Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perpindahan Karyawan Sonder Aturan

Pakar hukum tata negara menilai janggal perihal tawaran KPK memindahkan pegawai yang tak lulus tes wawasan kebangsaan ke BUMN. Dikhawatirkan menjadi upaya penyingkiran 57 pegawai lewat persyaratan pengunduran diri.

15 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bus untuk pegawai KPK tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan yang akan mengikuti Pendidikan dan Latihan bela negara, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 21 Juli 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pakar hukum tata negara khawatir akan adanya upaya penyingkiran 57 pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan.

  • Perpindahan pegawai dari instansi ke perusahaan negara belum pernah terjadi.

  • Kementerian BUMN belum mengetahui adanya rencana perpindahan pegawai KPK ke perusahaan negara.

JAKARTA – Upaya pemindahan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) ke badan usaha milik negara (BUMN) dinilai menyalahi aturan. Selama ini perpindahan yang biasa berlangsung adalah mutasi karyawan dari satu perusahaan ke perusahaan lain sesama BUMN. Belum pernah terjadi peralihan status pegawai instansi pemerintah menjadi karyawan perusahaan negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tidak ada konsepnya dalam hukum kepegawaian negara,” kata ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tawaran pindah ke BUMN diberikan kepada sembilan dari 57 pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan. Ujian tersebut merupakan bagian dari persyaratan menjadi aparat sipil negara—status pegawai KPK setelah berlakunya Undang-Undang KPK yang baru pada 2019. Ke-57 orang tersebut, termasuk sejumlah penyidik senior yang bolak-balik menangkap koruptor kakap, seperti Novel Baswedan dan Harun Al Rasyid, terancam terdepak dari KPK mulai 1 November mendatang. Berbagai kalangan menilai tes tersebut merupakan bagian dari rangkaian upaya pelemahan KPK dan penyingkiran pegawai berintegritas.

Dua hari lalu, sebagian dari mereka mendapat e-mail berisi formulir surat permohonan ke pimpinan KPK agar menyalurkan mereka untuk bekerja di instansi lain. Mereka diminta mengundurkan diri dari KPK sebelum pimpinan mengurus perpindahannya.

Bivitri menilai poin penting polemik ini ada pada persyaratan pengunduran diri tersebut. “Saya terus terang ragu apakah benar akan ‘dipindahkan’ atau ini hanya tawaran palsu yang tidak akan ditindaklanjuti,” kata pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta, itu.
 
KPK berdalih penyaluran ke instansi lain merupakan upaya mereka membantu pegawai yang gagal dalam tes wawasan kebangsaan tersebut. Menurut Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa, penempatan personel bertujuan menyebarkan agen-agen antikorupsi ke instansi dan lembaga lain.

Bivitri ragu akan klaim tersebut. "Kalau memang ditugaskan untuk membantu, tidak bisa dengan syarat resign karena konteksnya adalah penugasan," ujar Bivitri.

Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir (kiri) setelah bertemu pimpinan KPK di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 8 Juli 2020. TEMPO/Imam Sukamto

Keraguan seperti itu menguat setelah BUMN tidak merasa dilibatkan dalam rencana perpindahan pegawai dari KPK. "Tidak ada informasi itu di kami," kata Arya Sinulingga, juru bicara Kementerian Badan Usaha Milik Negara.

Menteri BUMN Erick Thohir serta kedua wakilnya, Pahala Nugraha Mansury dan Kartika Wirjoatmodjo, tidak menjawab pertanyaan permintaan konfirmasi dari Tempo. Ratna Irsana, asisten media Menteri BUMN, mengatakan tidak tahu-menahu soal rencana tersebut. Mengutip keterangan Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian BUMN, Tedi Bharata, dia menyatakan tidak ada kerja sama seputar perpindahan personel dengan KPK.

Feri Amsari, peneliti hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, juga menilai janggal tawaran KPK tersebut. Ia menyatakan perpindahan lintas instansi seperti itu belum pernah terjadi dan tidak ada dasar aturannya.

Dia menyatakan status kepegawaian 57 orang itu masih kuat. Sebab, ada rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman Republik Indonesia yang menyatakan terdapat pelanggaran hak asasi manusia dan maladministrasi dalam proses alih status pegawai KPK.

INDRI MAULIDAR | MAYA AYU | ROSSENO AJI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus