Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

TAK BISAKAH KITA HIDUP BERSAMA? Padam Sesaat, Membara Selamanya

Kerusuhan antar-etnis di Sampit dan Palangkaraya mulai reda. Pemerintah mengevakuasi etnis Madura. Efektifkah meredam konflik?

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HATI Megawati Sukarnoputri terketuk juga. Wakil Presiden Republik Indonesia itu akhirnya mengunjungi Sampit, ibu kota Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, Kamis pekan lalu, 12 hari setelah kerusuhan antar-etnis memorak-porandakan kota itu. Sesudah ratusan rakyat?pria, wanita, dan anak-anak?tidak berdosa tewas terpenggal kepalanya. Selepas ribuan warga pendatang meninggalkan tanah yang sudah mereka tempati turun-temurun. Di Sampit, Megawati berdialog dengan beberapa pengungsi. "Mbak Mega, tolong kami," pinta seorang ibu muda yang baru saja melahirkan di kamp pengungsian itu. Teriakan yang sama dilontarkan oleh pengungsi yang tidak sempat berjabat tangan dengan Mbak Mega?begitu para pengungsi menyebut orang nomor dua republik ini. Satu jam, kurang-lebih, Megawati berdialog dengan pengungsi yang berjubel di halaman Kantor DPRD dan Kabupaten Kotawaringin Timur itu. Setelah itu, sang Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, bersama Ketua DPR Akbar Tandjung, yang juga ikut rombongan, menyempatkan diri bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat dan anggota DPRD Kal-Teng. Setelah itu, Megawati bertolak ke Jakarta. "Saya mengimbau sesama warga bangsa bisa hidup di seluruh negeri tercinta ini," katanya kepada pers sesampai di Jakarta. Sedangkan Presiden Abdurrahman Wahid, sejak 22 Februari lalu, saat kerusuhan mencapai puncaknya, justru melawat ke luar negeri. Bahkan, rencananya, kunjungan itu akan dilanjutkan dengan menunaikan ibadah haji di Mekah. Kalau tidak ada aral melintang, pada 7 Maret nanti, Abdurrahman Wahid kembali ke Tanah Air. Dia memang pernah mengatakan tragedi Sampit terlalu dibesar-besarkan. Sementara itu, jajaran birokrasi di bawah Presiden juga tidak sepenuhnya mampu mengatasi persoalan. Mereka, para menteri, justru terlihat lebih sibuk mengeluarkan pernyataan. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Surjadi Soedirdja, mengeluarkan janji bahwa pemerintah akan secepatnya menyelesaikan masalah. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan, mengatakan sejak 18 Februari lalu pihaknya sudah bekerja sama dengan Kepala Kepolisian RI, Panglima TNI, dan Menteri Kehakiman untuk mengatasi kerusuhan tersebut. Bahkan, instruksi untuk melakukan dialog dengan tokoh masyarakat setempat juga sudah dikeluarkan. "Semua sudah melakukan tugas semaksimal mungkin sesuai dengan kapasitasnya. Saya siap bertanggung jawab jika dianggap tidak mampu," katanya kepada pers menanggapi pernyataan Ketua MPR Amien Rais bahwa dirinya, kalau tidak becus, sebaiknya mundur saja. Benarkah pemerintah sudah maksimal mengatasi konflik antar-etnis itu? Setidaknya menurut pengamat sosial asal Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo, yang terjadi sebaliknya. "Bukan hanya lambat, saya takut, pemerintah tidak peduli," katanya. Komentar senada dilontarkan A.M. Fatwa. Menurut Wakil Ketua DPR dari Partai Amanat Nasional itu, pemerintah terlalu menganggap enteng tragedi Sampit. "Saya memprotes kalau peristiwa Sampit dikatakan terlalu dibesar-besarkan," katanya. Munir, penasihat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), melihat hal yang sama. Menurut dia, pemerintah kurang serius menangani konflik antara Madura dan Dayak. "Awal Januari lalu, Yayasan Al Miftah sudah memberikan bahan adanya ancaman-ancaman kekerasan etnis Dayak kepada Madura kepada Presiden dan Kapolri," katanya. Indikasi yang mengarah ke adanya tindak kekerasan itu, menurut Munir, berdasarkan pengamatan lapangan Al Miftah sejak akhir Desember 2000 lalu dan hal itu sudah dilaporkan ke Kontras. Al Miftah adalah sebuah yayasan sosial yang berkantor pusat di Sumenep dan mempunyai cabang di Sampit. Sayangnya, peringatan tersebut tidak ditanggapi pemerintah. Di sisi lain, meluasnya kerusuhan Sampit juga tak terlepas dari tidak tanggapnya aparat keamanan, dalam hal ini polisi. Bantuan pasukan tambahan dari Jakarta dan Banjarmasin?3 satuan setingkat kompi Brimob (360 personel) dan 2 kompi TNI?baru didatangkan tiga hari setelah kerusuhan meletus. "Saya mendengar, ketika kerusuhan belum reda benar, dua batalyon Brimob ditarik kembali ke Jakarta," kata Munir. Celakanya, alih-alih mengamankan kerusuhan, pasukan Brimob dan TNI justru terlibat baku tembak saat mengevakuasi pengungsi, Selasa pekan lalu. Pemberlakuan keadaan darurat sipil yang pernah diusulkan beberapa tokoh masyarakat, di antaranya Amien Rais, tidak segera ditanggapi pemerintah. Bahkan, saat kerusuhan sudah memasuki hari kesepuluh, Susilo Bambang Yudhoyono, selaku Menko Politik, Sosial, dan Keamanan, masih belum memutuskan perlu-tidaknya kondisi tersebut diberlakukan. "Besok (1 Maret 2001) baru akan diputuskan apakah darurat sipil harus diberlakukan di Sampit dan Palangkaraya," katanya, Rabu pekan lalu. Pemerintah sendiri akhirnya memutuskan tidak memberlakukan darurat sipil setelah mendengar anggota DPRD Kal-Teng juga menganggap tidak perlu ada kondisi tersebut. Melihat situasi Sampit dan Palangkaraya akhir pekan silam, pemberlakuan darurat sipil memang tidak perlu dilaksanakan. Meski belum normal benar kondisinya, kegiatan masyarakat di kedua kota itu mulai tampak ramai kembali. Sebagian toko sudah buka kembali. Kendati demikian, itu bukan berarti persoalan telah selesai. Tragedi yang menelan korban 469 jiwa itu?456 di antaranya etnis Madura?tidak hanya menyisakan puing 773 rumah yang dibakar massa, tapi juga masalah lain: pengungsi. Tidak kurang dari 23 ribu warga Madura kini terpaksa hidup berimpitan di halaman ataupun di dalam Gedung DPRD dan Kantor Kabupaten Kotawaringin Timur. Tempat yang luasnya sekitar setengah hektare itu benar-benar mirip kamp penampungan korban perang saja. Semua kebutuhan dan aktivitas untuk hidup serba terbatas. Tempat penampungan ala kadarnya itu membuat para penghuninya mengalami stres. Bahkan, seorang pria penghuninya gantung diri di salah satu ruangan gedung milik Pemda Kotawaringin itu. Tidak jelas apa penyebabnya. Sampai Kamis pekan lalu, di kamp pengungsian itu saja tercatat sudah tujuh orang meninggal dunia?dua di antaranya masih bayi. Persoalan lain yang belum terselesaikan adalah masih adanya warga Madura yang melarikan diri ke hutan-hutan. Menurut Farid Yusran, Kepala Dinas Kehutanan Kotawaringin Timur, sekitar 10 ribu warga Madura berada di dalam rimba. Operasi pencarian terhadap mereka tidaklah mudah mengingat luas area hutan di wilayah itu saja sekitar 5 juta hektare. Yang tidak kalah peliknya adalah menampung pengungsi yang keluar dari Kal-Teng. Awal Maret lalu, 38 ribu lebih warga Madura bisa dilarikan ke Surabaya. Sedangkan ribuan lainnya diungsikan ke berbagai kota lain seperti Semarang, Makassar, dan tanah leluhur mereka, Madura. Keadaan itu tentu saja akan membebani daerah tempat mereka diungsikan. Evakuasi warga Madura secara besar-besaran dari Kal-Teng ditentang berbagai pihak. "Tindakan itu bisa seperti memberikan lampu hijau bagi pembalasan etnis Madura kepada Dayak di luar Kalimantan," kata Munir. Ungkapan senada dilontarkan Imam Prasodjo. "Itu sama saja dengan memberikan kesempatan bagi orang Madura gantian memburu Dayak di Jawa," ujarnya. Kekhawatiran dua pengamat sosial dan politik itu tidaklah berlebihan. Jumat pekan lalu, 15 ulama yang tergabung dalam Badan Silaturahim Ulama Pesantren Madura mendatangi MPR. Dalam kesempatan bertatap muka dengan wakil rakyat, mereka menuntut agar pengusiran warga Madura di Kalimantan dihentikan. Selain itu, para ulama itu menuntut agar pemerintah bertindak tegas terhadap para pembantai. "Jika pemerintah tidak juga tanggap, kami siap memobilisasi massa," kata Mohammad Rofi'i, salah satu ulama. Bagi pemerintah, langkah mengevakuasi warga Madura dari wilayah konflik di Kalimantan Tengah adalah langkah pertama yang harus dilakukan. "Fokus pemerintah adalah bagaimana menyelamatkan masyarakat agar tidak semakin banyak jatuh korban," kata Surjadi Soedirdja. Tokoh Dayak yang juga anggota DPR dari PDI Perjuangan, Teras Narang, setuju jika waga Madura diungsikan dari wilayah konflik. "Tapi pemindahan itu untuk sementara. Jika situasi memungkinkan, mereka bisa kembali ke Kalimantan," kata wakil rakyat asal Kalimantan Tengah itu. Johan Budi S.P., Endah W.S., Edy Budiyarso, Tomi Lebang (Palangkaraya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus