Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumbuh besar di lingkungan Kepulauan Maluku membuat Yosmina Helena Tapilatu mencintai lautan. Perempuan kelahiran Ternate itu pun akhirnya "menceburkan diri" ke dunia riset laut dalam. Dunia riset kelautan, menurut Yosmina, dapat membawa perubahan besar untuk kehidupan banyak orang. "Ini pekerjaan yang menyenangkan," katanya Jumat dua pekan lalu.
Yosmina adalah salah satu peneliti oseanografi di Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia. Dia merupakan satu dari tujuh peneliti perempuan yang bekerja di Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI Ambon, Maluku. Total ada 25 peneliti dengan berbagai latar belakang bidang ilmu di lembaga riset kelautan tersebut. Namun hanya Yosmina yang khusus meneliti mikrobiologi laut.
Dari ruang kerja kecil—berisi satu unit komputer, papan tulis, dan rak buku—yang bersebelahan dengan laboratorium, Yosmina menyusun materi riset mikrobiologi laut dalam. Di luar ruang kerjanya, dia aktif berburu dan mengumpulkan sampel bakteri di sekitar Teluk Ambon dan perairan Maluku.
Kegigihannya mencari dan meneliti jasad renik itu berbuah manis. Yosmina berhasil mengidentifikasi bakteri-bakteri penghasil senyawa eksopolisakarida di laut dalam Maluku. "Senyawa ini punya banyak keunggulan untuk dimanfaatkan di berbagai bidang riset," kata Yosmina, yang juga pernah terlibat dalam riset mikroba di Massachusetts, Amerika Serikat, dan Songkla, Thailand.
Bakteri laut memproduksi senyawa eksopolisakarida sebagai bagian dari strategi untuk bertahan hidup dalam lingkungan dengan kondisi ekstrem. Bakteri semacam ini bisa ditemukan di tempat-tempat khusus seperti di sekitar lubang hidrotermal laut dalam yang panas. Mikroorganisme yang hidup di lingkungan laut dingin dan rendah nutrisi, seperti perairan es Arktik dan Antartika, menghasilkan senyawa serupa.
Senyawa eksopolisakarida memiliki komposisi yang luas. Polimer karbohidrat yang mengandung residu gula itu dapat digunakan dalam beragam aplikasi industri farmasi dan makanan. Senyawa ini juga dapat digunakan untuk pembuatan plastik ramah lingkungan, rehabilitasi kawasan yang tercemar logam berat, dan penyembuhan tulang. Berkat hasil riset ini, pada 2011 Yosmina meraih penghargaan L'Oreal-UNESCO Indonesia National Fellowship for Women in Science.
Minat Yosmina menjadi peneliti semakin besar ketika dia menempuh kuliah jurusan ilmu kelautan di Universitas Pattimura. Pilihannya unik karena dia bukan berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang penelitian, apalagi ilmuwan sains kelautan. Ayahnya adalah pengajar sejarah gereja di Universitas Kristen Maluku. Tiga saudara perempuannya pun tak ada yang menekuni profesi sebagai peneliti.
Dukungan keluarga membuat Yosmina mantap menjadi peneliti. Apalagi orang tuanya tak pernah memaksanya bersekolah dan belajar bidang tertentu. "Prinsip hidup keluarga kami adalah mendorong semua anak bersekolah, dengan sekolah yang tinggi bisa mendapatkan penghidupan layak," kata Yosmina. Selesai menamatkan kuliah di Universitas Pattimura, Yosmina melanjutkan pendidikan tinggi di Marseille, Prancis. Pada 2010, dia pulang membawa gelar doktor bidang oseanografi.
Bagi Augy Syahailatua, Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI Ambon, Yosmina adalah peneliti yang serius dan tekun. Meski dukungan dana dan fasilitas terbatas, Yosmina yang dikenalnya itu tak pernah menyerah mengerjakan riset. Yosmina bahkan mampu beradaptasi dengan cepat pada lingkungan kerja baru. "Dia sangat agresif mencari sumber dana riset di luar," kata Augy.
Menurut Augy, Yosmina tetap saja mengejar dan menambah ilmu di tempat lain meski dia sudah dikenal sangat ahli di bidang mikrobiologi kelautan. "Dia juga luwes dan kalau berbicara itu sangat ilmiah," kata Augy. "Dia benar-benar mendedikasikan diri untuk kajian mikrobiologi."
Sebagian besar riset Yosmina adalah mengisolasi atau mengambil bakteri laut dari lingkungan asalnya. Dia juga mengidentifikasi bakteri penghasil senyawa eksopolisakarida unggulan di perairan Maluku. Risetnya menambah data tentang mikroba laut dalam di Indonesia. Menurut dia, riset eksplorasi sumber bakteri penghasil eksopolisakarida di Indonesia belum optimal. "Banyak mikroba yang menguntungkan manusia dan dapat dipakai dalam industri bioteknologi," katanya.
Potensi riset laut dalam di perairan Maluku sangat besar. Wilayah itu mengandung banyak bakteri penghasil eksopolisakarida. Yosmina kini tengah mendalami riset isolasi bakteri yang diambil dari perairan Arafuru. Dia sudah mengambil tiga sampel sedimen di tiga lokasi dengan kedalaman hingga 1.400 meter. Hasil riset menunjukkan ada sepuluh jenis bakteri yang mampu hidup di lingkungan ekstrem tersebut, yang memiliki tekanan hingga 146 atmosfer.
Yosmina mengidentifikasi bakteri-bakteri itu dengan mencocokkannya komponen gen mikroba pada pangkalan data genetika internasional. Dia mengidentifikasi bakteri Paracoccus zeaxanthinifaciens, yang mampu menghasilkan pigmen zeaxabthin. Senyawa ini biasanya dipakai untuk industri pakan ternak. Ada juga bakteri Bacillius monjavensis, yang diketahui mampu memproduksi senyawa aktif untuk menghambat pertumbuhan sel kanker darah putih atau leukemia. "Ini masih dalam tahap eksplorasi, saya masih perlu konfirmasi dan penelitian lanjutan," ujarnya.
Dalam mengembangkan penelitian mikroba laut dalam, Yosmina mengakui banyak peneliti mengalami kendala persoalan ketersediaan alat laboratorium. Laboratorium mikrobiologi di LIPI Ambon harus menunggu lima tahun untuk mendapatkan semua peralatannya. Mengenai dunia riset yang masih didominasi para peneliti pria, Yosmina tak ambil pusing. "Saya percaya banyak perempuan Indonesia yang mampu menjadi peneliti bidang sains," kata peneliti berusia 38 tahun itu.
Menurut Teguh Peristiwahady, pakar taksonomi ikan LIPI, Yosmina memiliki etos kerja yang luar biasa. Selain profesional, kata Teguh, wawasan Yosmina luas. "Saya kagum. Dia peneliti perempuan yang luar biasa," kata Teguh, yang pernah memimpin riset ikan purba coelacanth, yang ditemukan di perairan Sulawesi Utara dua tahun lalu.
Namun Yosmina tak mau disebut ahli riset mikrobiologi kelautan. Baginya, aktivitas penelitian adalah kehidupan sehari-hari. Menempuh perjalanan sekitar 50 menit menuju kantor kecilnya dia lakoni saban hari. "Kalau mau lebih cepat, harus menyeberangi Teluk Ambon," ujarnya.
Yosmina Helena Tapilatu
Tempat dan tanggal lahir: Ternate, 17 Agustus 1977
Pendidikan:
Karier:
Penghargaan:
Organisasi profesional:
Kemampuan bahasa asing:
Fenny Martha Dwivany
Berkat Sebuah Pisang
Banana Lady. Demikian Fenny Martha Dwivany, pengajar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, dikenal oleh para kolega dan muridnya. Dia begitu intens "menguliti" buah itu selama 12 tahun terakhir. "Tidak bisa berhenti karena makin penasaran, saya berfokus saja di pisang," kata Fenny, Kamis pekan lalu.
Semua berawal saat dia melihat pisang yang dijajakan ke rumahnya tak secantik di supermarket. Kulitnya menghitam seperti busuk. Fenny menduga buah-buah itu matang terlalu cepat. Dia ingin membantu para penjual keliling agar pisang-pisang mereka tetap segar setelah menempuh rantai distribusi dan perjalanan panjang dari kebun petani.
Pada tanaman, ada gen yang berperan memproduksi etilen—satu-satunya hormon berupa gas—yang mempengaruhi kematangan buah. Gas etilen menguar dari kulit pisang yang terluka atau bonyok. Kerusakan pada satu pisang bisa menular ke pisang-pisang lain.
Fenny pun mempelajari gen pisang ambon lumut yang mempengaruhi proses pematangan buah. "Itu riset pertama saya soal pisang," ujar Fenny, yang meraih gelar doktor bidang biologi molekuler di University of Melbourne, Australia. Berkat risetnya, peneliti kelahiran Bandung ini meraih International L'Oreal-UNESCO For Women in Science Award pada 2007.
"Dia tidak mudah menyerah," kata koleganya, Husna Nugraha Praja, doktor bidang agrobiodiversitas lulusan Scuola Superiore Sant'Anna, Italia. Fenny dan timnya telah membuat wadah berbahan bambu berteknologi nano agar buah awet. Mereka juga terlibat dalam riset pengiriman buah ke luar angkasa sejak 2007.
Berkat karyanya, Fenny memperoleh Institut Teknologi Bandung Innovation Award tahun lalu. Januari lalu, dia diganjar penghargaan dari The Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture. Namun Fenny menolak disebut sebagai pakar pisang. "Saya masih harus belajar karena teknologi dan pengetahuan berkembang pesat," ujarnya. l
Hayu Dyah Patria
Penjinak Tanaman Liar
Idenya berawal saat Hayu Dyah Patria menyusun skripsi di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Universitas Widya Mandala, Surabaya, pada 2004. Ia punya keyakinan, tanaman liar bisa jadi sumber pangan bagi masyarakat. "Saya pernah baca, masyarakat Papua memanfaatkan bakau untuk dikonsumsi," kata Hayu, saat dihubungi pada Senin pekan lalu.
Pada mulanya, ide mengolah bakau ini ditentang oleh dosen karena dianggap tidak bermanfaat bagi industri pangan. Perempuan kelahiran Gresik, Jawa Timur, 27 Januari 1981, ini pantang mundur. Setelah lulus kuliah, Hayu mendirikan Matasa, lembaga yang berfokus meneliti tanaman liar untuk pangan. Sejauh ini ia berhasil mengidentifikasi lebih dari 300 jenis tanaman.
Atas penelitian itu, Hayu menerima Satu Indonesia Award dari PT Astra International Tbk. Dari penelitian itu pula wanita yang memiliki hobi blusukan ke desa-desa di Jawa Timur ini bisa memberdayakan perempuan pengolah tanaman liar, semisal krokot, kelor, dan pegagan.
Iin Kosaini, Ketua Kelompok Perempuan Dusun Mendiro, Desa Pangglungan, Jombang, mengatakan pendampingan dari Hayu terbukti banyak bermanfaat. Perempuan 42 tahun ini mengatakan ibu-ibu rumah tangga sekarang tak perlu repot berbelanja untuk membuat penganan. Mereka cukup mengolah tanaman liar di sekitar rumah. "Yang terbaru kemarin kami diajari mengolah suwek (sejenis umbi) menjadi bahan roti untuk dijual ke Bali," katanya. l
Vanny Narita
Mimpi Daulat Vaksin Sang Peneliti
Sebagai ilmuwan, Vanny Narita, 42 tahun, tak hanya jago kandang. Tahun lalu, ia menjadi wakil Indonesia pertama dan satu-satunya yang terpilih masuk Global Young Scientist New Champion dalam World Economic Forum di Tianjin, Cina. Bersama 40 ilmuwan muda dunia lainnya, ia memberikan masukan kepada para pebisnis dan pemimpin dunia tentang inovasi. "Saya ingat betapa terinspirasinya saat berada di sana," katanya Kamis dua pekan lalu.
Perempuan kelahiran Bogor ini menyandang gelar doktor bidang biologi molekuler dari University of Tennessee, Knoxville, Amerika Serikat, sejak berusia 28 tahun. Kini dia peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta menjadi anggota konsorsium pengembangan vaksin hepatitis B, yang melibatkan lembaga tempatnya bernaung, PT Bio Farma, Institut Teknologi Bandung, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Konsorsium yang bekerja sejak 2011 itu sudah mulai membuat prototipe vaksin hepatitis B generasi kedua, berdasarkan antigen small HBsAg.
Vanny terlibat di konsorsium karena penasaran melihat Indonesia belum memiliki daulat vaksin dan masih terus saja menjadi pengimpor. "Indonesia tak boleh terus-menerus menjadi pasar," ujar dosen Universitas Al Azhar Indonesia ini. Dalam konsorsium itu, ia merupakan salah satu pemegang hak paten sub-unit bahan penyusun vaksin hepatitis B.
Selain meneliti, Vanny aktif berkampanye tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati lewat program fellowship dari ASEAN-US Science and Technology. Ia juga menjadi anggota staf ahli Komite Inovasi National pada 2010-2014.
Di mata anak didiknya, Vanny dianggap figur yang mampu merangsang pemikiran kreatif. Isnaeni, mantan mahasiswa Universitas Al Azhar, juga melihat Vanny sebagai teladan yang tetap bersemangat meneliti dan mengajar saat menderita sakit yang cukup lama. "Daya juang beliau tinggi sekali," katanya. l
Eniya Listiani Dewi
Komitmen Penuh di Dunia Penelitian
SEPULUH tahun mengenyam pendidikan di Universitas Waseda, Jepang, tak membuat Eniya Listiani Dewi lupa pulang. Pada 2003, ia kembali ke Tanah Air. Banyak yang menyayangkan keputusannya itu. Apalagi, jika menjadi peneliti di Jepang, ia bisa bergaji US$ 4.000 (sekitar Rp 42 juta kurs saat itu).
Toh, angka itu tak menghentikan Eniya untuk berkiprah sebagai peneliti di Indonesia. Sekembali ke Jakarta, ia bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Gajinya Rp 2 juta per bulan. "Saya ingin membuktikan bahwa pulang ke Indonesia enggak bakalan miskin," kata Eniya, dua pekan lalu.
Selama di Jepang, Eniya meraih berbagai penghargaan untuk penelitiannya yang berfokus pada sel bahan bakar (fuel cell) ramah lingkungan berupa sel elektronik, semacam aki atau baterai. Karyanya itu dianugerahi Mizuno Awards dan Koukenkai Awards dari Waseda University dan Polymer Society Japan.
Temuan yang mencuatkan namanya adalah katalis baru untuk sel bahan bakar terbuat dari unsur vanadium. Katalis itu dinilai sebagai terobosan baru pada zinc-air fuel cell, generator penghasil listrik berbahan bakar logam dan oksigen. Hasil risetnya ini dipublikasikan di delapan jurnal internasional.
Sedangkan karya terbaru Eniya adalah ThamriON, membran polimer untuk sel bahan bakar yang lebih efisien dan murah. ThamriON terbuat dari plastik yang direaksikan dengan asam sulfat. Setelah itu, plastik dapat menghantarkan arus listrik.
Atas temuannya tersebut, Eniya meraih Inovasi Paten dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual pada 2010. Pada tahun yang sama, ia dianugerahi Habibie Award dan menjadi penerima penghargaan termuda sepanjang sejarah penyelenggaraan Habibie Award.
Perempuan berdarah Jawa ini, yang genap 42 tahun pada 14 Juni nanti, kini menduduki posisi Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindutsri dan Bioteknologi. Sepanjang sejarah BPPT, Eniya merupakan deputi termuda. Apa yang hendak dibuktikan Eniya pada akhirnya tercapai jua. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo