Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT ditemui pada Jumat dua pekan lalu, Kartika Jahja, 35 tahun, tak bisa menyembunyikan kegundahannya. Mengenakan busana yang terkesan garang, jaket kulit dipadu dengan rok sepan bermotif lombok merah, penyanyi ini lalu mengungkapkan ketidakmengertiannya atas peristiwa yang baru dia alami.
Tika saat itu baru pulang dari Yogyakarta. Di Kota Gudeg, dia batal bernyanyi gara-gara ada kelompok organisasi kemasyarakatan menggerebek pergelaran Lady Fast 2016, tempat seharusnya dia manggung. "Alasannya sungguh tidak jelas," ujarnya.
Lady Fast semula akan menampilkan beragam mata acara dengan mengusung isu perempuan. Materi yang sudah disiapkan antara lain diskusi, lokakarya, pemutaran film, dan pertunjukan musik. Pergelaran baru berlangsung sehari, datanglah rombongan anggota ormas yang didampingi polisi membubarkan acara. Setelah itu, Tika dan anggota Kolektif Betina, selaku penyelenggara acara, harus berurusan dengan kepolisian setempat.
Alasan penggerebekan, kata Tika, ada sebagian kecil pengunjung yang membawa minuman keras. Ada juga sebagian wanita yang disebut berpakaian "kurang pantas". "Padahal yang hadir banyak juga ibu-ibu dengan anaknya," ujarnya.
Tika mengklaim para penyerbu hanya melihat perempuan penggiat acara itu dari penampilan luar. Misalnya ada sebagian wanita bertato, yang dianggap bukan perempuan baik-baik. "Padahal sebagian dari mereka itu juga memprakarsai berdirinya taman asuh anak."
Peristiwa Yogyakarta itu adalah penegasan saja dari risiko yang mungkin muncul atas jalur yang telah dipilihnya. Sebuah pilihan sebagai musikus yang rajin menyuarakan penolakan pada kekerasan terhadap perempuan.
Darah musik mengalir sangat kental dalam diri Tika. Penyanyi seriosa Pranawengrum Katamsi dan Aning Katamsi adalah kerabat dari pihak ibunya, Aning Jahja. Sedangkan dari pihak ayah, ada musikus Jockie Soerjoprajogo dan Ve, anggota band Jingga yang populer pada 1990-an. "Hanya saya yang tidak bisa bernyanyi," kata Aning Jahja, bercanda.
Menurut Aning, bakat musik Tika terlihat sejak dia berusia empat tahun. Saat itu dia sudah mengarang melodi sendiri dan meminta asisten rumah tangga menirukan lagu asal-asalan karyanya.
Sejak awal, Tika memilih jalur indie dalam berkesenian. Alasannya, dia tak ingin diatur menurut selera major label. Sempat ada major label yang ingin mengontrak dia. "Tapi saya tolak," ujar lulusan Art Institute of Seattle ini. Alasannya, Tika tak mau diatur untuk menggemukkan atau menguruskan badan. "Kata mereka, susah memasarkan artis dengan badan tanggung seperti saya, ha-ha-ha…."
Itu baru sebagian alasan kecil. Penyebab utamanya, seperti disampaikan Aning Jahja, adalah Tika tak ingin lagunya diubah-ubah major label. "Tika bilang lebih baik albumnya laku 5.000 keping ketimbang laku banyak tapi bukan sepenuhnya lagu dia," ujar Aning.
Karier Tika sebagai penyanyi dimulai pada 2005 dengan album Frozen Love Songs, yang kemudian dikemas ulang dengan tajuk Defrosted Love Songs setahun setelahnya. Langkah Tika menempuh jalur independen saat itu dianggap aneh karena dia dianggap punya potensi untuk menjadi diva pop.
Aliran musik yang diusung Tika saat itu terpengaruh jazz, swing, blues, dan nuansa gelap dari trip hop. Ada juga pengaruh musik rock dan metal dalam album perdananya yang kemudian diproduksi ulang di bawah label Aksara itu.
Setelah merilis album perdananya, Tika aktif mengisi berbagai soundtrack film, dari Janji Joni (lewat single You Belong to Me milik Jo Stafford), 9 Naga, Berbagi Suami, Kala, Gara-gara Bola, Quickie Express, hingga Pintu Terlarang. Dia juga rajin berkolaborasi dengan banyak musikus independen, seperti Agrikulture, dan Superman Is Dead.
Bersama grupnya, The Dissidents, Tika mengalami perjalanan musik yang panjang. Dari memainkan swing dan jazz dengan format big band sampai kini bergeser ke punk dan metal. "Ini bukan sesuatu yang mendadak. Saya mendengarkan musik punk dan metal sejak dulu," kata Tika.
Transformasi musik Tika and The Dissidents juga tampak jelas dalam album The Headless Songstress pada 2009. Tempo menobatkan grup itu sebagai tokoh seni musik dan albumnya sebagai album terbaik pada tahun yang sama.
Lewat karyanya bersama The Dissidents, Tika yang pernah menjadi finalis Lomba Cipta Lagu Remaja 1998 ini sering melontarkan sentilan politis lewat lirik-lirik lagunya. Dia menjadi salah satu penyanyi yang berani menyanyikan lagu Genjer-genjer pada era kekuasaan Orde Baru.
Bagi Tika, perjalanan musiknya sejalan dengan pencarian identitas diri yang ia lakukan dengan aktif di berbagai kegiatan sosial. Meski demikian, ia menolak disebut sebagai aktivis. "Karena itu istilah yang menjebak," ujarnya.
Kesadaran untuk mulai berpolitik nonpraktis, dengan aktif dalam berbagai kegiatan sosial, dilakukan Tika sebelum memulai karier sebagai penyanyi, yakni, "Saat saya kuliah di Art Institute of Seattle."
Saat teror 11 September 2001 terjadi, Tika giat memerangi islamofobia yang muncul sebagai respons atas tragedi tersebut di Amerika Serikat. Dia melakukannya dengan membagikan kafiyeh di lingkungan kampus ataupun bernyanyi. Di Seattle, Tika sempat bersinggungan dengan komunitas punk dan merasa belajar banyak hal.
Aktivitas politik Tika masih berlanjut seiring dengan kariernya sebagai penyanyi. "Tapi masih serabutan. Aku belum spesifik mendukung isu tertentu," katanya. Di awal kariernya, Tika menyuarakan kepeduliannya secara tersirat lewat lagu. Belakangan, kepeduliannya soal isu perempuan tidak lagi terbendung baik dalam aksi maupun lagu. "Saya tidak ragu lagi untuk mengatakan bahwa saya feminis."
Tika memilih berfokus pada isu kekerasan seksual dan kesetaraan tanpa diskriminasi sejak tiga tahun lalu. Itulah saat dia memutuskan terbuka dengan menyatakan diri sebagai penyintas kekerasan seksual. "Jadi siapapun yang merasa sebagai korban bisa berbagi dengan saya," ujarnya. Ini keputusan yang berat karena setelah itu ada banyak cibiran dan "pengadilan" atas pengakuannya.
Semenjak itu, Tika terlibat aktif dalam pendampingan dan advokasi terhadap korban kekerasan seksual. Dia juga menjalani pendidikan untuk menjadi pendamping korban. Tika aktif menemani korban pemerkosaan di Transjakarta, menyukseskan program One Billion Rising (kampanye global perlawanan terhadap kekerasan seksual), hingga memberikan kampanye lewat video Tubuhku Otoritasku, yang baru dirilis Maret lalu bersamaan dengan album Merah milik Tika and The Dissidents.
Melalui lagu yang diciptakan pada 2012 itu, Tika meluncurkan kampanye kesadaran tentang tubuh perempuan. Tubuh wanita, kata dia, sebenarnya menjadi wilayah privat yang tidak bisa didikte.
Klip lagu yang diunggah di YouTube menampilkan puluhan perempuan dengan pernyataan pribadi terkait dengan tubuh mereka. Dari yang sederhana semacam "My body is my business" hingga "Tubuhku bukan penjaga imanmu" oleh seorang aktivis wanita berhijab—yang kemudian memantik ancaman pembunuhan via telepon dan e-mail terhadap Tika. Dia dituduh mengarahkan mereka untuk membuat kata-kata itu. "Padahal para wanita itu sudah punya rencana atas hal yang akan mereka tulis di tubuhnya," ucapnya.
Ancaman yang muncul ia anggap serius. Suatu hari ada orang datang ke Kedai dan menanyakan alamat tempat tinggalnya. "Jujur, aku takut. Tapi ini tidak bakal menghentikan apa yang sudah kulakukan," kata Tika. Dia kini bahkan melangkah terus dengan menggagas Bersama Project, yang berfokus pada isu kesetaraan gender.
Tak gentar terhadap ancaman, ternyata Tika takut pada hal yang berbau horor. Iga Massardi, yang mengenal Tika sejak 2009, mengisahkan suatu ketika Tika terbirit-birit meninggalkan rumah karena listrik padam dan dia sendirian. Sialnya, Tika lupa menutup pintu, tidak mengunci pagar, dan langsung naik bajaj. "Untungnya enggak ada maling yang membobol rumah," kata Iga, lalu ngakak.
Tapi gitaris The Dissidents itu bersaksi bahwa sahabatnya adalah sosok yang selalu memberi pengaruh positif kepada siapa saja. "Bahkan untuk mereka yang tidak mengenalnya," ujar Iga.
Pengaruh itulah yang akan terus ditularkan Tika lewat karya-karyanya. Sebab, ia telah berjanji tak akan berhenti berjuang.
Kartika Jahja
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 19 Desember 1980
Pendidikan: Art Institute of Seattle
Album:
Prestasi:
Bernadeta Astari
Keteguhan Sang Soprano
Gara-gara sang ibu sering menyetel musik klasik lewat kaset saat masih kecil, Bernadeta Astari tertarik menekuni olah vokal. Kebetulan ibundanya juga soprano amatir. Deta—panggilan Bernadeta—jadi sering mengikutinya latihan. "Saat mendengarkan kesatuan harmoni suara sopran, alto, tenor, bas bernyanyi bersama, saya langsung jatuh cinta," ujarnya melalui e-mail, dua pekan lalu.
Dara kelahiran Jakarta 28 tahun lalu itu adalah satu-satunya wanita Indonesia yang namanya terukir di tembok Concertgebouw Amsterdam, gedung pertunjukan musik klasik terkemuka di Belanda. Ini terjadi setelah alumnus program master vokal Utrecht Conservatory, Belanda, tersebut terpilih sebagai pemenang Dutch Classical Talent pada 2012.
Saat itu dia berhasil menyisihkan lebih dari 35 grup dan individu yang sudah terseleksi di seantero Benua Eropa. Dia mampu menjalankan konser tur secara konsisten dan dinyatakan sebagai pemenang setelah tampil selama 45 menit dalam tur finalis keliling Belanda. "Mereka menyebut saya sebagai stage animal," katanya. Jauh sebelumnya, Deta pernah meraih Princess Christina Concours 2007, kompetisi musik klasik muda di Negeri Kincir Angin.
Semua prestasi itu merupakan buah konsistensi Deta dalam menekuni vokal klasik. Sebuah aliran yang menuntut dia menguasai teknik mumpuni agar suaranya bisa didengar penonton meski tanpa pengeras suara. Dia teguh di jalur ini walaupun musik klasik kurang populer. "Jangan takut untuk berbeda dan jadilah diri sendiri," ujarnya kepada anak muda yang ingin menempuh jalur seperti dirinya. l
Mila Rosinta Totoatmojo
Menari dan Mengedukasi
Maestro tari Martinus Miroto masih jelas mengingat kesan pertama terhadap mahasiswanya, Mila Rosinta. Meski mahasiswa baru di Institut Seni Indonesia, Mila menonjol karena kepercayaan dirinya. "Biasanya mahasiswa baru kan minder, tapi Mila percaya dengan tubuhnya," kata Miroto.
Miroto juga menyebut Mila sebagai pemimpin muda. Di usia yang baru 26 tahun, ia berani mengelola sanggar tari Mila Art Dance School di Yogyakarta. Menurut Miroto, jarang penari muda berani membuka sanggar karena harus berkutat dengan manajemen pendidikan di samping fokus pada penciptaan karya. "Mila bisa berkomitmen pada edukasi sekaligus terus berkarya," ujarnya.
Sebagai koreografer, Mila memadukan elemen tradisi dengan gaya kekinian dalam karya-karyanya. Kritik sosial ia selipkan dalam unsur geraknya. Mila tak segan menggabungkan instalasi seni, multimedia, mapping, dan tarian. Ia juga pernah tampil bersama penari senior seperti Miroto dan Didik Nini Thowok.
Membuat sekolah tari merupakan impian Mila. Selepas kuliah pada 2012, ia mendirikan Mila Art Dance School, yang mengajarkan segala jenis tarian, tradisional ataupun modern. Sekolah ini kini telah memiliki 150-an murid dengan 13 tenaga pengajar. "Saya ingin ada tempat belajar tari yang apa pun ada untuk siapa saja," kata perempuan bernama lengkap Mila Rosinta Totoatmojo ini. l
Alia Swastika
Berkelana sebagai Kurator
Kurator seni rupa perempuan di Indonesia jarang. Alia Swastika salah satunya. Dan ia kini salah seorang kurator yang menonjol. Kerja kuratorial Alia diakui di dalam dan luar negeri.
Karya kuratorialnya antara lain The Past The Forgotten Time (Amsterdam, Jakarta, Semarang, Shanghai, Singapura, 2007-2008) dan Manifesto: The New Aesthetic of Seven Indonesian Artists (Institute of Contemporary Arts, Singapura, 2010). Nama-nama besar di dunia seni Indonesia pernah ditanganinya. Saat ini perempuan kelahiran 17 Agustus 1980 itu sedang mengerjakan proyek pameran tunggal Jompet Kuswidananto di Sydney, Australia, untuk Juni mendatang.
Alia bukan jebolan sekolah seni rupa. Ia lulusan Departemen Komunikasi Universitas Gadjah Mada. "Karier" pertamanya dalam dunia seni adalah tatkala ia menjadi manajer artistik di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, dan sempat menjadi editor newsletter untuk Yayasan Seni Cemeti. Dari situlah ia mulai menekuni pekerjaan sebagai kurator. "Saya menikmati mengorganisasi dan mencari ide untuk membuat pameran, juga bekerja sama mewujudkan proyek seni dengan seniman," ujar Alia.
Alia kini dikenal mengorganisasi Biennale Jogja. Ia Direktur Biennale Jogja XIII. Ia juga kurator Biennale Jogja XI Shadow Lines: Indonesia Meets India. Alia mewakili Biennale Jogja dalam International Biennial Association—sesuatu yang membuatnya semakin sering berkeliling dunia untuk mengunjungi biennale seni rupa. Pergaulannya yang luas dalam masyarakat seni rupa internasional membuatnya terpilih sebagai salah satu Direktur Artistik pada Gwangju Biennale 9: Roundtable (2012) di Gwangju, Korea Selatan. l
Mel Ahyar
Desainer 'Out of the Box'
Salah jurusan di ESMOD Paris, Mel Ahyar harus putar otak agar bisa mempelajari ilmu merancang adibusana. "Rupanya ada miskomunikasi pada administrasi mereka. Saya mendaftar jurusan couture, tahu-tahu diterima di studi womenswear," kata Mel. Saat ingin pindah studi, sekolah mode itu tidak memperbolehkannya karena kelas yang ia minta sudah penuh.
Mel pun menyusun siasat. Saat profesornya meminta membikin bustier—penahan dada untuk perempuan—ia justru membuat korset. Ketika sang profesor menugasinya membikin gaun hitam sederhana, ia justru membuat gaun hitam asimetris dengan jahitan detail hingga bagian dalam pakaian. "Itu bukan standar yang diminta si profesor, dan dia pun kesulitan menilai," ujar perempuan 35 tahun ini.
Kagum akan kegigihan Mel, sang profesor memberikan rekomendasi dia pindah jurusan ke adibusana setelah kelas berjalan tiga bulan. Dia melampaui delapan orang yang juga antre pindah ke jurusan sama. Perempuan asal Palembang ini menjadi lulusan kedua terbaik di ESMOD dan diganjar penghargaan Coup de Couer oleh desainer Emanuel Ungaro pada 2006. Dia menjadi satu dari sedikit orang Indonesia yang meraih penghargaan khusus itu.
Pada 2008, Mel mulai berkiprah di Indonesia dengan koleksi bertajuk Earthvolution. "Cantik tapi aneh" menggambarkan ciri khas garis desainnya. Ia kerap mengeksplorasi ide tak terduga sebagai inspirasi rancangannya. Dari mimik muka manusia hingga puisi Sapardi Djoko Damono pernah diolahnya menjadi koleksi baju. Sebagian besar koleksinya habis terjual. Tahun lalu, ia sukses menggabungkan siluet kebaya dengan jaket bomber sebagai pendekatan baru terhadap kebaya. Bagi Mel, desain adalah proses belajar yang tidak pernah berhenti. "Selalu ada uji coba dan kegagalan untuk menemukan sesuatu yang baru," katanya.
Kurator Museum Tekstil Benny Gratha menyebut Mel sebagai satu dari sedikit desainer yang punya karakter khusus. "Dia perancang dengan konsep out of the box," ujar Benny.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo