Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Einstein, Muhammad, dan Yesus

Kloning pada manusia memicu perdebatan etika dan teologis. Dan memicu kekacauan nilai-nilai?

12 April 1999 | 00.00 WIB

Einstein, Muhammad, dan Yesus
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MEMBUAT tiruan manusia, yang dulu semata fiksi sains, kini bukan lagi impian kosong. Jika "Dolly"—bayi biri-biri hasil kloning—bisa diciptakan, seperti telah terbukti pada 1997, kenapa manusia tidak? Bukankah dengan metoda dan teknologi yang sama kita bisa menghasilkan tiruan Beethoven dalam darah dan daging, atau Elvis Presley, atau si jenius Einstein? Namun, perwujudan ide itu sampai saat ini masih mengawang jauh di horizon langit. Pertama, alasan teknis; perkembangan mutakhir proyek rekayasa genetika baru sampai tahap pemetaan gen-gen yang menjadi sumber penyakit (belum bagaimana "membuat" manusia). Kedua, alasan etika; sebab, bukankah orang juga bisa menciptakan Hitler, dan bukannya Beethoven? Gagasan mengkloning manusia masih sangat kontroversial. Tak mengherankan jika beberapa rancangan undang-undang antikloning telah diperkenalkan di ruang Kongres Amerika Serikat, tahun lalu. Di belahan bumi lain, 19 negara di Eropa menandatangani kesepakatan untuk melarang replika genetis pada manusia. Tak semua pihak setuju terhadap upaya pembatasan riset ilmiah semacam itu. Banyak ilmuwan menilai rambu-rambu yang melarang kloning pada manusia akan mengancam masa depan riset rekayasa genetika, terutama dalam bidang kemandulan. Tajuk dalam jurnal New England Journal of Medicine menganggap beberapa larangan riset untuk kloning pada manusia sangat salah arah. Para ilmuwan yakin bahwa, terlepas dari berbagai rambu-rambu hukum yang akan diterapkan, kloning pada manusia suatu saat akan menjadi kenyataan karena hal itu konsekuensi yang tak terhindarkan dari kemajuan teknologi. Di lain pihak, mereka yang melarang kloning manusia memandang bahwa ada wilayah-wilayah penciptaan yang semestinya merupakan hak prerogatif Tuhan. Filosofinya jelas: agar manusia tetap mahluk manusia, bukan cyborg atau manusia setengah mesin. Namun, sebagian lain berpandangan bahwa manusia pada dasarnya "partner penciptaan" Tuhan. Dalam arti lain, boleh dong manusia menciptakan manusia lewat rekayasa teknologi. Alasan lain, toh semua itu dimungkinkan oleh hukum alam yang juga ciptaan Tuhan. Juga, bukankah manusia hasil kloning masih bisa disebut "citra" Tuhan. Dr. Philip J. Hefner, profesor bidang teologi dari Lutheran School of Theology di Chicago, Amerika Serikat, adalah salah satu yang mendukung kloning manusia. "Semua kehidupan ini pemberian Tuhan, termasuk hidup yang memungkinkan penciptaan kloning," kata Hefner, yang beragama Kristen itu. Soal moral dan spiritual ini, bagaimanapun, memang menghambat laju perjalanan riset kloning manusia. Namun, perlambatan itu layak disyukuri karena akan menyangkut masa depan kemanusian secara mendasar. Bila revolusi industri yang membuahkan peradaban modern berekses negatif terhadap rasionalisme yang menampik agama, revolusi bioteknologi abad ke-21 ini—bila tidak disikapi dengan kritis—seperti yang diramalkan para pemikir pascamodern, akan menimbulkan ekses yang lebih jauh: kekacauan nilai-nilai. James D. Watson, yang bersama Francis Crick menemukan struktur DNA (embrio teknologi kloning itu), punya pendapat lain—khas seorang Descartesian. Dia menolak larangan studi kloning manusia karena ancaman "kekacauan nilai-nilai" tadi toh tak bisa diukur. "Moral yang saya anut pada episode yang gamang ini tidak akan menunda percobaan yang jelas mendatangkan manfaat di masa depan hanya karena ketakutan akan bahaya yang tidak bisa diukur," kata pemenang hadiah Nobel tahun 1953 itu. Watson mengabaikan spiritualisme. Bila aspek moral penciptaan ini tak direnungkan untuk dirancang sebaik mungkin, masa depan kehidupan manusia bisa menjadi "hyper-absurd" (ganjil yang berlebihan), seperti fiksi ilmiah berikut: seorang istri mengkloning suami yang telah meninggal, seorang bocah mengganti penampilan dengan wajah hasil kloning sel bintang film Macaulay Culkin, dan seabrek contoh lain. Termasuk ini: seorang pemeluk agama yang teguh membeli kloning tokoh spiritual tertentu, seperti jika seorang muslim ingin mengkloning Muhammad atau seorang Kristen menginginkan Yesus. Dan itu bukan lagi "andaikata". Majalah The Atlantic Monthly belum lama ini meliput sebuah kios di internet berjudul Christian for the Cloning of Jesus (www.geocities.com/Athens/Acropolis/8611/). Kios ini mengumpulkan pendapat publik tentang perlunya "mendatangkan" Yesus untuk mengatasi dekadensi moral yang melanda ummat manusia saat ini. Selama setahun, pada 1997, dia mengklaim, sebanyak 40.000 responden mendukung gagasan tersebut. Nah. Kelik M. Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus