Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLISI itu mengorek-ngorek sepetak tanah dengan ketekunan seorang arkeolog. Sambil memegang sebatang tongkat, tubuhnya membungkuk-bungkuk. Pelan-pelan ia mencungkili inci demi inci tanah itu. Lahan kering tandus itu seketika mengepulkan debu. Tapi semuanya tak berlangsung lama: tiba-tiba ia berhenti karena tongkatnya menumbuk sebuah benda padat. "Mungkin ini," katanya.
Di depannya menyembul sebatang paralon tua. Hampir saja ia menggali lagi untuk mengangkat saluran plastik itu. Tapi seorang kawan mencegah. "Lha nek iku dudu. Ukurane luwih cilik (Kalau yang itu bukan. Ukurannya lebih kecil)," kata teman tadi. Yang dicegah beringsut. Ia tahu sedang melakukan kesalahan. "Itu paralon biasa, cuma saluran pembuangan tinja," kata seorang penduduk seraya tersenyum.
Adegan itu terjadi di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, pekan lalu. Setelah polisi menemukan enam paralon besar berisi amunisi dan senjata di Hutan Dadapan—tak jauh dari desa itu—seisi dusun terasa menjadi kawasan yang mencurigakan. Rumah, pondok pesantren, kebun, dan pekarangan ditelisik. Orang yang dicurigai ditangkap dan diinterogasi.
Dusun kecil nan senyap yang terletak 80 kilometer dari barat Surabaya itu mendadak menjadi kawasan ramai karena kunjungan polisi, wartawan, atau penduduk desa lain yang sekadar ingin tahu. Dua mobil van milik dua stasiun televisi swasta yang diparkir di pojok desa menambah seru suasana. "Wah, sekarang saya capek banget, tiap hari diminta cerita soal senjata terus," kata Khozin, seorang warga dusun.
Semuanya berawal dari Amrozi, orang yang disangka menjadi bagian dari aksi pengeboman Kuta, Bali, 12 Oktober lalu. Kepada polisi, pria 39 tahun itu membeberkan jaringan pelaku pengeboman. Ia "bernyanyi": selain menyebutkan sejumlah nama, ia menunjuk tempat-tempat yang berkaitan dengan perencanaan aksi yang membunuh hampir 200 orang dan melukai ratusan orang lainnya itu. Polisi bersorak: hanya dalam sebulan setelah ledakan Bali, aparat menemukan jaringan pengebom. Pujian datang dari mana-mana.
Kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bactiar, dalam sebuah "talk show" yang disaksikan wartawan, Amrozi bercerita. Rencana pengeboman disusun di Solo, Jawa Tengah, sejak September lalu. Amrozi sempat bertemu dengan Kudama alias Imam Samudra, Idris alias Jhoni Hendrawan, dan Martin di sebuah warung di daerah Pabelan, Solo. Komunikasi selanjutnya dilakukan via pesan pendek di telepon genggam.
Pada akhir September, kelompok itu bertemu lagi. Amrozi diberi tugas menyiapkan bahan peledak, sejumlah mobil operasional, dan tenaga bantuan. Dari Imam ia mendapat uang rupiah, dolar Amerika, dan dolar Singapura bernilai Rp 47 juta. Menjelang peledakan, mereka berangkat ke Bali dan di sana berpindah dari satu hotel ke hotel lain. Amrozi kem- bali ke rumahnya di Lamongan dua hari sebelum tragedi itu. "Saya mendengar berita peledakan itu dari radio," katanya (lihat Bermula dan Berakhir di Pabelan).
Nama penting yang muncul dari "kicauan" Amrozi ini adalah Imam Samudra. Dialah orang yang merencanakan dan mengatur aksi. Imam memang bukan orang baru bagi polisi. Dialah orang yang dituding berada di belakang aksi bom Natal dua tahun lalu. Ketika itu, Imam meminta Amrozi mencari bahan pembuat bom untuk dipakai berperang di Ambon. "Ketika itu, saya juga membeli bahan baku bom dari Toko Tidar Kimia di Surabaya," kata Amrozi seperti ditirukan Da'i Bachtiar. Toko Tidar adalah kios tempat Amrozi membeli bahan baku bom Bali.
Menurut polisi, dalam dunia gerakan bawah tanah, Imam mereka yakini punya banyak nama. Selain bernama Kudama, ia bisa pula ditemui dengan nama Hudama atau Abu Fath. "Tapi nama aslinya Abdul Aziz," kata ibu Imam, Titin Embay Badriyah, kepada wartawan TEMPO Darmawan Sepriyossa. Ini kalau yang dimaksud adalah sosok yang fotonya masuk dalam incaran Polisi Diraja Malaysia sebagai tokoh biang teror yang mereka buru (lihat Dua Wajah, Sederet Jejak).
Seorang perwira intelijen polisi yang ditemui TEMPO di Kepolisian Daerah Bali bercerita. Katanya, Kudama pernah pula merencanakan pengeboman sebuah gereja di daerah Padang Kerinci, Pekanbaru, Riau, 5 Desember 2001. Bom itu tidak sampai meledak dan polisi berhasil menangkap seorang pelaku bernama Basuki alias Iqbal bin Ngatmo. Pria asal Jombang, Jawa Timur, itu mengaku disuruh seseorang bernama Abdurrahman, yang diduga nama lain Imam Samudra, dengan imbalan Rp 500 ribu.
Orang lain yang ikut dalam jaringan Amrozi adalah Jhoni Hendrawan alias Idris. Dalam bom Kuta, Jhoni berperan sebagai perakit bom. Menurut Sari Asih, seorang penjaga rumah kos di Jalan Marlboro, Bali—salah satu rumah kos yang disewa komplotan itu—Jhoni adalah pria dengan badan gemuk dan memiliki tinggi badan 165 sentimeter. "Ia mirip pria mengantuk dalam sketsa polisi," kata Sari.
Jhoni misterius. Ketika menginap di rumah kos, "Dia pergi pagi-pagi dan baru kembali sekitar pukul 24.00," kata Asih. Jika pulang, Jhoni biasa memakai motor atau mobil Vitara hijau. Ia mengaku bekerja di sebuah perusahaan kargo. Dua hari sebelum ledakan, Jhoni dan kawan-kawan sudah hengkang. Kepada pemilik rumah kos, Jhoni menitipkan fotokopi KTP dan mengaku tinggal di RT 10 Blok H 32, Perumahan Pinang Indah, Sidoarjo, Jawa Timur. Tapi ketika dicek, RT tempat tinggalnya pun tak ditemukan. "Di sini tidak ada RT 10," kata H.M. Juni, seorang satpam di perumahan itu.
Jhoni dibantu oleh tiga orang. Dua yang pertama disebut Amrozi sama-sama bernama Umar. Pria ketiga adalah Zulmatin alias Asep. Umar yang pertama kerap disebut Umar A. Orang inilah yang disebut Amrozi turut memberinya uang Rp 10 juta untuk membeli sepeda motor sebagai sarana transportasi gerakan. Umar juga yang dipercaya Imam mencairkan uang di bank dan berperan sebagai kasir komplotan.
Adapun Umar B berperan sebagai eksekutor peledakan Paddy's Cafe—yang meledak beberapa detik sebelum Sari Club luluh-lantak oleh bom dahsyat itu. Sehari-hari Umar B juga kerap dipanggil Nyoman. Kepada polisi, Amrozi mengaku baru mengenal duo Umar ketika ia berada di Bali. Sedangkan Asep adalah ahli elektronika yang berperan sebagai penyedia telepon genggam Nokia 5110 yang berfungsi sebagai pemantik ledakan.
Selain mengejar ketiganya, polisi kini sedang memburu Yudi. Pria ini dianggap turun membantu gerakan komplotan pengebom karena bersedia dititipi mobil yang dipakai Amrozi dan kawan-kawan. Komplotan ini diketahui menggunakan empat mobil dalam beroperasi. Selain memakai L-300, mereka menggunakan Suzuki Vitara, Toyota Crown, dan sedan Ford Laser. Mobil inilah yang dititipkan Amrozi kepada Yudi. Di situ pula sejumlah senjata disimpan sebelum akhirnya ditanam dan ditemukan polisi di Hutan Dadapan. Apa kaitan Yudi dan Amrozi? "Yudi adalah anak Saijo, kawan Amrozi ketika bekerja di Malaysia," kata seorang polisi. Saat ini Saijo juga raib tak tentu rimbanya.
Satu-satunya lelaki yang khusus dibawa Amrozi dari Lamongan adalah Ali Imron alias Ale alias Alit, adiknya sendiri. Ale adalah pengemudi mobil L-300 berisi bahan peledak. Kerangka mobil itulah yang ditemukan polisi di sekitar lokasi ledakan dan kemudian menjadi petunjuk untuk menangkap Amrozi.
Ale juga dituding sebagai pemilik sejumlah senjata di Lamongan. Menurut juru bicara tim investigasi, Edward Aritonang, senjata itu dibawa dari Ambon setelah dipergunakan untuk berperang di sana. "Sejumlah senjata terutama jenis Enfield pernah dipakai Brimob. Sekarang kami sedang mengecek apakah senjata itu ada kesamaan dengan senjata dari gudang Brimob di Tantui, Ambon, yang dulu pernah dijarah massa," kata Edward.
Ali kini raib. Ketika Amrozi dicokok polisi 5 November lalu, ia masih di Kampung Tenggulun. Dialah orang yang menanam senjata dan amunisi di dekat kolam ikan tak jauh dari rumah Qomarudin, seorang polisi hutan. Dua hari kemudian, senjata itu dipindah ke Hutan Dadapan. Qomarudin kini juga ditahan polisi setelah sebelumnya turut menghilang.
Kini polisi juga menahan Nurwindar, 35 tahun, adik Qomarudin. Ia dituding bersalah karena ikut membantu penguburan senjata. Dalam garis keluarga, Nurwindar masih terhitung kemenakan Amrozi.
Lalu siapakah Ali Imron? Ale adalah adik bungsu dari delapan bersaudara Amrozi. Menurut Irfanudin, seorang guru di Pesantren Al-Islam, Lamongan, Ali adalah sosok yang pintar berorasi. Semangat keislamannya tinggi. Ale pernah mengenyam pendidikan agama di Pakistan selama setahun pada 1995, selain pernah bekerja di Johor, Malaysia. Ia adalah pengajar di Al-Islam dan tinggal di dalam kompleks pondok. "Ia kerap berbicara soal bahaya konspirasi Amerika dan Yahudi," kata Irfanudin.
Ali adalah lulusan Madrasah Aliyah Karangasem, Paciran, Jawa Timur. Di Al-Islam, Ale memegang mata pelajaran ilmu tafsir dan faraid (hukum waris). Sumber TEMPO di Pesantren Al-Islam menyebutkan Ali Imron menikah dengan perempuan bernama Khoirunnisa, asal Dusun Wukir, Desa Wangen, Kecamatan Glagah, Lamongan, pada 1998. Dia juga pernah menjadi salah satu perangkat desa. Di Glagah, Ale dikenal sebagai khatib salat Jumat. Ia juga menjadi Direktur Pondok Al-Islam mulai 11 Juni 2002.
Polisi kini juga sedang memburu anggota jaringan Amrozi lainnya, yakni Mubarok (guru Al-Islam) dan Ali Fauzi (saudara tiri Amrozi). Peran keduanya dalam aksi bom Kuta memang tak jelas betul. Tapi, karena mereka raib, polisi punya alasan untuk curiga. Mubarok pernah bersekolah di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki. Sedangkan Ali Fauzi berasal dari pesantren di Kertosono, Nganjuk. Di Al-Islam, Ali Fauzi mengajar syariah, sedangkan Mubarok mengajar nahwu dan sharaf (tata bahasa Arab). Mereka mengajar di pesantren sejak tahun lalu.
Lalu di manakah posisi Amrozi dalam jaringan yang bisa diidentifikasi polisi tersebut? Kepada aparat, Amrozi mengaku hanya menjadi kacung. Semua komando, katanya, ada di tangan Imam Samudra. Tapi polisi meragukannya. "Semua itu kan baru cerita Amrozi. Bisa saja dari tersangka lain nanti diperoleh cerita lain lagi," kata Edward Aritonang. Seorang perwira reserse Markas Besar Kepolisian RI bahkan meyakini Amrozi adalah inti gerakan.
Perwira itu memberikan argumentasi. Katanya, berdasarkan pemeriksaan polisi terhadap sejumlah aktivis Islam radikal di Malaysia dan Singapura, nama Amrozi sudah disebut-sebut. Salah satu sumber yang keterangannya dipakai polisi adalah Faiz bin Abu Bakar Bafana, tokoh yang ditahan pemerintah Singapura pada 6 November 2002. Amrozi, misalnya, disebut ikut serta dalam rapat rencana pembunuhan Presiden Megawati.
Polisi juga meyakini Amrozi adalah adik kandung Ali Gufron alias Muchlas alias Huda bin Abdul Haq, seorang ketua Jamaah Islamiyah wilayah Malaysia. Ali Gufron diduga polisi kini diangkat sebagai ketua menggantikan Hambali, yang konon melarikan diri ke Pakistan.
Inti ataupun kacung gerakan, jawaban kini berpulang pada polisi. Amrozi sendiri nyaris tak peduli. Lelaki ganteng yang baru saja memanaskan telinga pemerintah Australia ini—karena mimiknya yang girang di depan televisi—tetap rileks meski terus-menerus ditekan polisi.
Akhir pekan lalu, sekitar pukul dua dini hari, ia kembali ke selnya setelah menjalani interogasi polisi. Dalam pengawalan sejumlah pasukan Brimob bersenjata lengkap, ia masih bisa bergurau. Ia melambaikan tangan ke arah seorang perwira polisi dan menyapa, "Malam-malam begini masih cerah, Pak." Pesakitan itu melenggang menuju peraduannya. Seolah tanpa beban, seolah di Bali tak pernah terjadi peristiwa besar.
Arif Zulkifli (Jakarta), Fajar W.H., Sunudyantoro (Lamongan), Edy Budiyarso, Rofiqi Hasan (Bali), Kukuh S.W. (Surabaya), Dwidjo U. Maksum (Madiun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo