Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengenang Hoesin Bafagih dan Tonil Fatimah

Hoesin Bafagih (1900-1958) adalah tokoh nasionalis Indonesia berdarah Arab. Bersama Abdurrahman Baswedan, ia aktif menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bertanah air Indonesia di kalangan masyarakat keturunan Hadrami melalui organisasi Persatoean Arab Indonesia (PAI)-kemudian menjadi Partai Arab Indonesia.

3 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mengenang Hoesin Bafagih dan Tonil Fatimah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hoesin Bafagih (1900-1958) adalah tokoh nasionalis Indonesia berdarah Arab. Bersama Abdurrahman Baswedan, ia aktif menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bertanah air Indonesia di kalangan masyarakat keturunan Hadrami melalui organisasi Persatoean Arab Indonesia (PAI)-kemudian menjadi Partai Arab Indonesia. Tulisan-tulisannya, terutama di majalah Aliran Baroe, dikenal sebagai otokritik yang tajam terhadap tradisi kolot warga Arab-Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain menggunakan surat kabar, Hoesin Bafagih menuangkan berbagai keresahannya melalui naskah drama. Satu yang paling fenomenal berjudul Fatimah. Naskah drama yang pertama kali dimainkan pada 1938 itu memunculkan kontroversi karena dianggap membuka "borok" masyarakat keturunan Arab di Indonesia. Setelah hampir 80 tahun "menghilang", naskah Fatimah diterbitkan ulang tahun ini. Naskah itu menjadi bahan diskusi menarik dalam Festival Hadhrami di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, akhir April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mochtar, si Goeroe mengatjoengkan rotannja, mengisjaratkan mareka (moerid2) melagoekan njanjian: "Hadramaut Jaa Biladi"

Moerid2: (Dengan berteriak-teriak menjanji, melagoekan ini nina bobok) "Hadramautoe Jaa Biladi...

Mansoer: Saudara Mochtar, Saia ingin bertanjak, bagaimana di dalam njanjian tadi dikatakan, "Hadramaut hai negrikoe," padahal ini moerid-moerid semoeanja terdiri dari peranakan Indonesia kelahiran ini negri? Adakah Hadramaut tanah aer mereka?

Mochtar: (Tersenjoem, katanya kemoedian sambil tertawa geli). Saia boekan tida ketahoei itoe, saudara! Tapi seperti saudara taoe, goena menahan sesoeap nasi saia, saia mesti perkosa kebeneran dengan ini matjam pengaboean jang semata-mata di maksoed oentoek melipoer-lipoerkan hatinja bestuurs dari ini sekolah, maoepoen wali-wali moeridnja!

Petilan naskah drama di atas bercerita tentang Mochtar, guru keturunan Arab di Jawa Timur pada 1930-an yang mengajar di sebuah sekolah Arab. Hatinya bimbang karena ia diharuskan oleh sekolah untuk senantiasa menekankan kepada murid-murid bahwa asal-usul atau tanah air mereka adalah Hadramaut-wilayah di selatan Yaman. Padahal hampir semua murid kelahiran Indonesia. Mochtar mengkritik kurikulum sekolah tempatnya mengajar, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.

Naskah yang mempersoalkan dilema kebangsaan di kalangan Arab pada 1930-an itu ditulis oleh tokoh Persatoean Arab Indonesia (PAI)-belakangan menjadi Partai Arab Indonesia-bernama Hoesin Bafagih (1900-1958). Naskah ini berjudul Fatimah. Fatimah dalam naskah adalah seorang perempuan yang oleh ayahnya, pedagang kaya yang sakit-sakitan bernama Nasir, hendak dijodohkan dengan Mochtar. Nama sang pengarang, Hoesin Bafagih, hampir-hampir tidak pernah disebutkan orang pada masa kini. Orang lebih mengenal Abdurrahman Baswedan sebagai pemimpin PAI. Adapun Baswedan sesungguhnya sangat mengagumi artikel-artikel yang ditulis Bafagih dan menyebutnya sebagai kritikus sosial yang tajam dalam menelanjangi masalah komunitas Arab di Indonesia.

Demikian juga dalam drama Fatimah ini. Sejarah teater Indonesia bisa disebut melupakan naskah ini. Tak banyak yang mengetahui keberadaannya. "Pada tahun 30-an kita mengenal pertunjukan komersial populer, seperti pentas bangsawan, Opera Melayu, Miss Riboet, Komedi Stamboel, Dardanella, tapi kita lupa pernah ada juga pertunjukan Hosein Bafagih, Fatimah, yang tak semata-mata hiburan, tapi juga ada misi pendidikan," kata Cobbina Gillit, peneliti sejarah teater Indonesia dari New York, Amerika Serikat.

Padahal pada 1930-an, pertunjukan drama, atau yang pada masa itu masih disebut sebagai tonil, Fatimah menggemparkan kalangan Arab. Isi naskah ini sebagian besar berupa sindiran atau self-criticism atas berbagai hal negatif dalam kehidupan masyarakat keturunan Arab di Indonesia. Meski tonil itu berjudul Fatimah, sebetulnya porsi Fatimah tak begitu banyak. Sosok Fatimah hanya muncul di akhir cerita. Itu pun sudah dalam kondisi menjadi jenazah atau meninggal.

Naskah ini, antara lain, menyindir orang-orang Arab yang menjadi lintah darat, yang dalam pekerjaannya selalu memungut riba padahal sehari-hari melantunkan ayat Al-Quran. Juga bagaimana orang-orang saleh itu selalu menyita barang-barang bila utang kepada mereka tak bisa dilunasi. Hoesin Bafagih juga mengamati perbedaan mental antara kalangan Arab totok, atau yang disebut sebagai wulaiti, dan peranakan Arab yang lahir di Indonesia atau muwallad. Selain itu, dia mengkritik kebiasaan orang Arab yang "suka kawin", sehingga membuat banyak keturunan mereka telantar. "Ia seperti menelanjangi komunitas keturunan Arab," kata Hasan Bahanan, pemerhati sejarah Arab di Indonesia.

Dalam cerita, Nasir memiliki tiga anak. Selain Fatimah, ada Joesoef serta seorang anak yang tak diketahui rimbanya. Anak itu adalah hasil pernikahan Nasir dengan seorang perempuan ketika ia berdagang di Bugis. Belakangan diketahui bahwa anak itu sebenarnya Mochtar. Pada titik inilah Hoesin Bafagih menyindir kalangan pedagang Arab yang suka menikah-asalkan istri tidak lebih dari empat-tatkala berdagang di sejumlah kota tapi kemudian meninggalkan istri barunya. Joesoef, kakak Fatimah, digambarkan suka berfoya-foya. Dalam hal ini, Bafagih menyindir anak-anak orang kaya Arab yang tak jelas juntrungannya. Ia berupaya membongkar pola pikir masyarakat keturunan Arab kala itu yang dianggap tidak mendukung nasionalisme Indonesia. "Ini tindakan yang sangat berani," kata Hasan Bahanan.

Naskah Fatimah bisa disebut kemudian "menghilang" puluhan tahun. Tak pernah terdengar orang membicarakan atau menyebutkan ihwal naskah ini. Di kalangan pekerja teater pun tak ada yang meriset naskah tersebut. Tapi, tahun ini, Yayasan Lontar menerbitkan ulang naskah ini dalam bentuk buku berjudul Fatimah: A Play by Hoesin Bafagih. Buku itu berisi naskah Fatimah dalam dua bahasa, yakni Melayu, sesuai dengan karya asli Hosein Bafagih; dan Inggris, terjemahan Mary Zurbuchen, doktor linguistik lulusan University of Michigan, Amerika Serikat.

Pada Rabu keempat April lalu, naskah drama delapan babak itu dibacakan selama sekitar 1,5 jam oleh awak Teater Koma, antara lain Ratna Riantiarno, Rangga Riantiarno, dan Budi Ros, di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Acara tersebut adalah bagian dari Festival Hadhrami, yang berlangsung selama dua hari di sana.

Naskah Fatimah pertama kali dipentaskan dalam Kongres III Persatoean Arab Indonesia di Semarang pada 16-17 April 1938. Hoesin Bafagih menjadi sutradara, sementara para tokoh PAI, antara lain Moehammad Maskatie, Moehammad Bahasoan, Noeh Alkaf, dan Alwi Shahab, menjadi pemain. Menurut Huub de Jonge, antropolog bekas pengajar antropologi ekonomi di Radboud University Nijmegen, Belanda, yang juga peneliti kaum Hadrami di Indonesia, pertunjukan itu sangat sukses. Bahkan banyak delegasi PAI dari daerah menginginkan Fatimah dipentaskan di daerah mereka.

Namun, tatkala PAI Surabaya pada 14 Agustus 1938 bermaksud mementaskannya di Surabaya, upaya itu gagal karena muncul protes dari beberapa tokoh Arab di Surabaya, terutama kalangan wulaiti-orang Arab yang lahir di Hadramaut. Tokoh-tokoh itu, menurut Huub de Jonge, meminta Politieke Inlichtingen Dienst-polisi di Hindia Belanda-melarang pementasan Fatimah. Mereka menganggap Fatimah memojokkan golongan Arab totok. Di antara pemrotes itu terdapat perwakilan dari organisasi-organisasi Islam, seperti Al-Irsyad dan Al-Khayriya.

Protes tersebut rupanya memancing perbincangan yang ramai di media massa. Sejumlah pihak yang pro dan yang kontra terhadap drama Fatimah beradu argumen. Di sisi lain, perdebatan tersebut justru membuat banyak orang penasaran akan naskah drama bikinan Hoesin Bafagih itu. Pada pertengahan 1939, PAI Cirebon bermaksud mementaskan Fatimah. Namun terjadi penolakan sengit menyusul berita di Surabaya itu. Tanda-tanda akan terjadi keributan bila pertunjukan berlangsung pun muncul. Akibatnya, sekali lagi pertunjukan Fatimah batal digelar.

Pada awal Oktober 1939, setelah lebih dari setahun pelarangan di Surabaya, Fatimah akhirnya bisa dipentaskan di Prinsen Park, Batavia. Pertunjukan digelar di bawah penjagaan ketat polisi. Para penontonnya antara lain wakil golongan Arab di Volksraad, juga tokoh nasional Husni Thamrin, tokoh organisasi Arab, dan jurnalis. Pementasan itu sangat sukses.

"Pertunjukan di Batavia itu mendapat sambutan hangat dari koran-koran, seperti Keng Po, Pewarta Oemoem, Tjahaja Timoer, Pemandangan," kata Huub de Jonge. Digunakannya bahasa Melayu secara lancar menunjukkan bahwa pementasan drama itu betul-betul Indonesia. Jurnalis Parada Harahap memuji kualitas pertunjukan, di antaranya mengenai cara bermain aktor, plot, dan mise-en-scene yang menurut dia tak kalah dibanding pertunjukan drama profesional. Semuanya memberi ulasan yang positif. Karena itu, Fatimah kemudian dipentaskan di sejumlah kota lain, seperti Solo dan Pekalongan. Penonton di kedua kota itu juga membeludak. Belakangan, drama Fatimah bisa dimainkan di Surabaya pada 3 Februari 1940. Menurut Huub de Jonge, dalam tulisan pengantarnya di buku Fatimah yang diterbitkan Lontar, sejak itu nama "Fatimah" di kalangan Arab peranakan menjadi luar biasa terkenal, bahkan sampai merambah ke dunia bisnis. Nama itu pun menjadi merek produk, antara lain sabun, minyak rambut atau pomade, dan parfum.

l l l

HOESIN Bafagih lahir di Surabaya pada 1900. Ia adalah anak ketiga dari enam bersaudara hasil pernikahan Syech Bafagih dan Aminah, pasangan suami-istri keturunan Arab yang lahir dan besar di Hindia Belanda. Semasa hidup, Hoesin tak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Orang tuanya hanya memasukkannya ke Sekolah Al-Khairiyah di Surabaya dan mengikutsertakannya dalam sejumlah pengajian. Kendati begitu, Hoesin dikenal gemar membaca. Dari situlah ia secara otodidaktik mempelajari berbagai hal. "Ditanya apa saja, dia selalu punya jawaban, terutama menyangkut agama," ucap anak Hoesin, Syakib Bafagih, 70 tahun, kepada Tempo.

Hoesin tercatat tiga kali menikah. Dari istri pertama, yang tidak diketahui namanya, ia memperoleh empat anak. Setelah istri pertamanya meninggal, Hoesin menikah lagi dan mendapat seorang anak. Istri keduanya, yang juga tidak diketahui namanya, itu belakangan juga meninggal. Hoesin kemudian menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Bahdja Bafagih. Dari pernikahannya dengan Bahdja, ia memperoleh lima anak, termasuk Syakib Bafagih.

Sejak kecil hingga berumah tangga, Hoesin tinggal di rumah orang tuanya di Jalan Kalimas Udik Gang II, Surabaya. Letaknya tak jauh dari Jalan KH Mas Mansyur, Surabaya, yang membelah kampung Arab di sekitar makam Sunan Ampel. Di sana, Hoesin dikenal sebagai sosok berperangai halus. Tapi banyak warga yang kurang menyukainya karena ia dianggap terlalu liberal, salah satunya soal penampilan. Ketika pria warga setempat mengenakan sarung, baju koko, dan kopiah dalam keseharian, Hoesin justru memakai celana panjang dan kemeja. "Ia dianggap kebarat-baratan, sehingga tak sedikit yang mengkafirkannya," ujar Salim Auda, warga Kalimas Udik.

Hoesin mulai menulis pada usia 20-an tahun, bermula ketika ia terlibat dalam pendirian Bibliotheeq At-Tahdibiyah di Surabaya pada 1 Agustus 1924. Dalam buku Kumpulan Tulisan dan Pemikiran Hoesin Bafagieh: Tokoh PAI dan Nasionalis Keturunan Arab yang disusun Nabiel Karim Hayaze disebutkan bahwa Bibliotheeq At-Tahdibiyah adalah organisasi pemuda pertama yang didirikan kelompok muwallad atau keturunan Arab yang lahir di Hindia Belanda dan beribukan orang Indonesia. Salah satu tujuan organisasi itu adalah mempersatukan kelompok muwallad dari dua golongan, yakni Al-Irsyad atau Syaikh/Masyaikh dan Ar-Rabithah atau Alawiyyin. Semangat persatuan itu muncul karena kaum tua di kedua golongan tersebut dianggap selalu menghalangi mereka untuk maju dan mengikuti perubahan zaman.

Di organisasi itu, Hoesin-bersama Salim Ali Maskati-mendirikan dan memimpin Zaman Baroe, majalah pertama dalam bahasa Melayu yang dikhususkan bagi komunitas Arab. Anggota redaksinya antara lain Muhammad Bahwal, Salim Bahwal, dan Zein Bawazier. Zaman Baroe terbit dua kali dalam sebulan sejak Oktober 1926 hingga Maret 1928. Di situ, Hoesin banyak menulis tentang kehidupan keturunan Arab di Hindia Belanda. "Ia bercerita tentang posisi kelompok itu, dunia mereka, dan hubungannya dengan Hadramaut," ucap Huub de Jonge.

Ketika Bibliotheeq At-Tahdibiyah melemah, Hoesin mendirikan majalah baru bernama Al-Mahdjar pada 1928. Anggota redaksinya antara lain Hoesin bin Agil, S. Bahreisy, A. Bamazroe', H. Koetban, dan A. bin Jahja. Al-Mahdjar terbit pada Juni 1928 hingga Agustus 1929. Dari situ, Hoesin terlibat aktif dalam Persatoean Arab Indonesia yang resmi terbentuk pada 5 Oktober 1934. Dalam organisasi yang dipimpin Abdurrahman Baswedan itu, Hoesin ikut menularkan kesadaran berbangsa Indonesia di kalangan keturunan Arab-bahwa mereka juga pribumi, bukan golongan Timur Asing seperti yang dikatakan pemerintah kolonial Belanda.

Hoesin menyebarkan nasionalisme Indonesia melalui tulisan di media massa yang pro-PAI, terutama Aliran Baroe. Majalah bulanan itu terbit sejak Agustus 1938 hingga November 1941. Selain menulis untuk majalah itu, Hoesin menjadi pemimpin redaksi. Ia mengelola Aliran Baroe bersama Salim Ali Maskati, yang belakangan mundur dari redaksi dan hanya mengurusi administrasi. Aliran Baroe secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai hasil kerja Hoesin. Ia membiayai sendiri penerbitannya dan menulis hampir semua isi di dalamnya, kendati beberapa tulisan adalah sumbangan Salim Ali Maskati, Abdurrahman Baswedan, dan beberapa tokoh PAI lainnya. Artikel-artikel yang ditulis Hoesin dalam Aliran Baroe sangat modernis untuk zaman itu, dan sering mengejutkan kalangan Arab karena kelugasan serta kekritisannya.

Melalui Aliran Baroe, Hoesin kerap melaporkan berbagai hasil pertemuan PAI di sejumlah kota. Ia membantu para pembaca, terutama kalangan keturunan Arab, mengikuti perkembangan organisasi itu, juga menularkan semangat kebangsaan Indonesia yang diusung PAI. Tulisan-tulisannya bahkan tersebar hingga ke pelosok negeri. Dalam Aliran Baroe nomor 13 pada Agustus 1939, Abdurrahman Baswedan mengakui peran penting Hoesin dalam PAI. "Maka, jika kita menyebut Aliran Baroe telah berjasa (dalam perjuangan PAI), artinya ialah bahwa Saudara Bafagih yang berjasa," kata Baswedan.

Tak cuma menyebarkan nasionalisme Indonesia, Hoesin juga mengutarakan kritik sosial terhadap kehidupan keturunan Arab di Hindia Belanda. Hoesin, misalnya, menyoroti emansipasi wanita yang kala itu masih dianggap tabu. Ia menganggap wanita perlu dilibatkan dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itulah Hoesin mengkritik tradisi warga keturunan Arab yang justru merugikan kaum perempuan. "Dia tidak bisa melihat perempuan seharian ada di rumah. Dia ingin membebaskan mereka dari kebiasaan itu," ujar Huub de Jonge.

Salah satu tulisan Hoesin tentang emansipasi wanita diberi judul bombastis dan memicu perdebatan: "Masyarakat Arab Kebanjiran Perawan". Tulisan yang dimuat di Aliran Baroe edisi perdana Agustus 1938 itu bercerita tentang banyaknya gadis keturunan Arab yang menjadi perawan tua karena tak ada laki-laki yang berani menikahinya. Hal itu terjadi lantaran biaya pernikahan yang mahal sesuai dengan adat dan kebiasaan kalangan keturunan Arab. "Tulisannya sangat tajam," ucap Huub.

Selain itu, Hoesin pernah membuat tulisan kontroversial yang berupaya menengahi persoalan tentang kewajiban memakai kudung atau kerudung (jilbab) bagi perempuan muslim. Sebuah isu yang sampai sekarang pun masih sensitif, tapi tetap relevan dibicarakan. Pendapat Hoesin tentang kudung cukup radikal. Dalam tulisan berjudul "Masalah Kudung" yang dimuat Aliran Baroe nomor 19 pada Februari 1940, Hoesin membantah hukum wajib mengenakan kudung bagi perempuan muslim. Menurut dia, ihwal pemakaian kudung adalah sunah. Karena itu, bukan masalah jika kudung tak dikenakan, kendati sebaik-baiknya muslimah adalah yang berkudung. Kesimpulan itu ia kemukakan dengan menunjukkan berbagai dalil dan pendapat para ulama. Tulisan tentang kudung berlanjut hingga 12 seri dan menjadi perdebatan.

Belakangan Sukarno, yang merupakan pembaca setia Aliran Baroe, mengomentari tulisan Hoesin tentang kudung. Pada 31 Oktober 1941, dalam pengasingannya di Bengkulu, Sukarno menulis surat kepada Hoesin yang kemudian dimuat Aliran Baroe nomor 40 pada 1941. "Memang benar dugaan Saudara, bahwa saya punya kepala ini penuh dengan kritik atas masyarakat Islam dan paham-paham umat Islam sekarang ini. Saudara punya pendirian tentang kudung, saya akui 100 persen. Saya kagum akan kecakapan dan kegagah-beranian Saudara mengupas soal itu. Sungguh, saya membuka topi," kata Sukarno.

l l l

Huub de Jonge mengungkapkan, berbagai kritik Hoesin itu sebenarnya menunjukkan kepeduliannya terhadap komunitas Arab di Hindia Belanda. Dalam setiap tulisannya, menurut Huub, Hoesin selalu berupaya menyadarkan masyarakat keturunan Arab bahwa cara hidup di Hadramaut-kampung halaman komunitas itu-tak bisa diterapkan di Hindia Belanda. Karena itu, mereka harus punya cara hidup baru. "Dia bisa dibilang sebagai tokoh modernisasi komunitas Arab," ujar Huub. "Dia ingin mengubah kebiasaan dan adat di komunitas itu." Dengan pemikiran yang radikal itu, Huub melanjutkan, wajar jika banyak keturunan Arab yang tidak menyukai tulisan-tulisan Hoesin.

Sepak terjang Hoesin tak kelihatan lagi setelah PAI dibubarkan ketika pemerintah kolonial Jepang masuk ke Hindia Belanda pada 1942. Sejak itu, ia seperti mundur dari dunia pergerakan. Setelah Indonesia merdeka, menurut Huub de Jonge, Hoesin sempat menjadi anggota Badan Sensor Film. Ia juga pernah menjadi anggota sebuah organisasi yang berupaya menyetarakan kedudukan keturunan Arab pasca-kemerdekaan. Organisasi itu menginginkan masyarakat keturunan Arab juga disebut sebagai pribumi. "Mereka ingin mendapatkan status resmi sebagai orang Indonesia," kata Huub.

Setelah itu, Hoesin lebih banyak berbisnis. Ia memiliki sebuah pabrik bernama Margahayu di Mojokerto, Jawa Timur, yang memproduksi tenun dan kain sarung. Setiap bulan, Hoesin mengantarkan barang dagangannya dari Surabaya ke Jakarta menggunakan kereta api. Barang-barang itu kemudian dititipkan di gudang yang terletak di samping kediaman istri ketiganya, Bahdja Bafagih, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Gudang itu disewa untuk stok barang," ujar anak Hoesin, Syakib Bafagih. Dari situ, barang dagangan tersebut didistribusikan ke daerah Kota dan Glodok.

Selain berbisnis, tujuan kedatangan Hoesin ke Jakarta adalah menengok Bahdja dan lima anaknya, yang menetap di Ibu Kota. Syakib Bafagih, anak pertama dari pernikahan Hoesin-Bahdja, mengatakan Hoesin biasanya sepekan di Jakarta sebelum kembali ke Surabaya untuk mengurus bisnis di sana. Jika sedang di Jakarta, Hoesin kerap mengajak istri dan anak-anaknya makan sate kambing di kawasan Jalan Blora, Jakarta Pusat. "Anak-anaknya juga dipersilakan memborong komik di sana," ucap Syakib.

Bagi Syakib, kebiasaan makan sate dan membeli komik itu berakhir tanpa penjelasan ketika pada 1958 ayahnya tak pernah lagi datang ke Jakarta. Belakangan Syakib, yang ketika itu berumur 10 tahun, tahu bahwa ayahnya sudah meninggal. Hoesin wafat pada usia 58 tahun akibat kanker tenggorokan yang dideritanya. "Proses sakitnya cepat sekali," kata Syakib. "Sebelumnya dia masih sering datang ke Jakarta, tapi kemudian menghilang begitu saja."

Prihandoko, Seno Joko Suyono (Jakarta), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus