SEMENTARA berbagai bentuk judi liar berkeliaran di tengah
segala lapisan masyarakat, Ali Sadikin, Gubernur DKI ketika itu,
berpacu dengan hasrat mengurusi ibukota. Sementara sekian ratus
juta uang terhambur di meja-meja bandar hwa-hwee, kasino dan
berbagai lotto, tak satu rupiah pun dapat diangkat ke kas DKI
yang kempis-kempis.
Lalu Ali Sadikin pun menggedor pintu bandar-bandar judi gelap.
Pertengahan 1967, tempat-tempat judi liar itu pun dihimpun.
Petak IX, menyusul Copacabana, Jakarta Theatre, jack pot dan
bentuk-bentuk permainan lainnya, disahkan menjadi salah satu
sumber pendapatan DKI.
Di tengah tuduhan "gubernur judi", Ali Sadikin membangun
gedung-gedung sekolah, puskesmas, berbagai gelanggang remaja,
TIM dan jalan-jalan becek, bahkan rumah-rumah ibadat. Dan selama
tahun anggaran 1980/1981, tercatat Rp 10,2 milyar pajak judi
menambah pendapatan Pemda DKI.
Acub Zainal ketua penyelenggara PON VII di Surabaya, pusing
tujuh keliling mencari dana untuk pesta olahraga di tahun 1968
itu. Tak ada pilihan lain Lotto PON diresmikan. Beberapa bulan
kemudian menyusul Lotto Surya dari Pemda Kodya Surabaya.
Berbagai judi lainnya bermunculan terus, sampai akhirnya
pertengahan 1969 NIAC di Jakarta membuka cabang kasinonya di
Surabaya.
"Waktu itu, NIAC telah membantu kas Pemda Kodya dengan Rp 15
juta sebulan," ungkap Soekotjo. Walikota Surabaya masa itu.
Manfaatnya, menurut Soekotjo, besar sekali. Misalnya
pengaspalan jalan-jalan dalam kota sehingga menghidupkan
daerah-daerah pinggiran pembangunan gedung-gedung SD dan
puskesmas. "Dan sekarang NIAC menambah kas Pemda Kodya Rp 100
juta sebulan," tambah Walikota Surabaya sekarang, Muhadji
Widjaja. Jumlah ini, kata Muhadji, merupakan 22% dari APBD Kota
Surabaya tahun 1980/1981 yang berjumlah Rp 23,6 milyar.
Baik Tjokropranolo maupun Muhadji belum melihat sumber pengganti
uang judi itu setelah 1 April nanti. Gubernur DKI ketika
menyampaikan Nota Keuangan DKI 1981/1982 di hadapan DPRD-DKI
Sabtu pekan lalu, mengharapkan penggantian itu datang dari
Pemerintah Pusat. "Karena pelarangan judi dari Pemerintah
Pusat, tentu Pemerintah Pusat sudah mempersiapkan segala
sesuatunya," tambah Tjokro kepada TEMPO. APBD DKI 1981/1982
direncanakan sebesar Rp 176 milyar.
Tapi Muhadji, tanpa menyebut-nyebut Pemerintah Pusat, hanya
mengharapkan mengintensifkan sumber-sumber pemasukan asli, yaitu
Ipeda, pajak tontonan, parkir dan pajak makanan serta minuman.
Apakah berarti setelah 1 April 1981 semua judi hilang? Belum
tentu. Yang pasti para pencandu judi sudah mendengar
selentingan, bahwa bandar-bandar sudah mempersiapkan judi gelap.
Karena, menurut kalangan penjudi, tak mungkin melenyapkan
kebiasaan mengadu nasib pencandu judi begitu saja. Malahan
seorang pimpinan grup tempat judi terkenal di Jakarta, melihat
"hampir tak mungkin melenyapkan judi sama sekali." Karena itu,
tambahnya, tak mustahil muncul judi liar.
Paling tidak judi buntut yang mengekor pada nomor-nomor akhir
kupon undian yang dikeluarkan Yayasan Dana Bhakti --
Kesejahteraan Sosial yang diumumkan tiap 20 hari. Penggemar
buntut ini telah melebar hingga hampir di seluruh pelosok dusun,
di seluruh tanahair, melalui bandar-bandar resmi maupun yang
sewaktu-waktu siap lari bila pemasangnya menang. Malahan di
Kepulauan Riau judi buntut Sie Jie di Singapura menyebarkan
ekornya hingga pulau-pulau terpencil di kawasan sana.
Di Bali, awal bulan ini Pemda Bali mengadakan diskusi untuk
menentukan: bagaimana menghilangkan pertaruhan yang selalu
menyertai sabung ayam yang merupakan bagian dari upacara
keagamaan tabuh rah. Diskusi itu tak membuahkan hasil, kecuali
lontaran-lontaran kekhawatiran bahwa sabung ayam yang selama ini
berhasil dilokalisasikan, akan kembali menjadi perjudian liar
setelah 1 April nanti.
Pulau judi? "No, no, ini sudah perintah Pak Harto, judi harus
hapus, bukan dialihkan ke tempat lain," jawab Gubernur Tjokro.
Tapi kalangan pengusaha judi, seperti dari kelompok Jakarta
Theatre, malahan cenderung memilih satu pulau terpencil khusus
untuk penjudi kelas kakap. "Daripada mereka mengorganisasikan
judi-judi gelap," tambah seorang pengusaha yang tak mau disebut
namanya.
Pelarangan judi memang akan berakibat mengalirnya sekian puluh
milyar rupiah ke tempat-tempat yang belum diketahui. Di Jakarta
saja, dengan pajak Rp 10 milyar lebih yang disetorkan ke kas
DKI, diperkirakan paling sedikit lima kali lipatnya akan tetap
berada di kantung-kantung para bandar judi. Untung jika uang itu
dialihkan ke sektor industri dan menampung bekas karyawan yang
akan menganggur. Tapi jika berpindah ke pusat-pusat kasino di
luar negeri?
Alasan memang bisa banyak dari kalangan ini. Tapi sudah tentu,
larangan judi punya dasar yang tak kalah kuat: bukan saja judi
resmi hisa merangsang kebiasaan yang buruk, tapi pengayoman
tempat judi bisa juga jadi sumber korupsi, kemewahan -- dan
rebut-rebutan antara deking.
Namun tak kalah beratnya adalah mengurusi bekas karyawan
tempat-tempat judi yang jumlahnya puluhan ribu itu. Pengangguran
sudah di ambang pintu kehidupan mereka. Berbagai pengaduan dan
tuntutan mulai terdengar, mulai ke alamat DPR, FBSI dan terutama
ke pengusaha tempat judi itu sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini