Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Busana dari Bengkel Purbalingga

Impiannya menjadi desainer busana kenamaan dunia pelan-pelan mulai terbuka. Koleksi rancangan Sheila Agatha kini rutin mengisi perhelatan adibusana di mancanegara. Dari Purbalingga, baju Sheila dijual hingga Singapura dan Malaysia. Tak banyak yang tahu, para penyandang disabilitas membantu pembuatan busana yang ia rancang. Sheila melatih dan membimbing mereka dengan penuh kesabaran. Mengajak mereka bersama-sama mengejar mimpi.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGAN-tangan empat penjahit itu tak berhenti bekerja sejak pukul delapan pagi. Mereka bolak-balik mengukur, menggunting, menyetrika, dan menyambung kain dengan teliti. Suara mesin jahit terdengar berlomba-lomba. Empat penjahit yang sedari tadi sibuk itu tak sekali pun mengeluarkan suara.

"Mereka tunawicara," ujar Sheila Agatha, perancang busana yang mempekerjakan empat penjahit itu, saat dijumpai Tempo di bengkel kerjanya di Purbalingga, Jawa Tengah, Sabtu dua pekan lalu. Tidak hanya tunawicara, keempat penjahit ini juga tidak bisa mendengar. Ketidaksempurnaan itu tak dijadikan halangan oleh Sheila untuk merekrut dan memberi pekerjaan buat mereka.

Sheila teringat pesan ayahnya untuk tidak merendahkan kekurangan orang lain. Ia juga percaya bahwa setiap manusia harus diberi kesempatan. "Saya juga dulu pernah di peringkat paling bawah. Banyak yang meremehkan. Tapi guru dan keluarga terus mendukung hingga saya bisa seperti sekarang," kata Sheila.

Arif Hidayat, salah satu penjahit, telah bekerja bersama dengan perancang muda ini selama tiga tahun terakhir. Bercerita kepada Tempo dengan menulis di kertas, ia tidak pernah menyangka masih ada orang yang mau mempekerjakan kaum difabel seperti dirinya. "Bekerja sangat nyaman di sini," tulis Arif.

Arif tak sekadar menjahit. Kemampuannya berkembang. Ia juga bertanggung jawab dalam urusan produksi saat Sheila tidak berada di bengkel kerja. Arif sudah dipercaya layaknya manajer. "Dia juga sudah bisa membuat jahitan detail, seperti aplikasi bordir, gaun, dan setelan jas," kata Sheila.

Mengasah kemampuan Arif tak mudah. Awalnya lulusan Sekolah Luar Biasa Negeri Purbalingga ini sempat takut dan ragu karena mesin jahit yang digunakan di tempat Sheila berbeda dengan di sekolahnya. Tapi Sheila berhasil meyakinkan Arif. Pelan-pelan ia mengajari Arif dari dasar. Proses itu berlangsung enam bulan. "Sampai sekarang saya masih begitu kalau ada penjahit baru," kata Sheila.

Selain Arif, Sheila memiliki tiga penjahit lain. Mereka adalah Tamam, Lisa, dan Sarah. Sebagai yang tertua, Tamam bergabung dengan Sheila bersamaan dengan Arif. Ketiga pegawai ini memiliki karakter dan kecakapan yang berbeda. Itu sebabnya, pendekatan yang dilakukan Sheila untuk mengajar dan mengajak mereka bekerja juga berbeda. "Arif cekatan karena dia punya tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga," kata Sheila. "Pekerjaan ini sangat berarti buat dia."

Sheila memberi upah kepada para pegawainya sesuai dengan ketentuan upah minimum. Bisa ditambah bonus tergantung produksi bulan itu. Setiap hari para pekerjanya mendapat jatah makan siang gratis dan satu kali cemilan. Mereka juga diperbolehkan tinggal di rumah keluarga Sheila selama hari kerja. Makan malam disediakan cuma-cuma.

Saat pesanan sedang penuh, Sheila terjun langsung ke bengkel. Ia biasanya meneruskan jahitan para pekerja dari sore sampai subuh. "Begitu masuk pagi, mereka lanjutkan lagi," kata Sheila.

Agar produksi bisa sempurna, Sheila—yang karyanya kental dengan sentuhan bordir dan jahitan luar-dalam—akan membuat satu potong contoh jadi untuk ditiru oleh para pegawainya. Bila masih ada yang salah, "Ibu Sheila tidak pernah marah, paling cuma minta diperbaiki," kata Sarah, 21 tahun, salah satu penjahit yang bekerja di sana.

Karya Sarah dan kawan-kawan ini sebagian dikirimkan ke Galeries Lafayette, Mal Pacific Place, Jakarta. Di sana, pakaian merek Sean&Sheila ini dijual di kisaran Rp 700 ribu-Rp 6 juta. Sebagian lagi dijajakan di gerai online Malaysia, Fashionvalet.

Karya Sheila dan rekan-rekannya juga dipamerkan di luar negeri. Pada Maret lalu, misalnya, Sean&Sheila merupakan satu-satunya produk Indonesia, dari delapan produk busana Asia, yang diberi kesempatan mejeng di perhelatan Singapore Fashion Steps Out, yang digelar sepanjang Orchard Road. "Kami juga sedang menyiapkan beberapa pakaian untuk pergelaran di London bulan depan," kata Sean Loh, tunangan sekaligus mitra bisnis Sheila.

* * * *

Bersama tunangannya, Sheila berusaha mengibarkan merek pakaian mereka ke kancah dunia. Nama Sheila mulai dikenal sejak ia—bersama desainer muda Peggy Hartanto—terpilih mewakili Indonesia berkompetisi dengan perancang Asia lainnya dalam Harper's Bazaar Asia New Generation Fashion Designer Award pada 2013.

Dari kompetisi itu, undangan pergelaran busana berdatangan. Dibantu oleh pembimbingnya semasa kuliah, Joe Spinelli, Sheila menjadi satu-satunya desainer Indonesia yang menancapkan namanya di Mercedes-Benz Fashion Week Australia 2014. "Bisa dibilang, itulah debut saya," kata Sheila. Sejak itu, permintaan terhadap produk busana Sheila meningkat.

Kecintaan Sheila terhadap dunia fashion dimulai sejak SMA. Lulus sekolah, ia meminta ayahnya agar diizinkan melanjutkan kuliah di bidang tersebut. Ayahnya ragu. Sheila akhirnya diberi kesempatan menjajal hobinya dengan mengambil diploma di Raffles Malaysia. Sang ayah ingin menguji sejauh mana Sheila berminat dengan dunia mode.

Sheila berangkat ke Malaysia dengan modal nekat. Meski menyukai dunia mode, ia sama sekali tidak tahu teori dan praktek. Kawan-kawannya di sana sudah punya bekal setidaknya pernah ikut kursus menjahit. "Saya seperti anak yang baru mulai belajar berjalan, sementara kawan-kawan sudah berlarian," katanya.

Ia berjuang mati-matian pada tahun kedua. Pada tahun inilah dia mulai menonjolkan karakter dalam karya-karyanya sehingga mencuri perhatian rektor kampus, Joe Spinelli. Sejak itu jalan Sheila mulai terbuka. Ayah Sheila juga mendukungnya untuk memperoleh gelar sarjana di bidang busana. Sheila hijrah ke Singapura untuk melanjutkan studi.

Setelah menamatkan studi dan kenyang pengalaman bekerja sebagai konsultan busana di Singapura, Sheila memutuskan balik ke kampung halamannya pada 2012. Ia bermimpi membuka usaha dari Purbalingga dan dijual ke penjuru dunia. "Saya tidak berminat dengan kota besar," ujarnya. Ia ingin mengembangkan potensi daerah asalnya.

Tak mudah membangun mimpi di Purbalingga. Ia memiliki keterbatasan dana, ruang, dan sumber daya manusia. Jahitan apa pun ia kerjakan untuk mencari modal usaha, termasuk pesanan gaun untuk pesta pernikahan kakak perempuannya, Stephanie Widjaja. Uang ini ia gunakan untuk kompetisi Harpeer's Bazaar, yang mengangkat namanya.

Mulailah ia mencari mesin jahit dan tenaga kerja. Tapi tenaga kerja yang ia peroleh selalu bermasalah. "Rata-rata pemalas dan sibuk main handphone," kata Sheila. Mereka memilih kerja di pabrik-pabrik garmen yang lebih mudah dan praktis.

Stephanie lalu menyarankan Sheila menggunakan tenaga kerja dari sekolah luar biasa. Ia meyakinkan Sheila bahwa mereka juga punya kemampuan yang setara selama diberi kesempatan. Sheila sepakat. "Ternyata hasilnya bagus, dan bekerja dengan mereka juga memberi pengalaman berharga buat saya," katanya.


Sheila Agatha Wijaya

Tempat dan tanggal lahir: Purbalingga, 15 November 1990

Pendidikan:

  • Raffles Design Institute Malaysia (diploma, lulus 2010)
  • Fashion Degree at Raffles Institute Singapore (lulus 2011)

    Prestasi:

  • Finalis Asia New Generation Fashion Designer Award Harpeer's Bazaar 2013
  • Audi Fashion Festival Singapore 2014
  • Mercedes-Benz Australia Fashion Week 2014
  • Kuala Lumpur Fashion Week 2014
  • Guangzhou Cultural Show 2014
  • Taipei in Style 2014
  • Indonesia Fashion Week 2015
  • Singapore Fashion Steps Out 2016

    Hafiza Elvira Nofitariani
    Bisnis Sosial Bekas Penderita Kusta

    Hafiza Elvira Nofitariani masih ingat reaksi warga RW 13 Kecamatan Neglasari, Tangerang, saat ia datang ke wilayah itu enam tahun lalu. Ia dipandang sinis karena dianggap hendak memanfaatkan penduduk Neglasari untuk mencari dana. "Saya dikira hendak menipu," katanya Sabtu dua pekan lalu.

    Kedatangan Hafiza ke Neglasari bertujuan memberdayakan mantan penderita kusta. Bersama empat temannya, Hafiza mendirikan Nalacity dalam program Indonesia Leadership Development Program di Universitas Indonesia. Nalacity mengajari para ibu di lingkungan itu menjahit dan menghias kerudung.

    Hasil penjualan kerudung dikembalikan dengan sistem bagi hasil. Sikap penduduk yang mulai terbuka membuat perempuan 25 tahun ini melanjutkan program di Neglasari secara swadaya.

    Pandangan sinis di awal program bukan satu-satunya kendala. Mencari pasar produk mereka tidak gampang. Beberapa pembeli membatalkan transaksi setelah mengetahui mantan penderita kusta yang membuat produk tersebut. Hafiza tak lelah mengkampanyekan antidiskriminasi. Pembeli datang dari berbagai kota. Produknya bahkan diekspor hingga Qatar. Tahun ini Nalacity resmi berbadan hukum agar bisa menjadi social enterprise.

    Anggota Nalacity, Siti Zaenah, bersyukur bisa bergabung. Dari Nalacity, ia bisa mengantongi Rp 100 ribu per bulan. Nilainya meningkat jika ia sanggup menyelesaikan lebih banyak kerudung. "Lumayan dapat tambahan, bisa untuk beli susu atau baju baru," kata perempuan 46 tahun ini. l


    Ajeng Galih Sitoresmi
    Tak Berhenti Merajut Mimpi

    Poyeng Community Space: Selesaikan Dulu Belanja Anda Sebelum Bersantai di Atas :)". Pemberitahuan itu ditempelkan di sebelah anak tangga menuju lantai dua Poyeng Knit Shop di Jalan Bantul, Yogyakarta. Kios yang didirikan Ajeng Galih Sitoresmi ini menyediakan bahan, peralatan, dan barang jadi khusus rajut. Ajeng tak cuma berjualan, lapaknya juga difungsikan sebagai tempat belajar merajut.

    Kios ini merupakan proyek kedua. Toko pertamanya didirikan 200 meter sebelah utara Monumen Jogja Kembali pada 2011. Perempuan asal Sragen ini menambah lapak karena tak ingin kesulitannya semasa sekolah mencari tempat belajar merajut dialami para remaja perempuan saat ini. "Ada satu-dua jasa pelatihan rajut di Yogyakarta, tapi gurunya sudah sepuh," kata perempuan 29 tahun ini saat ditemui pada Jumat dua pekan lalu.

    Alumnus Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada ini ingin menghidupkan industri kreatif dan komunitas merajut. Dengan keterampilan dasar yang diperoleh dari workshop gratis pada 2008, mantan aktivis pers mahasiswa UGM ini nekat memberi les keliling. Mengendarai sepeda motor dengan kotak kardus berisi alat jahit dan benang di jok belakang, Ajeng mengajar dari pintu ke pintu. Teman-temannya membantu promosi di media sosial. Belakangan, namanya tenar sebagai "guru" rajut di kalangan anak muda—khususnya mahasiswa. Ia sudah menerbitkan empat buku mengenai teknik merajut.

    Gerai Poyeng kini menjadi penyedia bahan rajut paling lengkap di sekitar Jawa Tengah. Tak kurang dari sepuluh jenis benang rajut, seperti soft cotton (katun lembut), polypropylene (serat plastik), dan cotton acrylic (katun akrilik), tersedia di toko milik Ajeng. Dengan omzet Rp 50 juta per bulan, Poyeng memiliki lebih dari lima reseller untuk menjual barangnya ke penjuru Indonesia. Jumlah pelanggan tetap—termasuk murid—selama lima tahun terakhir mencapai 4.000 orang. l


    Agatha Carolina
    Perancang Ruang RestoIbu Kota

    Terpisah 7.000 mil dari Jakarta tak berarti Agatha Carolina bebas dari segala kesibukan di kota ini. Karena hasil rancang seninya telah menyebar di sudut-sudut Jakarta, ia memutuskan tetap mengembangkan sayap bisnis di Indonesia. "Saya berusaha membagi waktu untuk tetap mengawasi pekerjaan," kata Agatha dalam surat elektronik yang diterima Tempo, Selasa pekan lalu.

    Melalui Bitte Design Studio, karya Agatha sudah tersebar di Jakarta sejak tiga tahun lalu. Di antaranya Magnum Café Grand Indonesia, sejumlah gerai Sushi Groove, restoran Public Markette, dan klub elite Blowfish. Agatha kini berada di London. Ia melanjutkan studi di bidang interior dan desain spasial di Chelsea College of Arts.

    Meski sebagian karyanya menyentuh tempat hangout kaum papan atas Ibu Kota, Agatha tetap peduli pada komunitas seniman lokal. Bersama kawan-kawannya dan ARTOTEL Jakarta, ia pernah menggelar pameran untuk mendukung seniman lokal. "Kami berencana menggelar pameran serupa tahun ini," ujarnya.

    Kreasi Agatha tak terbatas pada rancang ruang. Pada 2009, ia mendirikan toko Monstore, gerai pakaian siap pakai bertema seni. Idenya memadukan seni dan fashion. Produk ini ternyata disukai hingga ke luar negeri, bahkan dijual di situs hipster terkemuka, Bobobobo.com. Tak mengherankan jika produk mereka mudah dijumpai di Singapura, Hong Kong, Australia, dan Jepang. Meski Agatha kini menetap di London, desainer Monstore, Eugene Tehupiring, mengatakan bahwa Agatha tetap berbagi ilmu dengan Monstore.


    Alia Noor Anoviar
    Penebar Mimpi dari Tepi Kali

    ALIA Noor Anoviar membawa sanggar belajar Dreamdelion melakukan lompatan besar. Bermula dari sanggar belajar anak kampung kumuh bantaran Kali Ciliwung di Manggarai, Jakarta, Dreamdelion kini jadi wirausaha sosial yang terus tumbuh. Padahal sanggar yang ia rintis pada 2012 itu hampir mati suri.

    Sanggar ini awalnya lahir dari pekan kreativitas mahasiswa bidang pengabdian masyarakat yang disokong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di akhir proyek, Alia terlecut menyaksikan kegembiraan 30-an bocah ikut acara tersebut. "Acara penutupan proyek jadi titik balik dan kami memutuskan untuk lanjut," kata Alia, Senin pekan lalu.

    Perempuan kelahiran Surabaya pada 1991 ini putar otak menghidupi komunitas. Ia ajak komunitas berkreasi, membuat kerajinan tangan, seperti sarung telepon seluler, gantungan kunci, dan boneka. Barang yang mereka hasilkan dijajakan lewat media sosial dan hasil penjualan dikelola komunitas.

    Kini lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini bersama sejumlah kawannya melebarkan Dreamdelion ke Moyudan, Sleman, Yogyakarta. Mereka menggandeng perempuan penenun stagen. Di sana mereka membuat rancangan modifikasi kain panjang yang biasa melilit pinggang perempuan itu menjadi tas, dompet, dan busana.

    Alia mengatakan Dreamdelion terinspirasi dari dandelion, tumbuhan liar penuh bunga kecil yang terbang ketika angin berembus. Cinditia, yang bergabung dengan Dreamdelion belakangan, mengakui belajar bersama Alia menempa diri dan menambah pengetahuan. "Saya punya pengalaman langsung di tengah masyarakat, tak sekadar teori," ujar Cinditia.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus