Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Janji datuk indo bayang

Kisah lenggang marajo, pawang harimau di solok, sum-bar & salam malin putih, pawang dari jorong, padang. lenggang mendapat ilmu sebagai pawang dari ayahnya tapi ilmu itu tak dikomersilkan.

21 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARIMAU bisa membaca niat jahat manusia. Sebaliknya manusia yang diterkam harimau biasanya karena punya dosa," kata Lenggang Marajo, pawang harimau di Solok, Sumatera Barat. Tapi menurut lelaki yang berusia 52 tahun ini, apa pun kesalahan manusia korbannya, harimau tersebut tetap bersalah. Karena itu ia bisa dipawangi. Artinya pada akhirnya seorang pawang hanyalah memburu harimau yang sudah nyata salah. Di samping kesalahan itu, Lenggang juga membutuhkan mantera. "Ini tidak bisa saya ungkapkan," katanya cepat-cepat kepada TEMPO. Mantera dikomat-kamitkan dekat sebuah perangkap disertai pembakaran kemenyan putih yang juga sudah dijampi-jampi. Walhasil, perangkap merupakan syarat fisik, sedangkan mantera bagian spiritualnya. Tanpa memenuhi kedua persyaratan itu. jangan mengharap apa-apa, kata Lenggang. Pandai Bersilat Perangkap sendiri harus memenuhi aturan permainan. Antara lain, harus mempergunakan kayu berlumut yang ditumbuhi parasit dan dijalari semut. Jumlahnya harus 50 batang. Ditancapkan terbalik -- pucuknya ke bawah. Memakai prinsip perangkap tikus, bagai sebuah kamar di alam bebas. Di salah satu sudut dipasang umpan. Sebuah pintu rahasia akan tertutup secara otomatis, bila buronan sudah masuk dan menginjak beberapa bagian tertentu. Harimau yang sudah terjebak, tidak akan mampu lari meskipun terkenal sebagai hewan jago lompat. Perangkap harus didirikan di tengah hutan sekitar lalu-lintas raja itu, bertanah datar, dan paling ideal bila lingkungannya agak gelap. Sebelum dioperasikan, terlebih dulu pawang masuk ke dalamnya untuk membacakan mantera. Apabila semua syarat dipatuhi biasanya berhasil. "Jika tidak sekarang, besok atau lusa," kata Lenggang. Kadangkala berhari-hari perangkap terus bengong-melompong. Di sana pawang tidak boleh ngambek. Kalau memang belum waktunya, harus dengan setia dijaga, bila perlu dimanterai lagi. Bakar kemenyan putih lagi. Komat-kamit pula sambil meniup-niup udara. Lenggang mendapat ilmu itu dari Chaeruddin, almarhum ayahnya yang meninggal pada 1963 dalam usia 70 tahun. Setahun sebelumnya, tiba-tiba saja Chaeruddin yang memang seorang pawang, memanggil Lenggang. "Lenggang, hari saya sudah dekat, ambillah ilmu itu, " ujarnya. Dengan begitu Lenggang mewarisi ilmu keluarganya. Lelaki bertubuh kecil, tinggi kurang dari 150 cm dan sebelah matanya buta ini, menganggap hal tersebut sebagai satu kehormatan. Sebelum menerima warisan, sebenarnya Lenggang sudah disiapkan. Ayahnya mendidiknya untuk mengenal sifat-sifat harimau. Yaitu tidak semua macan nakal. Termasuk jenis binatang yang cerdik dan pandai bersilat. Misalnya dalam keadaan yang terdesak, ia tetap sulit dilukai. "Raja hutan itu pandai mengelak,?" kata Lenggang. Ilmunya menyamai pemain-pemain kungfu dalam film Mandarin. Jatuh dari ketinggian puluhan meter, tak pernah cedera. Nalurinya sangat tajam, dapat membaca pikiran manusia. Kerja pawang bukan merupakan mata pencaharian Lenggang. Ia hidup sebagai petani yang terkenal ulet dengan mengolah sebuah kebun luas di punggung Bukit Tandang, 5 km di timur Kota Solok. Dua hektar kebun itu ditanami palawija dengan selingan cengkih dan kulit manis. Rumahnya terletak di tengah ladang. Berupa sebuah pondok yang melindungi istri dan kelima orang anaknya. Pada awalnya, keahlian Lenggang sebagai pawang dilepitnya sendiri. Tapi di akhir 1980, raja hutan telah mengganas di Tiumang, Sitiung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan menembus sampai Kabupaten Solok. Di Bukit Tandang, lebih dari 7 ekor anjing berburu dan telah terlatih baik, telah digasaknya. "Itu sudah keterlaluan. Apalagi anjing tetangga saya juga diterkam," kenang Lenggang. Maka Lenggang pun penasaran. Ia khawatir kalau-kalau manusia segera akan menyusul anjing-anjing itu. Penduduk sudah mulai mengunci dirinya dalam rumah, bila senja turun. Diam-diam, dibantu oleh Zulkiman (20 tahun), anak sulungnya, ia membuat perangkap dengan umpan anjing, di bulan Desember. Kamis 8 Januari 1981, seekor harimau yang menurut Lenggang berdosa besar, terkecoh masuk perangkapnya. Raja itu mengamuk. Tapi begitu Lenggang muncul, mendadak ia seperti seekor kucing yang dibawakan lidi. Takut setengah mati, seperti anak kecil yang merasa bersalah. "Nah, ngaku salah!" gumam Lenggang. Tangkapan Lenggang kemudian diserahkan pada Kebun Binatang Bukittinggi. Sebagai penghargaan pada Lenggang, dilimpahkan hadiah Rp 100 ribu. "Buat saya tidak soal apakah harimau itu atau kulitnya berharga Rp 1 juta di pasaran. Atau berapa saja. Yang penting saya dihargai. Itu cukup," komentar Lenggang dengan polos. (Lihat juga Lingkungan). Ini sesuai dengan persyaratan ilmunya, bahwa hasil tangkapannya tidak boleh diperjual-belikan. Harimau itulah satu-satunya yang pernah ditangkap Lenggang. "Saya jarang mempergunakan ilmu itu, kecuali kalau sudah dalam keadaan penasaran begini," katanya terus terang. Kendati begitu, mengingat ulah macan yang mengobrak-abrik tempat lain, ia sudah menyatakan kesediaannya untuk melanjutkan operasi. Tetapi -- ini syarat lagi -- ia harus menunggu. Tidak bisa datang ke situ, kalau tidak atas permintaan. "Kepawangan saya, bukan dengan latar-belakang komersial, tidak boleh dianggap enteng," ujarnya dengan tegas. Seekor harimau lain, telah ditangkap oleh pawang Salam Malin Putih 80 tahun, di Jorong Sungaicemiri, 150 km tenggara Kota Padang. Orang tua ini sebelumnya dikenal sebagai "dokter desa" karena sering mengobati warga desanya. Ia tinggal bersama anak-cucunya di Pulaubasung. Setiap kali ada aksi agresif dari raja hutan, biasanya masyarakat langsung minta perlindungan pada pawang ini. "Insya Allah berhasil," kata kakek yang agak pendiam tapi terkadang pintar melucu ini kepada TEMPO. Salam mengaku mendapatkan ilmunya dari seorang guru bernama Datuk Indo Babayang -- tatkala ia masih muda. Kabarnya sang guru sangat tangguh dan bisa berbicara langsung dengan harimau. Syarat memiliki ilmu pawang menurut Salam, mudah. Harus dekat pada Allah, taat beribadat dan menjauhkan segala larangannya. "Hanya itu," ujar kakek itu setengah bergurau. Datuk Indo Babayang Sejak muda ia sudah menaklukkan sckitar 20 ekor macan. Yang berhasil ditangkapnya pada 22 Januari 1981 adalah seekor harimau betina. Seperti juga Lenggang, ia menyatakan hanya macan yang bersalah yang bisa dijebak. Kesalahan itu berarti cukup luas, termasuk menerkam ternak, mengganggu keamanan dan ingkar janji. Ingkar janji? Menurut Salam, harimau alias inyiakbalang itu, dulu-dulunya pernah mengikat perjanjian dengan penghulu di kawasan sana -- yakni Datuk Indo Babayang. Isinya: masyarakat sana dan harimau, sama-sama tidak boleh melakukan agresi. Mesti saling memelihara. Nah, kenyataannya sudah ada pelanggaran akhir-akhir ini. "Darah dibayar dengan darah. Kalau kita yang bersalah, yah, tunggu saja diterkamnya nanti," kata kakek itu dengan tersenyum. Cara Salam menangkap harimau juga pakai mantera. Dalam mantera itu diserukan agar binatang itu tidak bisa makan apa-apa, kecuali anjing yang menjadi umpan. Sesudah itu Salam bersembahyang dua raka'at. Kemudian selama operasi, tiap malam, ia meneruskan sembahyang dua raka at dan berdoa. Biasanya dalam beberapa hari saja binatang itu sudah terperangkap. Menurut Salam, sesuai dengan perjanjian di masa lalu, harimau harus disambut sebagai datuk-datuk, seperti penghulu. Karenanya harus pakai kesenian, gong, talempong serta dua buah cerana. Satu berisi sekapur sirih dan kemenyan putih, satunya lagi baju hitam, pakaian kebesaran penghulu. Sejak binatang itu masuk perangkap sampai menerima hukumannya, upacara itu terus dijalankan. Apabila jadi mayat, harus dikuburkan di makam yang telah disiapkan untuknya. Walaupun ada pengaduan keganasan raja hutan, biasanya Kakek Salam tidak begitu saja turun tangan. Kalau masih dianggap belum terlalu berbahaya, paling banter ia memberi nasihat supaya warga kampung lebih berhati-hati saja. Kalau korban manusia sudah ada yang jatuh, ia akan membuat perangkap. Salam mempunyai janji yang sekaligus adalah syarat, bahwa keahliannya tidak bisa dikomersialkan. Ia tidak bisa menganggapnya sebagai profesi untuk hidup. Salam sudah agak pikun. Kebutuhannya tiap hari tidak banyak. Paling banter sekedar makan-minum dan kadangkala sebungkus rokok. Semuanya dicukupi oleh anak-cucunya. Itu pula sekedar imbalannya, bila ia berhasil menunaikan tugas menaklukkan macan. Sehari-hari sejak dulu ia dihidupi oleh kerja bertani, bukan dari ilmu pawang ilmu yang banyak meminta persyaratan. "Sekarang juga tidak berguna lagi, buat apa," kata Salam tentang kepawangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus