Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Koalisi Masyarakat Sipil mempersoalkan Perda 10/2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual.
Perda itu berpotensi memicu tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT.
Pemerintah Kota Bogor mengklaim perda tersebut untuk melindungi generasi muda.
BOGOR – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual mempersoalkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) yang diberlakukan di Kota Bogor. Koalisi menilai perda ini berpotensi melahirkan tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Bahkan peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terbuka lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi yang mempersoalkan Perda P4S ini adalah gabungan dari 140 masyarakat sipil. Mereka berasal dari Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, PKBI, SGRC Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Sanggar SWARA, dan Human Rights Working Group (HRWG).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami telah membuat pernyataan sikap,” kata Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur, kemarin, 21 Maret. “Beberapa bab dan pasal dalam perda tersebut menyebut langsung kelompok mana yang disebut berperilaku penyimpangan seks. Ini sangat berbahaya.”
Penyebutan identitas kelompok tersebut, kata Isnur, bisa mendiskreditkan orang yang memang memiliki orientasi seks berbeda. Karena itu, Koalisi meminta pemerintah dan DPRD Kota Bogor meninjau ulang Perda P4S itu.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur. Dok. TEMPO/Rizki Putra
Isnur mencontohkan tindakan persekusi dan perundungan yang dialami warga Ahmadiyah hingga saat ini. Perlakuan buruk tersebut meningkat setelah pemerintah mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) 3 menteri tentang pelarangan ajaran Ahmadiyah. “Jangan sampai (terulang) seperti Ahmadiyah, di mana pun keberadaannya selalu mendapat diskriminasi,” kata dia. “Bahkan mereka jadi kehilangan hak asasi sebagai manusia.”
Isnur berpendapat bahwa Perda P4S ini memiliki kecenderungan serupa. Warga negara yang memiliki orientasi seksual berbeda dan menjadi minoritas terancam dilanggar hak-haknya. Bahkan perda itu berpotensi menghancurkan martabat, kehormatan, dan rasa aman para minoritas ini.
Perda P4S diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor dan disahkan pada Desember 2021. Kepala Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kota Bogor Alma Wiranta mengatakan perda ini diterbitkan untuk melindungi masyarakat. “Terutama generasi muda agar tidak terkontaminasi oleh perilaku penyimpangan seksual,” kata Alma.
Menurut Alma, aturan yang termuat dalam perda ini tidak secara khusus menyasar kaum LGBT. “Perda ini harus dilihat lebih saksama dari berbagai aspek, tentunya paling penting dari aspek kesehatan,” kata dia. Namun, jika ada masyarakat yang masih mempertanyakan aturan-aturan dalam perda itu, pemerintah bersedia berdialog. “Jika masih dirasa kurang, ya ajukan judicial review ke MA (Mahkamah Agung) atau executive review ke Kemendagri.”
Kepala Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kota Bogor Alma Wiranta menjelaskan Perda P4S di kantornya, Balaikota Bogor, Jawa Barat, 21 Maret 2022. TEMPO/M.A MURTADHO
Ketua Panitia Khusus DPRD Kota Bogor tentang Perda P4S, Devie Prihartini Sultani, mengatakan perda itu disusun memang atas inisiatif dari DPRD. Sebagai wakil rakyat, kata dia, DPRD wajib meneruskan aspirasi masyarakat yang resah atas munculnya berbagai bentuk penyimpangan seksual di Kota Bogor.
“Kami melakukan dialog dan meminta pendapat semua, baik tokoh agama, akademikus, maupun pakar hukum,” kata Devie. Dia menambahkan, dari sudut agama, tidak ada satu pun yang melegalkan bentuk-bentuk penyimpangan seksual. “Perda ini untuk mitigasi agar warga tidak terkontaminasi oleh penyimpangan seksual. Makanya judul di awalnya pun pencegahan, baru kemudian penanggulangan.”
Devie mempersilakan siapa pun untuk memberikan pendapat jika menganggap perda itu mendiskreditkan kelompok-kelompok tertentu. “Kami terbuka (untuk dialog),” kata Devie. “Namun masukan itu harus sesuai dengan data dan undang-undang serta menyelaraskan dengan adat, budaya, dan sosial yang ada di Kota Bogor."
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dalam keterangan tertulis, akhir pekan lalu, menyebut sejumlah pasal yang berpotensi mendiskreditkan kaum minoritas. Misalnya saja pada Pasal 6 disebutkan perilaku penyimpangan seksual adalah homoseksual, lesbian, dan waria. Aturan ini dinilai bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pada poin F66 PPDGJ disebutkan “orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai sebuah gangguan”. Dalam klasifikasi internasional, yakni International Classification of Diseases revisi ke-11, juga telah menyatakan bahwa transgender bukan gangguan kejiwaan.
Kemudian pada Pasal 9, 12, 15, dan 18 secara spesifik mengatakan salah satu cara pencegahan dan penanganan yang digunakan adalah rehabilitasi. Langkah ini berpotensi meningkatkan tindakan pemaksaan terhadap upaya perubahan orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Koalisi mengutip pendapat Victor Madrigal Borloz, ahli independen Prosedur Khusus PBB, yang menyebutkan tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai penyiksaan.
Muhammad Isnur berpendapat, jika pemerintah dan DPRD Kota Bogor tidak menemukan bentuk diskriminasi dalam Perda P4S, sebaiknya mereka memahami lebih dulu definisi diskriminasi itu sendiri. “Toh, sudah jelas, kok, UUD 1945 menyebut apa itu diskriminasi. Pasal 20, 21, dan 27 lengkap itu,” kata dia. “Kalau untuk (tawaran) dialog atau diskusi, sudah terlambat, karena perdanya sudah disahkan.”
M.A. MURTADHO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo