Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menafsir Ulang Lagu-lagu S. Abdullah

Festival Hadhrami menampilkan tafsiran atas lagu-lagu ciptaan S. Abdullah. Penyanyi keroncong pembuat lagu untuk drama Fatimah.

3 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menafsir Ulang Lagu-lagu S. Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIMAWAN Krisnowo Adji tak memainkan cello dengan menggeseknya. Ia justru memetik dan menggenjreng dawai-dawai pada cello itu layaknya bermain gitar. Suara bernada bas yang dihasilkannya terdengar mengalun dengan tempo cepat. Sesaat berselang, Tesla Manaf memetik senar gitar listriknya pada nada-nada tinggi. Suaranya yang melengking berkolaborasi dengan musik bas dari cello Dimawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam iringan musik itu, Nyak Ina Raseuki-lebih dikenal dengan nama Ubiet-mulai bernyanyi. Ia melantunkan sebuah lirik lagu dengan nada yang cepat dan sedikit patah-patah. "Tuan-tuan dan Nyonya/Setelah menyatu jadi bangsa/Saya ini Tuan mau cerita," Ubiet bernyanyi. Makin lama, tempo lagu itu makin cepat. Terdengar pas dengan iringan musik cello yang cepat dan sesekali bunyi senar gitar listrik yang melengking tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berjudul Main Gitar dan Bernyanyi, lagu berdurasi tiga menit yang dibawakan Ubiet itu adalah ciptaan Said Abdullah Bamuzaham, atau biasa disingkat S. Abdullah, penyanyi dan tokoh musik keroncong keturunan Arab asal Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Lagu tersebut merupakan salah satu karya S. Abdullah yang dibawakan Trio Udite (Ubiet-Dimawan-Tesla) di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada Rabu keempat April lalu. Penampilan ketiganya adalah bagian dari acara Festival Hadhrami, yang berlangsung selama dua hari di sana.

Total selama 20 menit Trio Udite tampil di panggung auditorium itu. Selain membawakan Main Gitar dan Bernyanyi, mereka memainkan beberapa lagu lain yang dibuat atau pernah dinyanyikan S. Abdullah, seperti Soto Madura dan Mars Persatoean Arab Indonesia. Dalam lagu Soto Madura, trio itu berhasil menampilkan kolaborasi yang pas antara lirik lagu yang sederhana, vokal Ubiet yang khas, dan irama musik yang terdengar sedikit mencekam hasil perpaduan suara petikan dawai cello dengan senar gitar listrik.

Selama empat menit, Ubiet terlihat asyik meresapi lirik demi lirik dalam lagu Soto Madura. "Sotooo/Inilah Tuan namanya soto Madura/Sangat enak rasanya/Harganya juga murah/Sudah terkenal di mana-mana." Ubiet menyatakan tak sulit menafsirkan lagu yang diciptakan S. Abdullah pada 1930-an itu lantaran lirik dan musiknya masih sesuai dengan konteks saat ini. "S. Abdullah sangat kontemporer meski lagunya dibuat pada masa itu."

S. Abdullah-meninggal pada 1941-dikenal menguasai gaya keroncong asli dan baru. Dengan kemampuan itu, ia berupaya mengembangkan jenis keroncong Indonesia dan menciptakan gaya keroncong baru atau keroncong modern. Selain giat bermusik, S. Abdullah ternyata aktif dalam Persatoean Arab Indonesia (PAI), organisasi yang berdiri pada 5 Oktober 1934 dengan tujuan menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bertanah air Indonesia di kalangan masyarakat keturunan Hadrami atau Arab. "Dia termasuk salah seorang tokoh PAI," ucap peminat dan penulis sejarah Hadrami, Nabiel Karim Hayaze.

Keterlibatan dalam PAI itulah yang kemudian membuat S. Abdullah menciptakan lagu dan bernyanyi untuk pertunjukan tonil Fatimah karya tokoh nasionalis Indonesia keturunan Arab, Hoesin Bafagih. Drama itu berisi kritik terhadap berbagai hal negatif dalam kehidupan masyarakat keturunan Arab di Indonesia-ketika itu bernama Hindia Belanda.

Menurut Nabiel, setidaknya ada dua lagu ciptaan S. Abdullah yang ditampilkan dalam pementasan drama Fatimah. Dua lagu itu berjudul Lintah Darat dan Oh! Iboe. Lirik Lintah Darat ditulis sendiri oleh S. Abdullah, sementara Oh! Iboe ditulis Abdurrahman Baswedan, pendiri sekaligus pemimpin PAI. Namun, ketika dinyanyikan S. Abdullah sebagai penutup pementasan drama itu di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 1939, lagu tersebut justru dapat menyentuh hati para penonton. "Penonton ikut meneteskan air mata ketika mendengarkan lagu tersebut," katanya.

Prihandoko

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus