Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bermula dan Berakhir di Pabelan

Kepada polisi, Amrozi mengaku terlibat dalam perencanaan hingga pembelian bahan-bahan dasar bom. Bagaimana para pelaku teror beraksi?

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Babad lakon bom Kuta, Bali, ternyata bermula di Pabelan, sebuah kawasan perajin batik di Kota Solo, Jawa Tengah. Nama kawasan yang juga terkenal dengan kedai tongseng kambingnya itu terlontar dari mulut Amrozi, 39 tahun, tersangka anggota jaringan pengebom Bali itu, kepada polisi. Amrozi bergerak menuju salah satu kota besar di Jawa Tengah ini setelah menerima pesan dari Imam Samudra, September lalu.

Imam bukan orang baru bagi Amrozi. Dua tahun sebelumnya sosok yang tengah diburu polisi karena diduga terlibat aksi peledakan di malam Natal tahun 2000 itu pernah menghubungi Amrozi. Kepada pemuda asal Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, itu Imam alias Kudama memesan sejumlah bahan dasar bom.

Dalam penuturannya kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Da'i Bachtiar, Amrozi mengaku paham bahan-bahan yang dipesan Imam. Rupanya, putra pasangan Tariyem dan Nur Hasyim ini pernah mengirimkan barang serupa untuk pemesan dari Ambon.

Selain Imam, ada juga dua sosok lain yang oleh Amrozi disebut sebagai Idris dan Martin. Kedua nama terakhir ini turut terlibat dalam perbincangan seputar perencanaan aksi peledakan bom. Mereka lantas ngobrol-ngobrol di sebuah warung di sekitar Islamic Centre, Pabelan.

Pelacakan TEMPO di daerah Pabelan menunjukkan kawasan Islamic Centre terletak sekitar seratus meter dari jalan raya. Gedung ini sehari-hari juga menjadi kantor Dewan Dakwah Islamiyah Jawa Tengah. Persis di sebelah timurnya terdapat sebuah warung soto.

Warung seluas sekitar 5 x 8 meter itu tampak sesak dengan tiga buah meja panjang. Satu di antaranya sarat makanan di atasnya. Sulit membayangkan Amrozi dengan ketiga rekannya bisa mengobrol santai. Pengelola warung, Dirman, mengaku belum pernah melihat sosok Amrozi datang ke warungnya.

Telunjuk Dirman lantas menuding sebuah warung lain yang mungkin pernah disinggahi rombongan Amrozi. Lokasinya di sebelah kiri gang ke arah Islamic Centre. Dibandingkan dengan milik Dirman, lokasi tempat makan milik Mustain ini lebih longgar sehingga tampak cocok untuk kongko-kongko.

Namun, Mustain dan seorang karyawannya, Gianto, tidak ingat betul apakah Amrozi pernah mampir untuk makan dan bicara dengan ketiga rekannya. "September memang warung saya sedang ramai-ramainya," ujar Mustain seraya mengingatkan, "Belum ada aparat polisi yang datang untuk melacak jejak Amrozi di Pabelan."

Seusai pertemuan di Pabelan, komunikasi berikutnya antara Amrozi dan Imam terjalin lewat tukar-menukar pesan via telepon seluler. Masih pada bulan yang sama, suatu hari Amrozi bergerak kembali ke Solo untuk menemui Imam. Kali ini pertemuan berlangsung di Pasar Klewer dan ditutup dengan salat asar di Masjid Agung. Di sini Amrozi baru tahu bahwa sasaran ledakan bom itu nantinya di Bali.

Imam lantas berjanji mengirim sejumlah uang dan mobil untuk mendukung rencana teror mereka di Bali. Pada akhir September, Amrozi menerima kiriman melalui Idris, yang menyerahkan duit dari pecahan rupiah, dolar Amerika dan Singapura. Kalau dirupiahkan, semua nilainya sekitar Rp 47 juta.

Bekal dari Imam digunakan Amrozi untuk memborong bahan-bahan kimia di Surabaya. Juga membeli sebuah mobil colt L-300, yang kelak menjadi kendaraan pengangkut bom ke lokasi ledakan di Legian, Kuta. Setelah semua daftar belanjaan berada di tangan Amrozi, lantas meluncurlah komplotan Amrozi ini ke Bali pada 5 Oktober 2002.

Ada tiga lokasi utama yang menjadi tempat peraduan Amrozi dan kawan-kawannya di Bali: rumah kos di Jalan Marlboro dan Gatot Subroto, Denpasar. Juga sebuah kamar di Hotel Harum, Jalan Teuku Umar, jalan utama menuju Kuta.

Untuk urusan sewa-menyewa kamar ini polisi menemukan nama Jhoni Hendrawan sebagai "panitia penyambutan". Sosok ini dikenali dari salinan kartu tanda penduduk yang ditinggalkan untuk pemilik kamar indekos di Jalan Marlboro dan Hotel Harum. Lelaki berperawakan pendek, gemuk, dan berkulit terang ini mengaku tinggal di Perumahan Pinang Indah, Surabaya. Tapi, setelah dicek TEMPO, ternyata alamatnya fiktif.

Selain Jhoni dan Amrozi, sejumlah anggota komplotan pengebom juga tiba di Bali. Mereka lantas tersebar ke tiga lokasi penginapan tersebut. Adik kandung Amrozi, Ali Imron, misalnya, pernah menginap di kamar kos Jalan Gatot Subroto. Adapun Amrozi ketika tiba di Bali menginap di Hotel Harum.

Seingat pemilik hotel, Nengah Dana, Amrozi menginap cuma semalam bersama tiga rekannya di kamar 101, yang bertarif Rp 40 ribu per hari. Di hotel inilah, menurut Amrozi, berlangsung pertemuan antara Imam, Idris, dan duet yang dikenal sebagai Umar A dan Umar B.

Selepas dari Hotel Harum, Amrozi pindah ke kamar kos di Jalan Marlboro. Kira-kira sehari kemudian Imam meminta Amrozi segera membeli sepeda motor. Uang Rp 10 juta telah Imam berikan kepada Amrozi ketika bertemu di Hotel Harum.

Pilihan Amrozi jatuh pada sepeda motor bekas F1-ZR dengan nomor polisi DK 5228 PE dari penjual di Bangli, sekitar 60 kilometer arah timur Denpasar. Amrozi diduga membeli motor jauh dari Denpasar untuk menghilangkan jejak wajahnya. Ternyata di situ ia salah perhitungan. Semakin jauh ke pedesaan, penjual motor biasanya semakin waswas dan pasti berlama-lama mengenali wajah pembelinya yang "bukan orang Bali" itu. Dari keterangan penjual motor inilah polisi dapat merangkai sketsa wajah Amrozi.

Usai mendapatkan motor, rombongan Amrozi boyongan ke tempat indekos di Jalan Gatot Subroto pada 10 Oktober 2002. Di sebuah kamar lantai 3 rumah milik Dokter Wayan Suastana inilah Zulmatin alias Asep dan Idris merakit bom.

Sumber TEMPO di kepolisian menuturkan, Asep tak lain merupakan ahli elektronik yang diduga menyediakan telepon genggam jenis Nokia 5110 dan merakitnya sebagai pemantik detonator. Di lokasi penginapan, penyelidik menemukan pembungkus nomor telepon seluler Pro-XL yang masih baru.

Hingga H-2 alias dua hari menjelang ledakan, persiapan awal komplotan ini boleh dibilang telah rampung. Bom telah terakit dengan rapi. Kendaraan pengangkut dan motor juga telah siap. Amrozi keluar dari kamar kos dan bersama rombongan berkeliling Denpasar hingga Kuta. Setelah puas cuci mata, Amrozi lantas balik ke Lamongan dengan mengendarai mobil Vitara hijau.

Lantas, apa yang dilakukan komplotan lainnya setelah Amrozi pulang ke Lamongan? Sejauh ini polisi masih berusaha menyelidikinya. Maklum, ya, baru satu tersangka ini yang masuk kurungan dan "bernyanyi" panjang-lebar. Tak mengherankan apabila peran dan tugas anggota tim yang lain juga masih buram, termasuk siapa yang membawa bom itu ke Kuta dan meledakkannya.

Untuk duet Umar itu, misalnya. Sejauh ini mozaik yang diperoleh tim penyelidik dari keterangan Amrozi menyebutkan Umar A bertugas sebagai juru bayar. Lain halnya Umar B—dikenal pula sebagai Nyoman—yang merupakan salah satu pelaksana pengeboman di Paddy's, yang meledak lebih dulu sebelum rangkaian bom di colt L-300 yang dikemudikan Ali Imron njeblug.

Dus, rekonstruksi detail pengeboman Legian pada 12 Oktober 2002 belum bisa dipastikan kapan. Ali Imron dan Umar B, barangkali, lebih tepat sebagai sumber polisi untuk merekonstruksi skenario para pelaku teror pada malam nahas tersebut karena Amrozi sendiri tengah berada di Lamongan ketika bom meledak.

Beberapa hari kemudian setelah bom meledak, Amrozi mengaku menerima pesan lewat short message service (SMS). Rupanya Imam memanggil beberapa anggota komplotan supaya berkumpul kembali. Tersangka otak dan penyandang dana bom Bali ini mengaku baru saja memperoleh duit US$ 1.000, dan membagikannya kepada rekan-rekannya masing-masing Rp 1 juta.

Selain Imam dan Amrozi, ada pula dua nama lain yang hadir dan memperoleh pembagian sama besarnya sebagai hasil jerih payah meledakkan Bali. Sayang, sumber TEMPO di kepolisian mewanti-wanti agar tidak merilis dua nama tersebut karena "tengah diselidiki secara intensif". Yang boleh disiarkan ke publik adalah lokasi pertemuan Imam dan komplotannya untuk membagi-bagi hadiah itu. Ternyata kembali lagi di Pabelan, Solo.

Rupanya, untuk sementara, babad lakon ini berawal dan berakhir di tempat yang sama: Pabelan, Solo, sebuah kawasan yang sehari-hari tenang dengan gending Jawa dan perempuan yang membatik.

Widjajanto, Edy Budiyarso, Rofiqi H., dan Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus