Anda mungkin akan menyebut Richard Seed seorang gila. Idenya memang gila. Dua tahun lalu, ketika sekelompok ahli Skotlandia sukses mencipta tiruan biri-biri bernama Dolly, Seed sesumbar melakukan hal serupa, tapi pada manusia: mencetak setengah lusin bayi kembar yang "lucu dan murah senyum". Dia bersumpah, mimpinya akan menjadi kenyataan tahun ini.
Banyak ilmuwan meragukan kemampuan Seed—seorang ahli fisika eksentrik dari Riverside, Illinois, Amerika Serikat—mewujudkan mimpinya, apalagi tepat waktu. Toh, dia belum berhenti sesumbar. Dalam wawancara dengan Time akhir bulan lalu, dia bahkan mengatakan pertama-tama akan mengklon dirinya sendiri, atau istrinya, Gloria.
Seed mungkin omong kosong belaka. Namun, dia bukan satu-satunya ilmuwan yang berambisi mencipta tiruan manusia lewat teknologi kloning. Itu sebabnya, orang tak terlalu terkejut ketika Desember tahun lalu ilmuwan Korea Selatan mengaku mampu memproduksi janin manusia berisi empat sel.
Lomba adu cepat dalam bidang genetika memang kian marak, terutama sejak diluncurkannya "Human Genome Project" pada 1989—sebuah proyek ambisius untuk membuat peta genetika umat manusia. Proyek ini, yang didanai pemerintah federal Amerika Serikat, semula direncanakan usai pada 2005. Pada kenyataannya bisa lebih cepat. Kini tak hanya pemerintah yang berminat, banyak perusahaan swasta ikut terlibat dan berlomba-lomba karena motif keuntungan: pemanfaatan genetika dalam bidang kedokteran akan merupakan bisnis raksasa, terutama di negara maju (lihat: Memburu Gen, Memburu Dolar).
Meski dalam banyak hal masih terbatas mengeksplorasi manfaat genetika untuk kepentingan penyembuhan penyakit, perlombaan besar itu berpotensi mewujudkan impian gila "para pencipta manusia" lebih cepat dari yang bisa dibayangkan. Abad ke-21 mendatang, seperti ditulis Time bulan lalu, akan merupakan abad bioteknologi, menggantikan abad fisika yang kian usang.
Sebagai langkah awal, berkat genetika, kini para dokter telah mampu secara akurat menentukan jenis kelamin bayi. Dua tahun lalu, dokter di sebuah klinik di Fairfax, Virginia, AS, berhasil mempersembahkan bayi perempuan seperti diinginkan dua orang tuanya—Monica dan Scott Collins—dengan memanfaatkan teknik penyaringan genetik. Seperti diketahui, sel tiap perempuan memiliki dua kromosom X, sedangkan lelaki mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y. Kelahiran bayi perempuan bisa dipastikan dengan "menyaring" kromosom Y agar tidak ikut serta dalam proses pembuahan.
Itu baru langkah awal. Dalam satu atau dua dasawarsa mendatang, para ilmuwan memperkirakan para orang tua bisa memilih tak hanya jenis kelamin, melainkan juga warna rambut, mata, perawakan, serta daya tahannya terhadap penyakit tertentu. Dalam kasus pasangan Collins, misalnya, bayi perempuan dipilih karena lebih tahan terhadap serangan penyakit turunan hydrochepalus—cairan di otak—daripada bayi lelaki.
Bahkan tidak mustahil pula kelak para orang tua bisa memilih anak dengan tingkat kecerdasan serta kepribadian tertentu. Banyak sifat fisik maupun psikis bersifat turunan dan ditentukan oleh gen. Dengan menguasai gen, para dokter bisa merakit seorang (atau sebuah?) bayi seperti yang diinginkan. Proses reproduksi manusia kelak tak kan berbeda dari proses ban berjalan di pabrik-pabrik.
"Sungguh sebuah pengalaman berbelanja yang mencengangkan: memilih dan merancang bayi Anda sendiri." Itulah sindiran yang dilontarkan oleh Jeremy Rifkin, seorang pengkritik keras bioteknologi. "Namun, dalam masyarakat modern yang begitu terobsesi oleh bedah kosmetik dan psikofarmakologi, kecenderungan ke arah itu tidak mengherankan."
Dengan bioteknologi, orang tak hanya bisa memimpikan bayi dari awal, melainkan memilihnya dari serangkaian model yang sudah ada. Teknologi kloning, seperti sudah dibuktikan dalam kasus Dolly, memungkinkan para dokter mencetak seorang bayi persis seperti Leonardo DiCaprio, misalnya, dari sehelai rambut atau secuil kulit bintang Titanic itu.
Orang juga bisa memesan Elvis Presley. Sebuah situs di internet, Americans for Cloning Elvis, mengklaim telah mengumpulkan petisi dari 2,5 juta orang yang setuju untuk "menghidupkan" kembali raja rock'n roll itu. Atau memesan Einstein. Atau Beethoven. Bahkan Yesus—untuk menyucikan dunia yang penuh dosa ini? (Lihat: Einstein, Muhammad, dan Yesus?).
Menyenangkan? Mungkin tidak. Terutama jika Anda pernah menonton film The Boys from Brazil. Dibuat oleh sutradara Franklin J. Schaffner pada 1978, film itu melukiskan bagaimana Joseph Mengele, dokter pribadi Adolf Hitler, "menciptakan" puluhan tiruan Hitler—dari sejumput serpihan tubuhnya. Motifnya: bisa menguasai dunia di bawah Imperium Ketiga. Jika Hitler mungkin dibuat, tak sulit membayangkan tampilnya kembali Jenghis Khan atau Abu Jahal atau Judas—sepanjang remah-remah tubuhnya masih bisa ditemukan.
Tak mengherankan jika perkembangan bioteknologi ini memicu perdebatan mendasar dan emosional menyangkut etika, moralitas, filsafat, dan teologi. Tak aneh pula jika banyak negara melarang praktek kloning manusia, bahkan praktek kloning secara keseluruhan.
Ian Wilmut, salah seorang ilmuwan di belakang lahirnya Dolly, tidak sependapat dengan pelarangan total itu. Namun, saat menulis esai di majalah Time bulan lalu, dia juga mempertanyakan manfaat praktis di balik keinginan memiliki anak melalui teknologi kloning tadi.
Secara genetis dan fisik anak hasil kloning akan sangat mirip dengan induknya—lebih mirip ketimbang antara anak dan orang tua alamiahnya. Namun, tulis Wilmut, kepribadian manusia tidak hanya ditentukan oleh gen, melainkan juga oleh faktor lingkungan dan pendidikan. Seperti dua anak kembar alamiah, dua kloning bisa memiliki kepribadian yang berbeda sama sekali.
Orang tua yang sedih karena ditinggalkan kematian tragis anaknya bisa dipahami menginginkan kloning untuk mengembalikan si anak. Namun, kata Wilmut, si orang tua harus memahami bahwa tiruan itu, betapapun miripnya, adalah individu baru, bukan anak mereka yang hilang.
Bisa dipahami pula jika orang tua ingin anaknya sempurna, baik fisik maupun kecerdasannya. Namun, kalaupun ini bisa diterima, bukankah mereka melupakan sama sekali kepentingan si anak? Konflik akan muncul jika anak tiruan itu gagal mengembangkan kepribadian dan kecerdasan seperti diinginkan. Apa yang akan terjadi jika si Elvis lebih berminat menjadi pialang saham, atau jika si Einstein lebih menyukai sepak bola ketimbang fisika?
Bahkan jika si Elvis ingin benar-benar menjadi Elvis, orang melupakan satu hal: nasib. Bagaimana jika si anak tak bisa mencapai harapan orang tua semata karena bernasib buruk?
"Anakmu bukanlah milikmu," kata Kahlil Gibran. "Dia putra-putri Sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri." Bisakah kloning menentang dalil universal ini tanpa memporak-porandakan kemanusiaan itu sendiri?
Farid Gaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini