SEBUAH misi gabungan mewakili 3000 karyawan dari 3 rumah judi
terbesar di Jakarta (NIAC, Copacabana dan PIX) akhir Januari
menghadap DPR. Oka Mahendra SH dari FKP menampung keluhan
mereka. Beberapa hari kemudian karyawan Lotto Fair Krekot dan
Senen mengadu pula ke lembaga itu.
Nasib mereka ternyata tidak sebaik yang diduga orang. Sebelumnya
tuntutan pesangon telah berkali-kali mereka layangkan ke meja
direksi tak lama setelah ada pengumuman pelarangan judi mulai 1
April nanti. Namun tidak satu pun ditanggapi. Memang pemilik
NIAC di Jakarta Theatre pernah menyatakan bahwa mereka bersedia
membayar pesangon sesuai dengan permintaan karyawan, asalkan
dananya diambil dari pajak judi bulan Januari-Maret '81 yang
dibayarkan kepada Pemda DKI.
Maka pihak karyawan segera menghubungi Wagub Sardjono Suprapto.
Jawaban Wagub menambah kecemasan mereka. Usul NIAC tidak dapat
dipenuhi, sebab "dana itu sudah masuk APBD." Lagi pula bukankah
NIAC sanggup membayar pesangon? "Keuntungan NIAC sebulan saja
sudah cukup untuk itu," ungkap seorang karyawan yang tidak
bersedia disebut namanya.
Status perusahaan judi yang izin operasinya hanya berlaku dalam
jangka waktu 1 tahun (tiap kali izin ini dapat diperbaharui),
otomatis tidak menguntungkan bagi karyawan yang bekerja di
sana. Pasal 1603q KUHAP tentang Perjanjian untuk melakukan
pekerjaan ada menyebutkan, bahwa dalam hal hubungan kerja untuk
waktu tertentu, ganti rugi (karena pemutusan hubungan kerja
adalah sama dengan jumlah upah untuk jangka waktu hubungan kerja
yang seharusnya berlangsung terus-menerus.
Sampai kini tidak ada yang tahu pasti apakah misalnya yang
dimaksud Gubernur Tjokropranolo dengan "karyawan harus dikasih
pesangon sesuai dengan UU." Mungkin pasal 1603q itu. Tapi jika
begitu posisi karyawan rumah judi tidak menggembirakan. Sesuai
dengan izin usaha yang hanya 1 tahun, maka jangka waktu kerja
karyawan juga dihitung 1 tahun -- meski dia sudah bekerja di
perusahaan yang sama 10 tahun berturut-turut.
Andaikata pemutusan hubungan kerja berlaku persis pada saat izin
operasi habis, ini berarti pula karyawan tidak herhak mendapat
ganti rugi apa pun. seiui dengan pasal 1603q KUHP tersebut.
Kecuali, tentu saja bila ada pertimbangan-pertimbangan lain.
Umpamanya seperti yang termaktub dalam pasal 6 Penjelasan
Undang-Undang no. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta. Yaitu yang menyangkut pemutusan hubungan
kerja secara besar-besaran, sebagai akibat dari tindakan
Pemerintah. Untuk ini "Pemerintah akan berusaha meringankan
beban kaum buruh itu dan akan diusahakan penyaluran mereka pada
perusahaan/proyek yang lain."
Kepada TEMPO Gubernur DKI Tjokropranolo, belum bersedia memberi
gambaran yang pasti tentang penampungan para karyawan judi yang
jumlahnya menurut SB Pariwisata lk. 10.000 orang. Ia hanya
berkata: "Lebih sesuai kalau disalurkan lewat UU. Selesai."
Dalam pada itu Oka Mahendra hanya berani berjanji untuk
"membicarakan nasib seluruh buruh yang bekerja di bidang
perjudian." Lalu kepada wakil-wakil karyawan Lotto Senen dan
Krekot, Oka menganjurkan agar selanjutnya berunding dengan SB
Pariwisata yang berkantor di Jl. Mangunsarkoro Jakarta. Tapi
belum terdengar hasil perundingan itu.
DALAM urusan memperoleh pesangon ini, kartu tinggi karyawan ada
pada Peraturan Menteri Perburuhan No. 9 tahun 1964. Di situ
antara lain disebutkan, bahwa karyawan yang masa kerjanya 1-2
tahun mendapat 2 kali upah 2 - 3 tahun, 3 kali upah, begitu
seterusnya sampai masa kerja kurang dari 5 tahun. Di atas 5
tahun, ditambah uang jasa 1 kali upah -- dan seterusnya.
Persoalannya: apa yang dimaksud dengan upah? Apakah upah sama
dengan amplop yang oleh karyawan ditafsirkan sebagai gaji pokok
dan jumlahnya relatif kecil (Rp 36.000)? Atau pendapatan
keseluruhan yang merupakan jumlah dari amplop, plus premi hadir,
plus uang perangsang, yang paling tinggi bisa mencapai Rp
261.000?
Karyawan tentu cenderung menghitung pesangon mereka berdasarkan
pendapatan keseluruhan itu. Ini berarti seorang karyawan yang
punya masa kerja 8 tahun misalnya, dengan pendapatan total Rp
261.000 bisa memperoleh pesangon Rp 2 juta lebih per orang,
ditambah uang jasa seperti disebut PMP no. 9 th. '64.
Jumlah ini bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan
pesangon yang berani dijanjikan para pemilik rumah judi. Soalnya
sekarang bagaimana pihak P4P ataupun Departemen Tenaga Kerja
mempertemukan langit dan bumi tersebut. Atau, menurut istilah
Oka Mahendra bagaimana "mencari jalan tengah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini