HARIMAU bisa membaca niat jahat manusia. Sebaliknya manusia
yang diterkam harimau biasanya karena punya dosa," kata Lenggang
Marajo, pawang harimau di Solok, Sumatera Barat. Tapi menurut
lelaki yang berusia 52 tahun ini, apa pun kesalahan manusia
korbannya, harimau tersebut tetap bersalah. Karena itu ia bisa
dipawangi. Artinya pada akhirnya seorang pawang hanyalah memburu
harimau yang sudah nyata salah.
Di samping kesalahan itu, Lenggang juga membutuhkan mantera.
"Ini tidak bisa saya ungkapkan," katanya cepat-cepat kepada
TEMPO. Mantera dikomat-kamitkan dekat sebuah perangkap disertai
pembakaran kemenyan putih yang juga sudah dijampi-jampi.
Walhasil, perangkap merupakan syarat fisik, sedangkan mantera
bagian spiritualnya. Tanpa memenuhi kedua persyaratan itu.
jangan mengharap apa-apa, kata Lenggang.
Pandai Bersilat
Perangkap sendiri harus memenuhi aturan permainan. Antara lain,
harus mempergunakan kayu berlumut yang ditumbuhi parasit dan
dijalari semut. Jumlahnya harus 50 batang. Ditancapkan terbalik
-- pucuknya ke bawah. Memakai prinsip perangkap tikus, bagai
sebuah kamar di alam bebas. Di salah satu sudut dipasang umpan.
Sebuah pintu rahasia akan tertutup secara otomatis, bila buronan
sudah masuk dan menginjak beberapa bagian tertentu. Harimau yang
sudah terjebak, tidak akan mampu lari meskipun terkenal sebagai
hewan jago lompat.
Perangkap harus didirikan di tengah hutan sekitar lalu-lintas
raja itu, bertanah datar, dan paling ideal bila lingkungannya
agak gelap. Sebelum dioperasikan, terlebih dulu pawang masuk ke
dalamnya untuk membacakan mantera. Apabila semua syarat dipatuhi
biasanya berhasil. "Jika tidak sekarang, besok atau lusa," kata
Lenggang.
Kadangkala berhari-hari perangkap terus bengong-melompong. Di
sana pawang tidak boleh ngambek. Kalau memang belum waktunya,
harus dengan setia dijaga, bila perlu dimanterai lagi. Bakar
kemenyan putih lagi. Komat-kamit pula sambil meniup-niup udara.
Lenggang mendapat ilmu itu dari Chaeruddin, almarhum ayahnya
yang meninggal pada 1963 dalam usia 70 tahun. Setahun
sebelumnya, tiba-tiba saja Chaeruddin yang memang seorang
pawang, memanggil Lenggang. "Lenggang, hari saya sudah dekat,
ambillah ilmu itu, " ujarnya. Dengan begitu Lenggang mewarisi
ilmu keluarganya. Lelaki bertubuh kecil, tinggi kurang dari 150
cm dan sebelah matanya buta ini, menganggap hal tersebut sebagai
satu kehormatan.
Sebelum menerima warisan, sebenarnya Lenggang sudah disiapkan.
Ayahnya mendidiknya untuk mengenal sifat-sifat harimau. Yaitu
tidak semua macan nakal. Termasuk jenis binatang yang cerdik dan
pandai bersilat. Misalnya dalam keadaan yang terdesak, ia tetap
sulit dilukai. "Raja hutan itu pandai mengelak,?" kata Lenggang.
Ilmunya menyamai pemain-pemain kungfu dalam film Mandarin. Jatuh
dari ketinggian puluhan meter, tak pernah cedera. Nalurinya
sangat tajam, dapat membaca pikiran manusia.
Kerja pawang bukan merupakan mata pencaharian Lenggang. Ia hidup
sebagai petani yang terkenal ulet dengan mengolah sebuah kebun
luas di punggung Bukit Tandang, 5 km di timur Kota Solok. Dua
hektar kebun itu ditanami palawija dengan selingan cengkih dan
kulit manis. Rumahnya terletak di tengah ladang. Berupa sebuah
pondok yang melindungi istri dan kelima orang anaknya.
Pada awalnya, keahlian Lenggang sebagai pawang dilepitnya
sendiri. Tapi di akhir 1980, raja hutan telah mengganas di
Tiumang, Sitiung, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan menembus
sampai Kabupaten Solok. Di Bukit Tandang, lebih dari 7 ekor
anjing berburu dan telah terlatih baik, telah digasaknya. "Itu
sudah keterlaluan. Apalagi anjing tetangga saya juga diterkam,"
kenang Lenggang.
Maka Lenggang pun penasaran. Ia khawatir kalau-kalau manusia
segera akan menyusul anjing-anjing itu. Penduduk sudah mulai
mengunci dirinya dalam rumah, bila senja turun. Diam-diam,
dibantu oleh Zulkiman (20 tahun), anak sulungnya, ia membuat
perangkap dengan umpan anjing, di bulan Desember.
Kamis 8 Januari 1981, seekor harimau yang menurut Lenggang
berdosa besar, terkecoh masuk perangkapnya. Raja itu mengamuk.
Tapi begitu Lenggang muncul, mendadak ia seperti seekor kucing
yang dibawakan lidi. Takut setengah mati, seperti anak kecil
yang merasa bersalah. "Nah, ngaku salah!" gumam Lenggang.
Tangkapan Lenggang kemudian diserahkan pada Kebun Binatang
Bukittinggi. Sebagai penghargaan pada Lenggang, dilimpahkan
hadiah Rp 100 ribu. "Buat saya tidak soal apakah harimau itu
atau kulitnya berharga Rp 1 juta di pasaran. Atau berapa saja.
Yang penting saya dihargai. Itu cukup," komentar Lenggang dengan
polos. (Lihat juga Lingkungan). Ini sesuai dengan persyaratan
ilmunya, bahwa hasil tangkapannya tidak boleh diperjual-belikan.
Harimau itulah satu-satunya yang pernah ditangkap Lenggang.
"Saya jarang mempergunakan ilmu itu, kecuali kalau sudah dalam
keadaan penasaran begini," katanya terus terang. Kendati begitu,
mengingat ulah macan yang mengobrak-abrik tempat lain, ia sudah
menyatakan kesediaannya untuk melanjutkan operasi. Tetapi -- ini
syarat lagi -- ia harus menunggu. Tidak bisa datang ke situ,
kalau tidak atas permintaan. "Kepawangan saya, bukan dengan
latar-belakang komersial, tidak boleh dianggap enteng," ujarnya
dengan tegas.
Seekor harimau lain, telah ditangkap oleh pawang Salam Malin
Putih 80 tahun, di Jorong Sungaicemiri, 150 km tenggara Kota
Padang. Orang tua ini sebelumnya dikenal sebagai "dokter desa"
karena sering mengobati warga desanya. Ia tinggal bersama
anak-cucunya di Pulaubasung. Setiap kali ada aksi agresif dari
raja hutan, biasanya masyarakat langsung minta perlindungan pada
pawang ini. "Insya Allah berhasil," kata kakek yang agak pendiam
tapi terkadang pintar melucu ini kepada TEMPO.
Salam mengaku mendapatkan ilmunya dari seorang guru bernama
Datuk Indo Babayang -- tatkala ia masih muda. Kabarnya sang guru
sangat tangguh dan bisa berbicara langsung dengan harimau.
Syarat memiliki ilmu pawang menurut Salam, mudah. Harus dekat
pada Allah, taat beribadat dan menjauhkan segala larangannya.
"Hanya itu," ujar kakek itu setengah bergurau.
Datuk Indo Babayang
Sejak muda ia sudah menaklukkan sckitar 20 ekor macan. Yang
berhasil ditangkapnya pada 22 Januari 1981 adalah seekor
harimau betina. Seperti juga Lenggang, ia menyatakan hanya
macan yang bersalah yang bisa dijebak. Kesalahan itu berarti
cukup luas, termasuk menerkam ternak, mengganggu keamanan dan
ingkar janji. Ingkar janji?
Menurut Salam, harimau alias inyiakbalang itu, dulu-dulunya
pernah mengikat perjanjian dengan penghulu di kawasan sana --
yakni Datuk Indo Babayang. Isinya: masyarakat sana dan harimau,
sama-sama tidak boleh melakukan agresi. Mesti saling memelihara.
Nah, kenyataannya sudah ada pelanggaran akhir-akhir ini. "Darah
dibayar dengan darah. Kalau kita yang bersalah, yah, tunggu saja
diterkamnya nanti," kata kakek itu dengan tersenyum.
Cara Salam menangkap harimau juga pakai mantera. Dalam mantera
itu diserukan agar binatang itu tidak bisa makan apa-apa,
kecuali anjing yang menjadi umpan. Sesudah itu Salam
bersembahyang dua raka'at. Kemudian selama operasi, tiap malam,
ia meneruskan sembahyang dua raka at dan berdoa. Biasanya dalam
beberapa hari saja binatang itu sudah terperangkap.
Menurut Salam, sesuai dengan perjanjian di masa lalu, harimau
harus disambut sebagai datuk-datuk, seperti penghulu. Karenanya
harus pakai kesenian, gong, talempong serta dua buah cerana.
Satu berisi sekapur sirih dan kemenyan putih, satunya lagi baju
hitam, pakaian kebesaran penghulu. Sejak binatang itu masuk
perangkap sampai menerima hukumannya, upacara itu terus
dijalankan. Apabila jadi mayat, harus dikuburkan di makam yang
telah disiapkan untuknya.
Walaupun ada pengaduan keganasan raja hutan, biasanya Kakek
Salam tidak begitu saja turun tangan. Kalau masih dianggap
belum terlalu berbahaya, paling banter ia memberi nasihat supaya
warga kampung lebih berhati-hati saja. Kalau korban manusia
sudah ada yang jatuh, ia akan membuat perangkap.
Salam mempunyai janji yang sekaligus adalah syarat, bahwa
keahliannya tidak bisa dikomersialkan. Ia tidak bisa
menganggapnya sebagai profesi untuk hidup.
Salam sudah agak pikun. Kebutuhannya tiap hari tidak banyak.
Paling banter sekedar makan-minum dan kadangkala sebungkus
rokok. Semuanya dicukupi oleh anak-cucunya. Itu pula sekedar
imbalannya, bila ia berhasil menunaikan tugas menaklukkan macan.
Sehari-hari sejak dulu ia dihidupi oleh kerja bertani, bukan
dari ilmu pawang ilmu yang banyak meminta persyaratan. "Sekarang
juga tidak berguna lagi, buat apa," kata Salam tentang
kepawangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini