Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memburu nyawa di bar homoseks

Jeffrey dahmer, 32, dihukum pengadilan milwaukee, wisconsin, 15 kali penjara seumur hidup. pembunuh berdarah dingin, 17 korbannya diperkosa, direbus, dikuliti & dimakan. masa kecilnya berantakan.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG sidang mendadak gaduh ketika hakim selesai membacakan vonis. Tepuk tangan bercampur dengan tangis, jeritan, dan luapan kegembiraan seperti meledak di ruang sidang. Seorang perempuan kulit hitam, Rita Isabel, tak dapat mengendalikan dirinya, berteriak histeris. Ia mencerca terdakwa yang membunuh adiknya dengan cara yang sangat hina. Sambil mengeluarkan kata-kata kotor ia bahkan mencoba menerjang terdakwa yang masih duduk terpaku. Petugas, yang terkesima, hampir terlambat mengendalikan keadaan. Hari itu, Senin 17 Februari yang baru lalu, pengadilan Milwaukee, Negara Bagian Wisconsin, menetapkan hukuman Jeffrey Dahmer. Pria berusia 32 tahun ini mendapat 15 kali hukuman penjara seumur hidup. Hakim menyatakan bahwa Dahmer, yang dihukum untuk kejahatan pembunuhan, tidak boleh dibebaskan dengan syarat apa pun, sampai 926 tahun ke depan. Jeffrey Dahmer, buruh pabrik cokelat, membunuh secara berturut-turut 15 pemuda sejak 1988. Semuanya pemuda homoseks dan kebanyakan berkulit hitam. Tapi kejahatannya tak cuma ini. Dahmer melakukan pula kekejian yang sulit dibayangkan bisa dilakukan manusia normal: menyetubuhi mayat korban, mencincang, dan memakan dagingnya. Namun, juri berkesimpulan, pembunuh sinting itu melakukan perbuatannya dengan pikiran waras. Dahmer, tinggi 180 cm, tegap dan berambut pirang, memang bagaikan tokoh film horor yang menjadi kenyataan. Di lemari es di dapur tempat tinggalnya, di West Allis, daerah pinggiran Milwaukee, ia menyimpan dua jantung orang dan tiga kepala manusia. Di dapur itu ada sebuah gentong besar berwarna biru tempat melarutkan daging manusia dan sebuah panci untuk merebus kepala agar gampang dikuliti. Normalkah Dahmer? Inilah inti perdebatan dalam sidang tiga minggu yang menarik perhatian umum dan disiarkan jaringan televisi secara nasional. Lima psikiater, dua psikolog, dan dua detektif polisi dikerahkan untuk mengungkapkan latar belakang kejiwaan Dahme. Mereka secara bersama mewawancarai Dahmer selama 130 jam. Hasilnya diungkapkan dalam sanity trial, sidang untuk membuktikan tingkat kewarasan pelaku kejahatan. Sidang inilah yang menentukan apakah Dahmer dihukum atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa, yang memungkinkan ia suatu waktu bebas. Dua psikiater berpendapat nekrofilia dan memakan orang adalah bukti sakit mental yang mendorongnya untuk melakukan pembunuhan. Ini pula inti pembelaan Gerald Boyle, penasihat hukum Dahmer yang bertugas membela terdakwa. "Tindakan menyetubuhi mayat dan memakan daging sesama hanya dapat dilakukan oleh orang sakit jiwa," kata pembela. Tapi di kubu yang lain, Dr. George Palermo yakin bahwa Dahmer seorang yang kompulsif, anti-sosial yang membunuh karena desakan nafsu birahi. Tapi ia tidak gila. Pernyataan ini diperkuat serangan jaksa penuntut, yang menyebutkan Dahmer punya perhitungan cermat. Ia, misalnya, membubuhkan pil tidur untuk membuat korbannya menyerah. Normal atau tidak, Dahmer seorang manusia dari jenis yang sangat tidak biasa. Ketika ditangkap Juli lalu, Dahmer tak secuil pun menunjukkan perubahan emosi sewaktu membeberkan rangkaian kejahatannya. "Ia ngomong soal membunuh orang seperti menuang air ke gelas," kata wakil kepala polisi wilayah West Allis, Robert Due. Dengan sikap ini pula ia mengisahkan semua kejadian, laporan modus operandi rangkaian pembunuhannya setebal 160 halaman folio. Dahmer, yang pernah menjadi tentara, menggaet mangsa di tempat-tempat hiburan di Walker's Point. Kadang-kadang di pusat perbelanjaan dan halte bus. Bercelana jins dan kaus, begitu kebiasaannya, ia masuk ke bar, disko, atau tempat mandi para gay, dan mulai mengintai mangsanya. Bila menemukan sasaran, ia mulai melempar umpan, misalnya dengan sapaan bersahabat, "Hai, saya Jeff, saya suka gaya dansamu." Januari 1988, Dahmer mendapat mangsa empuk di tempat pemberhentian bus. James Doxtator, remaja 14 tahun. Anak tanggung ini ditawari menjadi model foto telanjang dengan iming-iming duit. Doxtator mengiyakan. Maka, ia dibawa ke apartemen Oxford 213 -- tempat Dehmer tinggal bersama neneknya yang sakit-sakitan. Yang terjadi, anak itu "diperkosa". Sesudahnya, Doxtator dipaksa menenggak minuman yang telah dicampur obat tidur. Ia pingsan. Sang iblis dari Milwaukee ini lalu menggarap korbannya yang sudah menjadi mayat secara berulang-ulang sebelum dilenyapkan dengan rapi. Modus yang sama dipraktekkan pada korban kedua di Milwaukee. Kali ini korbannya adalah Richard Guerrero, 23 tahun, yang dipancing di bar khusus gay. Masih dalam bulan itu, tamat pula riwayat Anthony Sears, 24 tahun. Kepala almarhum direbus sebelum dikuliti. Tengkoraknya dicat, entah untuk apa. Kelakuan laknat ini berhenti untuk sementara ketika Dahmer ditangkap pada 1989. Bukan karena pembunuhan, tapi penganiayaan terhadap seorang anak 13 tahun. Sanksinya, ia diharuskan masuk pusat rehabilitasi Milwaukee selama 1 tahun. Setelah hukuman itu lewat, Dahmer melanjutkan serial pembunuhannya. Kali ini mangsanya agak tua, Raymond Smith, 32 tahun, dan Edward Smith, 27 tahun. (Tak dijelaskan apakah kedua Smith punya hubungan keluarga.) Serial pembunuhan ini berlangsung terus sampai mencapai 15 orang. Sebenarnya ia membunuh 17 pria. Dalam peradilan di Milwaukee, hanya 15 kasus yang diadili. Pembunuhan yang dilakukannya di Milwaukee terjadi pada tahun 1988 sampai 1991. Dua pembunuhan terjadi sebelum 1988, pada masa remajanya, di Negara Bagian Ohio. Dahmer punya cara pelenyapan mayat yang sistematis. Dimulai dengan memperkecil ukuran lewat pemotongan, lalu merendamnya dalam larutan asam untuk melunakkan tulang-tulangnya. Setelah itu, Dahmer tinggal memasukkan "sampah" itu ke dalam toilet, dan bagian-bagian manusia ini lenyap seperti kotoran di lubang peturasan. Namun, setan-setan di otaknya seperti mendorongnya melakukan tindakan lebih keji, lebih sensasional. Dahmer mendapat gagasan untuk menyantap korbannya. Dan sedikitnya ada tiga korban yang masuk ke perutnya. Mayat Oliver Lacy disetubuhi dulu untuk memuaskan desakan nekrofilia dalam dirinya, lalu dicincang, dikuliti, disantap, sebelum dibuang. Konon, sejak umur 14 tahun, fantasi-fantasi Dahmer sudah mulai ganjil, antara lain membayangkan "begituan" dengan mayat. Masa kecil Dahmer memang muram. Ia dilahirkan di Milwaukee, 1960, sebagai anak seorang ahli kimia. Perkawinan orangtuanya rombeng. Ibu-bapaknya bertengkar terus-menerus. Masa kanak-kanaknya juga terluka oleh hal lain. Dahmer korban penganiayaan seksual tetangganya pada umur delapan tahun. Keadaan yang ringsek semacam ini membuat Dahmer menjadi pembohong kronis, rendah diri, dan sering dibayangi rasa bermusuhan. Menurut David, adik Dahmer, abangnya sering kelihatan memukul-mukulkan ranting ke sebatang pohon dengan kemarahan. Ketika umur Dahmer menginjak 18, orangtuanya bercerai. Ia ikut ibunya tinggal di Bath Township, Ohio. Di sini ia berkenalan dengan mariyuana, hasyis, dan menjadi pemabuk. Suatu hari ibunya lenyap begitu saja bersama adiknya. Dahmer ditinggal sendirian, dan tak punya apa-apa. Pada periode kehidupan inilah, tahun 1978, Dahmer memulai debutnya sebagai pembunuh. Korbannya diduga Steven Hicks, kawan sebayanya. Dahmer, suatu hari, memboncengnya pulang ke rumah. Ternyata, sang kawan diantar ke peristirahatan seumur hidup dengan sejumlah hantaman barbel. Jasadnya dirusak dengan palu. Tahun lalu polisi menemukan tak kurang dari 100 potong tulang Hicks ketika mengumpulkan barang bukti untuk menuntut Dahmer. Enam tahun berikutnya Dahmer tinggal dengan neneknya, di West Allis, pinggiran Milwaukee. Bapaknya kawin lagi dengan Shari. Sekitar 1979 Dahmer masuk angkatan darat AS, dan ditugaskan di di Jerman pada awal 1980. Hanya setahun ia bertugas. Ia dipecat karena ketahuan pemabuk berat dan diduga terlibat pembantaian dekat markas besar tentara AS di Jerman. Sekembalinya ke Milwaukee, Dahmer mencari nafkah sebagai pekerja giliran malam di pabrik cokelat Ambrosia. Dalam kesaksian Dr. George Palermo, sebelum di pabrik cokelat, Dahmer pernah bekerja di bank plasma darah. Hanya sebentar karena, kata Palermo yang juga staf di bank darah, penjahat berkaliber itu tak punya keberanian menusukkan jarum suntik ke tubuh pasien. Lalu bagaimana mungkin ia tega membantai bahkan mencincang orang? Tak mudah memang menjelaskan keadaan jiwa yang sudah berbelok-belok. Ketika pada tahun 1986 Dahmer masuk lembaga rehabilitasi pemerintah, pengawas mencatat persoalan yang dihadapainya: perilaku seksual, pengendalian emosi, alkohol, dan uang. Pada seorang kawan dekat ia konon pernah mengeluh soal homoseksnya. "Apa ada sesuatu yang salah pada saya?" katanya pada kawan tadi -- sumber Newsweek yang dirahasiakan. Rupanya, Dahmer merasa terganggu dengan kelainan seksualnya. Ia diam-diam membenci dirinya. Ketika masuk program rehabilitasi, ia pernah mengatakan, "Saya akan bunuh diri. Cuma soal waktu." Sekitar 1987, Dehmer mulai menebarkan bencana di Milwaukee. Ia merancang modus operandinya dengan seksama. Dimulai dari mencoba efek obat tidur terhadap korbannya. Ia mula-mula menjadi anggota Klub Milwaukee, tempat mandi uap khusus cowok. Setelah main cinta dengan teman yang ketemu di sana, ia biasanya menawarkan minuman untuk menambah tenaga. Empat atau lima teman kencannya mengeluh tak enak badan setelah menenggak minuman bikinan Dahmer. Baru pada "kelinci percobaan" kelima, Dahmer berhasil. Seorang tamu terjerambab pingsan. Manajer klub tersebut mencurigai Dahmer dan mencabut keanggotaannya. "Baiklah," kata Dahmer ketika diberi tahu. Ia pindah ke bar Phoenix dan kembali memulai operasinya. Februari 1988, ia mengajak Bobby Duane Simpson, 27 tahun, ke rumahnya di West Allis. Di ruang tidur Dahmer membisiki dia bahwa neneknya sudah tidur. Mereka berciuman. Kemudian Dahmer pergi ke dapur membuatkan secangkir kopi. Simpson menyeruput dua kali, lalu pingsan. Ketika bangun, Simpson sudah berada di ruang bawah tanah. Bingung dan grogi. Di hadapannya, Dahmer berdiri telanjang. Kendati berhasil meloloskan diri, ia tak melaporkan kejadian itu ke polisi. Tapi keesokannya, ketika ia bercerita di Phoenix, bar tender menatapnya dan berkata, "Kamu kena juga?" Korban selanjutnya Ronald Flowers. Digarap dengan cara yang sama dengan Simpson. Bedanya, bangun-bangun ia sudah di rumah sakit. Tak jelas siapa yang membawanya. Ia melapor ke polisi setempat dengan tuduhan Dahmer meracuninya dan mencuri duitnya US$ 240 dari dompet. Tapi, ketika dilakukan pengetesan darah untuk melacak kebenaran laporannya, tidak ditemukan sisa racun. Kasus Flowers didrop. Dahmer, anak ahli kimia itu, pintar memilih pil Halcion, yang cepat lenyap bekasnya dalam darah. Seorang psikiater kondang, David Abrahamsen, menilai percobaan-percobaan itu menunjukkan bahwa terdakwa bukan cuma makhluk impulsif. "Ia tahu apa yang dilakukannya, dan ia sadar tindakannya sebenarnya salah," kata ahli jiwa yang pernah menangangi kasus psikopat populer, Lee Harvey Oswald. Saksi ahli psikolog Judith Becker menambahkan, obsesi nekrofilia Dahmer mendapat pemuasan setelah ia nekat melaksanakannya pada korban pertama. Sensasi pemuasan inilah yang kemudian terus-menerus mendorongnya untuk melakukan kembali persetubuhan dengan mayat. Tidak ada jalan lain kecuali dengan membunuh. Namun, pengacara Gerald Boyle mengutarakan, sebenarnya Dahmer mencoba mengontrol fantasi seksualnya lewat mencuri mayat dari kuburan. Pernah juga ia mencuri manekin dari sebuah toko. Analisa Boyle, Dahmer, yang sangat pendiam dan pemalu itu, ingin menciptakan "zombie" (mayat hidup). Makhluk ini diperlukannya sebagai teman setia. "Menurut pikirannya, ia bermaksud memelihara teman yang tak akan meninggalkannya itu," kata Boyle. Tidak semua buruan Dahmer sampai dihabisi. Sedikitnya ada lima korban yang lolos. Misalnya pelapor yang minta namanya disamarkan sebagai Mr. A. Korban ini biseks keturunan Afrika. Mr. A terjerat gombal Dahmer di klub 219, Juli lalu, sekitar 48 jam sebelum Dahmer ditangkap. "Kamu laki-laki paling menarik yang pernah saya temui di Milwaukee," kata Dahmer melontarkan jerat. Ia memperkenalkan diri sebagai ahli peralatan listrik dari Chicago yang kesepian. Ia menawarkan US$ 100 pada Mr.A sekadar untuk ngobrol, tanpa seks. Keduanya tiba di apartemen 213. Mr. A mencium bau tidak enak di kamar itu. Tiba-tiba matanya menangkap ada noda darah kering di sprai tempat tidur Dahmer dan sebilah pisau bergagang plastik biru. Ia menatap mata Dahmer yang ternyata tak berubah. Bulu kuduk Mr. A merinding. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres dan lalu berusaha kabur dari kamar itu. Ia berhasil setelah berteriak, menginjak kaki Dahmer, dan mendobrak pintu. Sebenarnya, serial kejahatan Dahmer bisa dihentikan lebih dini. Di suatu pagi 27 Mei tahun lalu, di jalanan dekat rumah Dahmer tampak seorang pemuda 14 tahun bertampang Asia terhuyung-huyung di jalanan. Tubuhnya telanjang dan kakinya penuh darah bekas cakaran. Ia dikejar-kejar pemuda jangkung berambut pirang. Melihat ada yang tak biasa, tetangga-tetangga Dahmer yang kebanyakan kulit hitam menelepon polisi. Tapi, ketika petugas kepolisian datang, seorang pemuda berambut pirang yang ramah mendekati mereka. Pemuda pirang itu meyakinkan polisi bahwa anak muda yang limbung itu kekasihnya. Dia dan pacarnya, kata pemuda pirang itu, baru bertengkar. Akibatnya begitu. Entah bagaimana, polisi percaya saja. Petugas berseragam tersebut malah mengantarkan remaja bermata sipit itu ke apartemen si pirang tanpa menemukan keanehan apa pun. Mereka meninggalkan tempat kejadian sambil menertawakan insiden asmara homoseks itu. Bisa ditebak siapa lelaki berambut pirang tadi. Betul, Dahmer. Maka, polisi tak tahu bahwa di balik pintu rumah yang baru ditinggalkan, Dahmer melanjutkan aksi kejahatan yang sempat terhenti karena korban mencoba lari. Anak malang itu langsung dicekik. Belakangan baru jelas, remaja yang "ngambek" itu Konerak Sinthasomphone, berumur 14 tahun. Ia anak keluarga imigran Laos. Seperti dalam pembunuhan berantai lainnya, korban-korbannya orang "pilihan" yang punya ciri-ciri serupa. Sebagian besar mangsa Dahmer berkulit hitam. Sisanya, "warga negara kelas dua" seperti imigran tadi. Bekas rekan-rekan kerja Dahmer ingat bahwa si jagal itu selalu mengomel tentang orang-orang Negro. Polisi menduga, Dahmer mengembangkan modus operandi itu karena merasa remaja dari kelompok minoritas lebih mudah dimangsa. Dugaan lain, pilihan itu akan membuat aksi kejahatannya tertutup sempurna. Kalau Dahmer membantai orang-orang kulit putih, pembunuhan itu akan mendapat perhatian polisi lebih awal. Analisa polisi itu sempat menimbulkan gejolak di kalangan kulit hitam Milwaukee. "Ini kota yang sangat rasial," kata aktivis kulit hitam, Queen Hyler. Mereka menyalahkan polisi dalam kasus anak Laos itu. Mengapa polisi lebih percaya pada Dahmer hanya karena ia kulit putih daripada dua wanita hitam yang melaporkan kejanian di jalanan itu. Para pemimpin kelompok gay juga unjuk rasa. Mereka menuduh polisi kaku dan cuek. Tiga polisi yang "salah percaya" dalam kasus 27 Mei tadi akhirnya diskors. Karena kelambanan itu, borok Dahmer baru terungkap dua bulan kemudian. Ini berkat jasa calon korban Tracy Edwards, 32 tahun, yang berhasil kabur kendati tangannya sudah diborgol. Edwards langsung lari ke kantor polisi. Malam itu juga petugas keamanan menggerebek apartemen 213, yang menjadi ladang pembantaian Dahmer. Dan polisi memang tercengang. Dua kepala manusia teronggok di lemari es, dan satu lagi yang sudah dikuliti di kotak pendinginnya. Tengkorak dan tulang berserakan di kamar mandi dan lemari arsip. Dan bekas-bekas tangan manusia dan kelamin tersimpan di ceret. Tak heran bila tetangga sering mengeluh diterpa bau busuk. Dahmer, yang sekejam Dr. Hannibal Lecter dalam film The Silence of the Lamb, langsung ditahan dan diborgol. Di rumahnya masih tersimpan sisa-sisa 11 tubuh sejumlah korbannya. "Barangkali Tuhan mengirim saya ke apartemen itu untuk membongkar kebejatan Dahmer," kata Edwars. Seluruh paket kejahatan Dahmer, sesudah itu, terbongkar. Ditemukan berbagai barang bukti dan segudang saksi. Pembela Dahmer berusaha keras menguatkan inti pembelaannya, yaitu "dalih ketidakwarasan" yang dapat meringankan hukuman. Tidak mudah membawa pembelaan ini karena secara umum hanya 10 persen dari pembunuh serial yang terbukti gila. Upaya ini juga mendapat tantangan berat dari masyarakat. Juri menyimpulkan Dahmer waras karena mengamati antara lain tindakan Dahmer terhadap remaja Laos yang disebutkan tadi. Ia masih bisa membohongi polisi hanya sesaat sebelum ia menjagal korbannya. Dehmer sendiri tampak pasrah. Dalam pernyataan terakhir sebelum hakim menjatuhkan vonis, Dahmer memohon maaf pada semua keluarga korban. "Mereka berhak membenci saya," katanya. Ketika vonis dibacakan, para wartawan yang meliput persidangan mencatat "tak ada perubahan ekspresi di wajah Dahmer". Sebelum menjalani hukumannya di Milwaukee, Dahmer akan dibawa ke Ohio untuk mempertanggungjawabkan pembunuhan yang terjadi di wilayah hukum negara bagian itu. Setelah persidangan ini selesai, ia akan dikembalikan ke Milwaukee untuk mendekam di kamar 2,5 x 3 meter, di Columbia Correctional Institution di Portage, sebuah daerah pedesaan di pinggiran Milwaukee. Dahmer termasuk penjahat yang harus mendekam di penjara khusus, penjara dengan pengamanan paling ketat. Di sini terdapat 28 layar monitor, pintu baja elektronik, pagar berduri, dan sistem deteksi dengan kamera-kamera di berbagai sudut. Dalam ilmu jiwa, manusia semacam ini memang bisa membunuh lagi. Ia juga tidak bisa dipercaya, licik, pandai membual, nekat, buas, dan berjiwa laknat. Bunga Surawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus