2001.
Untuk memacu kecepatan, metode pemetaan diutak-atik. Pihak pemerintah melakukannya secara detail. Ibarat memetakan rute San Fransisco-New York City, mereka menelusuri seluruh jalur dan lembah yang ada. Pendekatan sektor swasta memotong jalur tersingkat, contohnya yang dilakukan Incyte Pharmaceuticals dari Palo Alto, California. Peta mereka mirip foto satelit yang memusatkannya pada bidang tertentu dari seluruh cakupan area. "Yang sangat ingin diketahui orang," kata Randal Scott, Kepala Bidang Penelitian Incyte, "tempat seluruh kota itu berada. Untuk itu, Anda tidak perlu memotret setiap pohon dan selokan."
Genset, salah satu rival Scott yang berbasis di Prancis, menempuh pendekatan yang sama. Cuma, fokusnya lebih dipersempit lagi pada 60 ribu—dari 10 juta—"rambu" biokimia di sepanjang genom, untuk menemukan gen tertentu yang malfungsinya mengakibatkan berbagai penyakit. Dengan model tersebut, mereka berani pasang target penyelesaian pada awal tahun depan!
Persaingan tidak selalu santun. Proyek pelat merah dicela pihak swasta sebagai riset awut-awutan tanpa visi. Kalangan pemerintah balik mengecam swasta sebagai operasi perompak yang bernafsu mengangkangi karya Ilahi di balik hak paten. Selain urusan saling tuding, ada persoalan lebih serius. Adu cepat ini dikhawatirkan berdampak pada hasil yang jauh dari sempurna. "Jika ini adalah buku kehidupan," dengus Francis Collins, salah seorang pimpinan Human Genome Project, "kita seharusnya tidak puas dengan banyak lubang kesalahan."
Apalagi, pemenang sebenarnya tidak diputuskan di laboratorium, tapi di pengadilan dan kantor paten. Belakangan ini, para peneliti gen membanjiri Kantor Urusan Merek dan Paten AS. Persaingan gila-gilaan membuat mereka—meskipun belum menuntaskan penelitiannya—buru-buru mematenkan temuannya. Memagari lahan adalah urusan nomor satu. Padahal, praktek gelap mata itu telah menerobos tabu dunia sains yang selalu menempatkan harga sebuah keakuratan di atas segala-galanya. Dan yang terpenting: jangan-jangan hasilnya cuma temuan kodian dan bisnis yang semena-mena.
Alih-alih saling sikut, mengombinasikan model pemerintah dan partikelir adalah penyelesaian terbaik. Jika swasta memusatkan perhatiannya pada gen yang paling diminati, ilmuwan yang disponsori pemerintah bisa menggarap urusan selebihnya. Semua orang akan diuntungkan.
Karaniya Dharmasaputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini