SASARAN: Abu Ibrahim (Husain Al Kumari) dan Mohammed Rashid, pimpinan 15 Mei, organisasi teroris yang jumlah anggotanya sangat kecil, yang beroperasi mulai 1980. DATA TEROR: memasang sekurang 15 bom, termasuk di pesawat TWA yang bolong di atas Athena pada April 1986, menyebabkan 4 orang, termasuk seorang anak, terlempar ke luar. HAMBATAN: 15 Mei dilindungi Presiden Irak Saddam Hussein. Padahal, dari 1980-1988, selama perang Iran-Irak, Amerika memihak Irak. Resmi pemerintah AS menghalangi pengusutan terhadap 15 Mei. SAN6 PEMBURU: Victoria Toensing, ibu tiga anak, ahli hukum yang menjadi asisten Jaksa Agung. Kariernya, ia pernah membongkar komplotan pengedar narkotik. Diceritakan oleh Steven Emerson dalam buku Terrorist, sebagaimana dinukil oleh New York Times Magazine. DARI KETINGGIAN 30.000 kaki di atas Lautan Pasifik, pada 11 Agustus 1982, sebuah jet Pan Am mulai merendah menuju daratan Honolulu. Cuaca oke. Segalanya beres. Tapi tiba-tiba burung besi itu berguncang hebat. Sebuah bom menerjang. Kabin dan kokpit tertutup asap tebal kebiruan. Beberapa penumpang sia-sia menggapai masker oksigen yang berjuntai di hadapannya. Ketika kabin mulai kehilangan tekanan udara, pilot cepat menyurukkan pesawatnya ke ketinggian 10.000 kaki. Ledakan berasal dari baris 47, tempat keluarga Ozawa duduk. Ibu-bapak dan anak keturunan Jepang ini merencanakan liburan di Hawaii. Tapi ledakan itu menjungkirbalikkan angan-angan mereka. Toru Ozawa, 16 tahun, terlempar dari bangkunya. Lubang menganga di perutnya, kakinya terpisah dari badannya yang cabik. Sedangkan 15 penumpang lainnya, termasuk Tuan dan Nyonya Ozawa, babak-belur. Adalah keajaiban Tuhan ketika pilot masih sanggup mendaratkan kendaraannya ke bumi. Dua minggu kemudian, di Rio de Janeiro, petugas kebersihan menemukan tas merah hati di bangku nomor 29 pesawat Pan Am yang baru mendarat dari Miami. Ketika tas tak bertuan itu diperiksa di kantor polisi, ahli bom memastikan bahan peledak tersimpan di dalamnya. Lima hari setelah itu, di Bern, Swiss, seorang Palestina berpakaian rapi bergegas ke kedutaan Amerika. Ia bernama Adnan Awad. Ia mengaku baru saja meninggalkan sebuah bom d hotel Jenewa Noga Hilton. Bom itu diletakkan dalam sebuah tas dan disembunyikan di bawah tempat tidur di kamarnya, lantai tujuh hotel itu. Diplomat yang dihubungi Awad segera mengontak polisi federal Swiss. Namun, tak berapa lama, polisi menelepon kembali. Sebuah tas memang ditemukan. Isinya? Kosong. "Kamu gila!" semprot diplomat itu pada Awad. "Kamu mau apa sebenarnya?" Awad yang tampak ketakutan itu lekas menggambar sebuah diagram. Lewat coretan itu ia menunjukkan daerah persembunyian benda maut itu. Rupanya bom itu baru akan tampak mata jika lapisan dalam tas dibuka. Karena alat peledak itu, meski berkekuatan prima, hanya berupa lempengan tipis bom plastik yang dijahit di lapisan kain tas. Sedangkan batere dan detonatornya ditanam dalam kerangka bawah tas. Awad tak berdusta. Sebab, ketika regu pendeteksi bom kembali ke hotel, mereka menemukan barang yang dimaksud Awad. Orang Palestina itu tiba-tiba menjadi hadiah besar bagi para pemburu teroris. Khususnya Amerika. Karena Adnan berkicau akan membongkar kedok kelompoknya. Awad mengaku dikirim dari Baghdad oleh seorang Palestina bernama Abu Ibrahim, pemimpin Organisasi 15 Mei. Ibrahim bersumpah untuk menghancurkan orang-orang Amerika, Israel, dan Yahudi di seluruh dunia. Abu Ibrahim bernama asli Hussein Mohammed al-Umari. Digambarkan Awad sebagai lelaki pendek, berwajah keras dan bersuara berat. Ibrahim lahir di Palestina pada 1936. Ia pengikut teroris Palestina George Habash dan Waddi Haddad. Dia perancang sejumlah pembajakan hebat pada tahun 70-an. Ibrahim dilatih di Syria sebelum membentuk kelompok "15 Mei" pada 1980. Komplotan Abu Ibrahim selanjutnya menjadi alat intelijen militer Irak. Operasi mereka, kata Awad, disokong pemerintah Saddam Hussein. Dengan cara menyediakan bahan peledak untuk bom, paspor palsu untuk para kurir dan menyelundupkan senjata dalam kantung diplomatik. Menurut majalah Time, organisasi itu dibubarkan, setelah perang Iran-lrak agak mendingin. Pengikut-pengikutnya dipindahkan ke unit komando PLO yang dikenal sebagai "Kelompok Pelaksana Khusus". Ibrahim memilih target utama pesawat Pan American karena nama itu adalah simbol Amerika Serikat. Awad mengaku ia hanyalah salah satu kurir yang diutus secara serempak dari Baghdad. Dengan aksen Arabnya yang kental, Awad terang-terangan menunjuk nama si tinggi ramping Mohammed Rashid, 40 tahun, pejuang kemerdekaan Palestina, sebagai pelaksana andalan bos Abu Ibrahim. Selain membawa "titipan" Abu Ibrahim, sang perwira juga diminta merekrut kurir baru di Eropa, menyewa rumah persembunyian, dan memimpin pengawasan target berikutnya. Lewat si Kumis Tebal ini Awad berkenalan dengan Abu Ibrahim. Sebelum berangkat ke Jenewa, Awad sempat mengucapkan salam perpisahan dengan Rashid dan istrinya, Fatima -- perempuan kelahiran Austria -- yang aslinya bernama Christine Pinter. Awad dan Rashid masing-masing mendapat tugas dari sang pemimpin. Rashid diutus untuk menghabisi Pan Am jurusan Tokyo-Honolulu, dengan bahan peledak yang setara dengan sekitar 45 kg TNT. Sedangkan sasaran Awad adalah Noga Hilton milik seorang Yahudi. "Kita akan bertemu lagi tiga minggu lagi di Baghdad," ujar Rashid dengan yakin saat itu. Di tengah jalan, Awad bimbang. Perasaannya bercabang antara ketakutannya pada Abu Ibrahim dan bayangan orang-orang tak berdosa yang akan menjadi korban. Ia berdoa semoga saja bom yang dibawanya meledak di tangannya saat itu juga, supaya ia tak punya pilihan lagi. Doanya tak terkabul. Tapi ia sudah menetapkan hati: menyerahkan diri. Mengapa Rashid Bebas Gentayangan? "Saya mendengar nama Muhammed Rashid pertama kali pada hari pertama saya mulai bekerja di sini," kata Victoria Toensing, 42 tahun. Waktu itu Maret hari ke-30, 1984. Di kursi barunya, sebagai Pembantu Wakil Jaksa Agung di Departemen Kehakiman, Victoria memulai kerja dengan meneliti arsip penyelidikan antiteroris. Matanya menangkap satu kasus menarik: Rashid dan induknya, Organisasi 15 Mei. Tapi, mengapa terbengkalai? Intelijen Amerika, berdasarkan data dari Awad, sudah memastikan Mohammed Rashid sebagai kurir yang meletakkan bom di pesawat tujuan Honolulu dan Rio. Ciri-ciri bom itu memang sama. Ini menurut Denny Kline. Denny Kline adalah penyidik bom andalan FBI. Bahan peledak sudah menjadi "mainannya" semenjak bergabung dengan biro intelijen federal itu pada 1969. Prestasinya antara lain mengenali bom Omega 7, kelompok antipemimpin Kuba Fidel Castro dan FALN, kelompok nasionalis Puerto Rico. Keahlian Kline adalah menganalisa bom untuk menentukan "tanda tangan" -- tanda-tanda forensik yang bisa membuktikan dengan tepat di mana, bagaimana, dan oleh siapa bom itu dibuat. Maka, ia ditugasi menyidik kedua bahan peledak di Honolulu dan Rio. Melalui penyelidikan cermat, Kline dan rekan-rekannya sampai pada kesimpulan: bahan peledak di Honolulu dan Rio identik. Kelompok "15 Mei" ternyata menyukai bahan peledak jenis PETN (Pentaerythrite tetranitrate) untuk dirakit sebagai bom plastik. Keunggulannya, bom ini tidak terjamah deteksi sinar X dan gampang dibentuk. Bisa dimasukkan dalam tabung odol atau berwujud apel dan lemper. Abu Ibrahim merakit dalam bentuk lempengan tipis lebar 10 x 25 cm yang dijahit dalam lapisan dalam tas tangan biasa. Tugas para kurir, meletakkan barang maut itu di bawah jok. Dengan tekanan berat badan orang yang duduk di kursi itu, tombol penekan akan aktif dan mendorong pengatur waktu yang dirancang untuk menghasilkan percikan api dan jedorrrrr. Di tubuh Toru Ozawa, tim penyidik menemukan kawat nikel berlapis emas 24 karat sepanjang 5 cm. Benda ini sangat halus, hanya tigaperempat milimeter. Kawat ini serupa dengan racikan dalam bom di Rio. Tapi bom di Rio gagal meledak karena pemasang bom kurang hati-hati mematahkan pin pengaman, hingga detonator tidak bekerja. Sebegitu jauh, penyebar bom plastik ini masih berkeliaran, dan beraksi. Belakangan, terhitung ada 14 drama rancangan Ibrahim untuk bangsa Amerika, Israel, dan Yahudi berserakan di penjuru dunia dalam kurun 1980 -- tahun berdirinya gerombolan 15 Mei -- sampai 1984, saat Victoria duduk di kantor Kehakiman. Antara lain pada Januari 1982, peledakan restoran Yahudi di Berlin Barat, korbannya seorang anak mati. Juni dan Desember 1982, gedung yang dimiliki dan disewa oleh orang Israel di Nairobi dan Wina hancur. Desember 1982, sebuah bom ditemukan di dekat lapangan tenis Pangkalan Angkatan Laut AS di Naples. Dalam bulan Desember 1983, ada tiga teror sekaligus. Sasarannya menghancurkan gedung department store Marks dan Spencer di London, pesawat Pan Am jurusan Roma-New York, pesawat udara Olympic jurusan Athena ke Tel Aviv, El Al Airlines jurusan Tel Aviv ke London. Syukurlah, hanya toserba itu yang binasa. Sedangkan bom yang lain melempem, dan utuh ditemukan dalam bagasi penumpang. Juni 1984, bom racikan Abu Ibrahim yang bertenaga besar dapat dilacak di sebuah apartemen di Berlin Barat sebelum memuntahkan petaka. November 1984, polisi menangkap kurir Ibrahim di bandara Frankfurt yang menenteng bom plastik dalam tasnya. Tujuh dari 17 upaya pengeboman periode 80-84 ini dilakukan oleh Mohammed Rashid. Prestasi ini masih berlanjut sampai 1987. Di antaranya, pada April 1986, bom yang dipasang Rashid di pesawat TWA jurusan Roma-Atena menghilangkan nyawa 4 orang. Tapi mengapa Rashid masih juga dibebaskan gentayangan? Victoria gemas. Pedang Hukum Victoria Victoria, aktivis Persamaan Hak dari Partai Republik itu, mendengar bahwa alasan penghentian penyidikan kasus Rashid dimulai dari putusan aparat tertinggi dalam urusan kebijaksanaan luar negeri. Pada 1982, Dewan Keamanan Nasional dan Departemen Luar Negeri AS memutuskan condong berpihak pada Irak dalam perang melawan Iran. Akibatnya, pada Maret 1982, setelah kunjungan rahasia pemimpin CIA (Central Intelligence Agency) William J. Casey ke Baghdad, Departemen Luar Negeri menghapus Irak dari daftar negara-negara yang mendukung terorisme. Malah Amerika menyilakan Irak menerima kecanggihan teknologi adidaya mereka. Hubungan Amerika-Irak makin mesra. Pada tahun 1985 dan 1986, Washington tidak hanya menyetujui penjualan teknologi tingginya, tapi juga melengkapinya dengan satelit pengintai langkah-langkah pasukan Iran. Aksi "kerja sama" yang belum pernah terjadi sebelumnya. (Padahal kasus "Iran-Contra" mengungkapkan bagaimana pihak Amerika menjual senjata pula pada Iran). Di Dewan Keamanan Nasional, Letnan Kolonel Oliver North berkeras untuk memegang semua hak hukum atas penanggulangan terorisme. Dan Departemen Kehakiman dibuat tak berkutik atas "hubungan khusus" AS dan Irak belakangan itu, maupun transaksi senjata Iran-Contra. Pejabat tinggi di Departemen Luar Negeri, terutama Richard W. Murphy, yang saat itu Wakil Menlu untuk urusan Timur Dekat dan Asia Selatan, sesumbar bahwa Irak sudah "memensiunkan" seluruh terorisnya. Tapi, menurut laporan-laporan intelijen yang tergolong rahasia dalam para pejabat CIA, FBI, dan Departemen Pertahanan, Irak terus merancang aksi pengeboman dan pembunuhan di berbagai penjuru bumi. Malah, menurut salah satu dokumen rahasia, pada 1986, kedutaan-kedutaan Irak di sembilan negara Eropa dan Asia menyalurkan persenjataan dalam kantung-kantung diplomatik untuk mendukung aksi terorisme. Beberapa pejabat di Deplu tak setuju dengan kebijaksanaan baru pemerintah. "Kita punya tiga persoalan besar dengan Irak pada 1986," kata L. Paul Bremer, yang saat itu kepala kantor Deplu urusan terorisme. Pertama, menurut Bremer, orang-orang Irak masih menggunakan teror untuk menghajar pembangkang-pembangkangnya. Kedua, mereka menampung Abu Abbas, dalam pem- bajakan kapal pesiar "Achille Lauro", 1985. "Dan ketiga, mereka punya grup 15 Mei di Baghdad," kata Bremer. Tapi Bremer hanya bisa mengoceh di kantornya. Sedangkan laporan-laporan yang masuk ke kuping Reagan hanya lewat jalur Direktur CIA, William Casey dan Oliver North. Kedua sahabat Irak ini memastikan tak ada suara lain yang bisa sampai ke Presiden. Tersebarlah olok-olok di antara pejabat pemerintah. Mereka, para pejabat yang seharusnya bertanggung jawab melindungi AS dari serangan terorisme, dipaksa menganut pandangan baru tentang Irak. Dalam kemelut seperti itu, muncullah pendekar Victoria Toensing. Lulusan fakultas hukum Detroit dengan cum laude itu yakin bahwa ia dapat menumpas tangan kanan Abu Ibrahim, Mohammed Rashid. Sebagaimana dulu ia memperjuangkan 30 pasal Amandemen Persamaan Hak dalam rapat Partai Republik 1980 di Detroit. Di luar sidang, inventarisasi 30 masalah persamaan hak yang dikumpulkan Victoria "dibeli" asisten senator dari Maryland, Joseph di Genova -- yang kemudian mengawini janda Victoria, setahun kemudian. Pasangan ini lalu pindah ke Washington. Ketika itu Toensing, ibu tiga anak yang bermula karier di kantor kejaksaan di Detroit, terpilih sebagai ketua penasihat hukum Komite Khusus Senat dalam bidang intelijen. Sebelum akhirnya ditunjuk sebagai pembantu asisten Jaksa Agung. Kalau di kantor lama, pedang hukum Victoria ampuh menembus kasus narkotik, kini senjata itu diasahnya untuk menyikat teroris. Victoria melicinkan jalan ke sana. Setahun dihabiskannya untuk memastikan bab dalam RUU Kejahatan 1984, yang memberikan pada AS hak hukum di luar wilayah untuk menangani aksiaksi teror tertentu. Persaingan CIA-FBI-Departemen Kehakiman Dengan senjata itu, Victoria menggeledah kasus Rashid. Ia menyiapkan perangkap. Pertama dengan menggali lebih banyak rahasia dari Adnan Awad. Kendati menurut CIA mereka sudah mendapat bukti yang meyakinkan dari Awad, Victoria belum merasa cukup. Sebagai seorang jaksa, ia harus yakin bahwa Awad akan tetap punya keberanian menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mencecar sebelum dan juga di dalam sidang. Maka, seorang petugas senior Kehakiman diberangkatkan ke Swiss untuk mewawancarai Awad yang ingat detail drama rancangan Ibrahim. Dari sana, Awad dibawa ke AS untuk masuk dalam Program Perlindungan Saksi. Sementara merangkul Awad, Victoria mengirim agen FBI untuk mengumpulkan data-data dari para bekas penumpang Pan-Am jurusan Honolulu yang dibom. Barangkali ada yang bisa digaet sebagai saksi penting. Untungnya, sudah ada penyidik yang bisa mendapat bahan rekonstruksi kejahatan yang dilakukan Rashid. Pada sekitar Agustus 1982 itu, Rashid bersama istri dan anaknya berangkat ke Tokyo melalui Singapura dan Hong Kong. Dalam perjalanan ke Tokyo, Rashid membawa sebuah tas tangan kecil. Tas itu, kata saksi, diselipkan di bawah kursinya, nomor 47 K. Di Tokyo, Rashid dan keluarganya memesan tiket pulang ke Baghdad. Penemuan-penemuan itu cukup melegakan Victoria. Namun, ada persoalan lain yang membuatnya sesak. Diam-diam CIA, FBI, dan Departemen Kehakiman terlibat persaingan ketat. Kepentingan masing-masing saling bentrok. CIA, umpamanya, menghendaki pengumpulan bahan intelijen tanpa membahayakan sumber. Sebaliknya, Kehakiman menginginkan para saksi membuka dirinya di persidangan. FBI berpendirian di tengah. Lembaga itu kesal pada CIA dan Depkeh yang seringkali mengacaukan saksi-saksi yang telah dibina. Pada akhirnya, semua pihak berjalan sendiri, dan dengan caranya masing-masing. Yang lebih repot lagi, sepak terjang Victoria mendapat ganjalan keras dari Dewan Keamanan Nasional. Oliver North dan dua ketua dewannya, Robert C. Mc Farlane dan Laksamana John M. Poindexter, tak menghendaki seorang pun terlibat dalam operasi menghancurkan teroris, khususnya segala sesuatu yang dapat merusak transaksi rahasia North dengan Iran, Irak, dan bahkan secara tidak langsung, dengan beberapa kelompok teroris itu sendiri. Jadi, mana yang didahulukan? Kepentingan politik ataukah perlindungan terhadap warga negara AS? Victoria tak mau dihalangi tanpa perlawanan sama sekali. Victoria mengirim delegasi sesering mungkin untuk menghadiri pertemuan-pertemuan antar instansi yang membicarakan masalah terorisme. Namun, situasi yang paling menguntungkan Victoria adalah meletusnya skandal penjualan senjata "Iran-Contra", yang menyebabkan North harus hengkang dari "kerajaannya" Dewan Keamanan Nasional. Victoria menjadikan itu sebagai kesempatan "mengambil" kembali hak hukum untuk menangani kasus Rashid. Sementara itu, sepak terjang Rashid masih tetap menjadi incaran intelijen CIA. Berkat keterangan dari informan dan agen rahasia di luar negeri, terutama di Tunisia, agen Amerika menguntit kegiatan Rashid dalam menjalankan misi 15 Mei di Sudan, Jerman Barat, Tunisia, Yunani, dan negara lainnya. Setelah itu, Rashid seperti hilang ditelan bumi -- sampai April 86. Pada 2 April 1986, sebuah pesawat T.W.A. berangkat dari Roma menuju Athena. Beberapa menit sebelum burung besi itu bertengger di ibu kota Yunani, sebuah ledakan menggelegar di pesawat. Lubang besar menganga di badan pesawat, menyeret 4 penumpang Amerika, termasuk anak berusia 18 bulan, dari ketinggian 10 ribu kaki ke bumi. Dugaan keras, dari data-data yang dikumpulkan intelijen Amerika, tindakan biadab itu dirancang Rashid. Ia yang mengatur penyerahan sebuah bom pada wanita Libanon untuk diselundupkan ke pesawat itu sebelum terbang ke Roma. Hasil analisa forensik Denny Kline dipertegas lagi. Bom itu memiliki ciri-ciri serupa dengan barang-barang maut Abu Ibrahim terdahulu. Tapi, secara hukum, Victoria gagal mengumpulkan bukti yang cukup untuk kasus terbaru ini. Satu-satunya bukti tak terbantah -- dengan sejumlah saksi -- - untuk menyeret Rashid dan Ibrahim hanya pada pengeboman Pan Am jurusan Honolulu dan percobaan pengeboman Pan Am di Rio, 1982. Itu artinya, Victoria harus bertindak cepat sebelum masa penuntutan kedaluwarsa dalam tempo lima tahun, Agustus 1987. "Kami harus bertindak cepat," kata Victoria. Pada 15 Januari 1987, pengadilan distrik Columbia, AS, mengambil sumpah dewan juri. Dan dari sebuah tempat rahasia di AS, Adnan Awad diterbangkan dengan pengamanan ketat ke Washington. Ia memberi kesaksian selama dua hari. Tujuh bulan berikutnya, sejumlah saksi -- mulai dari penumpang sampai petugas-petugas hukum -- yang muncul di pengadilan memperkuat kesaksian Awad. Juli 1987, dewan juri menyimpulkan 9 dakwaan terhadap Ibrahim, Rashid dan istrinya, Christine Pinter. Di antaranya, tuntutan hukuman bagi pembunuhan berencana dan berkomplot untuk menghancurkan pesawat udara. Victoria meminta bantuan di kalangan intelijen untuk menemukan jejak Ibrahim, Rashid, dan Pinter. Para detektif itu siap-siap menciduk ketiganya di perantauan dan membawanya ke meja hijau AS. Yang sulit adalah menangkap Abu Ibrahim. Bos grup 15 Mei itu tampaknya tak pernah meninggalkan sarangnya di Baghdad. Dan, lagi-lagi, karena hubungan AS sedang manis-manisnya dengan Irak, Baghdad berada di luar jangkauan. "Kami mendapat penegasan, dakwaan itu jangan sampai mengganggu kebijaksanaan yang lebih luas terhadap Irak," ujar seorang pejabat senior FBI. Sementara itu, Rashid dan istrinya melanglang dunia dengan mengemban tugas dari Baghdad. Ini membuat Kline bolak-balik berurusan dengan sedikitnya sepuluh bom keluaran "pabrik 15 Mei", yang disebarkan Rashid dan rekan kurir lainnya. Sebagian cerita penemuan bom-bom ini dirahasiakan pada publik. Biro intelijen Israel, Mossad, juga menemukan tiga tas maut Rashid dan kelompoknya di kedutaan dan pesawat terbang Israel. Alhasil, agen intelijen Amerika menyebar di negara-negara Timur Tengah, dan mulai melakukan operasi pemburuan besar-besaran di bandara. Rashid tak kalah gesit bersembunyi dalam sejumlah penyamaran. Tapi, akhirnya, ada titik terang. Melalui sejumlah informan dan kerja sama dengan mata-mata Tunisia dan Sudan, CIA dan FBI mendapat tiga fotokopi paspor palsu yang sering digunakan Rashid, orang Palestina bermuka lonjong itu. Minggu terakhir Mei 1988, Victoria dan timnya mendapat bocoran. Rashid akan tiba di Athena dalam 2-3 hari. Kabar itu menjadi berita baik sekaligus buruk. Buruknya, para pemburu Amerika tahu reputasi Yunani sebagai kawan baik Palestina. Pemerintah Yunani, ketika itu dipimpin Perdana Menteri Papandreou, telah lama menjalin persahabatan dengan Organisasi Pembebasan Palestina, PLO. Pejabat penting lainnya, Sifis Valyrakis, semacam Pangkopkamtib di negeri itu, pernah dilatih oleh para pejuang PLO awal tahun 70-an. Dan menurut sumber-sumber rahasia, Direktur Badan Intelijen Yunani, sekaligus sobat dan penasihat Papandreou, Kostas Tsimas, adalah penghubung partai gerakan sosialis Pan-Hellenic dengan Partai Baath Irak. Lewat jalur ini Irak mengikuti perkembangan di Yunani. Bahkan teroris internasional Abu Nidal, yang selalu menyebut dirinya paling revolusioner itu, mendapat izin "buka kantor" di tanah Yunani. Dengan imbalan, warga Yunani akan dikecualikan dari serangan teror. Singkat kata, Yunani tak mencela teror-teror yang dilancarkan Palestina. Detektif Amerika mendahului kedatangan Rashid, menuju ibu kota Yunani, Athena. Ia memohon pada petugas setempat agar menahan orang asing yang masuk ke negeri itu dengan salah satu paspor palsu yang ditunjukkannya. Tepat pada 30 Mei, datang seorang asing dari Yugoslavia membawa paspor Syria. Setelah diteliti, nomor paspor yang dipegangnya cocok dengan data yang diberikan detektif Amerika tadi. Petugas imigrasi segera mengontak Kedutaan Amerika. Katanya, mereka telah menangkap teroris Palestina yang dimaksud. Rashid ditahan di penjara Korydallos Athena. Namun, pemerintah AS tak mudah menjangkaunya. Berbagai alasan, yang tampaknya sebagai praktek kesetiaan Yunani pada Palestina, dilancarkan. Pemerintah Yunani meminta bukti-bukti kejahatan tahanan itu. Sebab, dalam pengakuan si tahanan itu, ia bernama Mohammed Hamdan. Pihak AS mengirimkan bukti foto yang diambil dari formulir permohonan visa Rashid di Tokyo. Untuk meyakinkan bahwa orang yang mengaku Mohammed Hamdan itu sebenarnya Mohammed Rashid yang dicari-cari, secara resmi pemerintah AS meminta orang Palestina tersebut diekstradisikan ke AS dalam waktu 72 jam. Dan karena Rashid berada jauh dari Irak, Departemen Luar Negeri dan Dewan Keamanan Nasional AS menyetujui sikap keras penegak hukum Amerika terhadap orang Palestina ini, dan mengumumkan permohonan ekstradisi ini ke publik. Permintaan itu hanya dianggap angin lalu oleh Athena, kendati mereka mengumumkan akan menyidangkan orang Palestina itu dalam kasus paspor palsu. Ketika itu, PLO tak tinggal diam. Mereka membantu Rashid dengan menyediakan penerjemah, membayar pengacara, dan melontarkan peringatan keras pada Yunani agar tidak mengirimkan Rashid ke Washington. Pada 15 Juli 1988, Rashid dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 7 bulan. Masa hukumannya kemudian ditambah setelah petugas penjara menemukan senjata di selnya. Sampai di sini, Victoria Toensing menjejaki Mohammed Rashid. Empat tahun setelah duduk dalam pemerintahan, ia melepaskan jabatannya. Alasannya tak jelas benar. Tapi ia memilih praktek hukum swasta. Sedangkan buruannya menjalankan masa tahanan di Negeri Socrates itu. Dalam periode itu, hubungan AS dan Yunani memburuk. Pemerintah Papandreou tidak hanya berkeras menolak menyerahkan tawanan itu, melainkan juga semakin jelas berkomplot dengan Palestina. Mereka, umpamanya, membebaskan "anak" Yasser Arafat yang ditahan sejak 1982 karena mengebom gereja kaum Yahudi di Roma. Tampaknya diberi angin begitu, para perusuh makin merajalela. Seorang hakim senior dan seorang jaksa dari Mahkamah Agung Yunani dibantai oleh anggota organisasi teroris sebagai protes berlanjutnya penahanan Rashid. Baru pada 12 Mei 1989, atau 10 bulan setelah Rashid tertangkap di bandara Athena, Mahkamah Agung menyetujui permintaan ekstradisi Rashid ke AS. Namun, pelaksana keputusan itu diserahkan pada Menteri Kehakiman. Tampaknya putusan itu dijatuhkan untuk memadamkan keresahan. Nyatanya, situasi itu terus mengapung. Rashid masih mendekam di penjara Athena sampai hampir setahun berikutnya. Sampai tiba pemilihan umum pada April 90, yang mengantar tongkat pemerintahan ke tangan partai konservatif pimpinan Constantine Mitsotakis. "Nasib" Rashid diubah lagi oleh pemerintah baru ini. Bukan dengan menyerahkan ke Amerika, melainkan mengadili sendiri. Rashid akan dimejahijaukan dengan acuan hukum Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, atas tuduhan pembunuhan dan sabotase pesawat udara. Penangkapan Rashid Pada 18 September tahun lalu, tim khusus dari pengadilan mengunjungi Rashid di ruang tahanan Penjara Korydallos. Dia diperintahkan berdiri. Lalu hakim membacakan empat dakwaan yang dituduhkan pemerintah Yunani atas pengeboman pesawat Pan Am pada 1982. Sebulan kemudian, di Washington. Ketika bekas sobat Rashid, Adnan Awad, keluar dari airport di ibu kota AS, tiga lelaki berpakaian preman dan berpistol mengepungnya. Tanpa tegur sapa, ketiganya menggiring Awad ke sebuah sedan biru berkaca gelap. Di dalam mobil tahulah Awad, penculiknya itu adalah tamu-tamu dari Yunani. Diantar oleh kepala polisi AS, mereka meminta kesaksian rahasia bekas "perwira" Organisasi 15 Mei yang pernah menjadi tentara pembebasan Palestina itu. Pemerintah Constantine Mitsotakis menjadwalkan untuk menghadapkan Rashid ke pengadilan Januari lalu. Tapi tertunda oleh keriuhan Perang Teluk. Baru pada Mei lalu, teroris Baghdad itu bisa "ditembak" pasal-pasal hukum. Bekas-bekas pemburu anak buah Abu Ibrahim itu yakin bahwa penangkapan Rashid menyulutkan perang terhadap terorisme. Kendati Christine Pinter dan sang bos, Abu Ibrahim, masih menghirup udara bebas di Sudan dan Baghdad, Organisasi 15 Mei telah kehilangan perwira andalannya. Dan menurut para intelijen, hukuman bagi penjahat dari Palestina itu akan membuat teroris lain ngeri keluar dari persembunyiannya. Di tengah hiruk-pikuknya Washington, dekat dari markas Departemen Kehakiman, seorang perempuan duduk di kantor pengacara "Manatt, Phelps & Phillips", sambil bergumam. Ia, Victoria Toensing, bekas pemburu Rashid, hanya mendengar persidangan itu dari jauh. "Tanggung jawab penuh memerangi terorisme terletak di banyak jalur birokrasi pemerintahan. Tapi itu seharusnya dilakukan dengan kompak dan sejak dini," katanya. Victoria setidaknya sudah meninggalkan jejak di bekas kantornya. Bagaimana birokrasi bisa tebas, asal penegak hukum punya keyakinan. BSU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini