SAMPIT bukanlah Kurusetra, tempat keluarga Pandawa dan Kurawa menuntaskan segala permusuhan mereka. Yang bisa ditemukan di situ hanya sebuah ladang pembantaian, tempat dendam dicoba ditamatkan tanpa perlawanan.
Masa lalu bereinkarnasi di Sampit. Tak ada lagi Bima dan Dursasana memang, tapi prosesi pembelahan dada dan minum darah manusia terjadi di sana. Budaya Nayao, memenggal kepala musuh, pun kembali hidup. Kali ini bukan antara Pandawa dan Kurawa, melainkan antara suku Dayak dan Madura. Setelah itu, sedikitnya darah 469 orang pun membasahi tanah Sampit?456 di antaranya dari Madura. Tak sedikit dari mereka berada di usia kanak-kanak.
Darah yang tertumpah memang tak lagi dapat dikumpulkan. Tapi bagaimana agar mimpi buruk kemanusiaan ini tak lagi terjadi?
Mayjen (Purn.) Syamsudin
(Mantan Ketua Komnas HAM; bertugas di Kalimantan saat kerusuhan etnis Cina-Dayak pada 1967)
Menurut saya, masalahnya semata pada persoalan ekonomi dan budaya. Masyarakat penduduk asli mengalami keterpinggiran secara ekonomi dan sosial dibandingkan dengan para pendatang. Tapi, di sisi lain, orang Madura pun dinilai tidak menghormati adat-istiadat yang telah lama tertanam. Memang, suku Madura ini kurang mampu bersosialisasi dengan budaya setempat. Mereka tetap mempertahankan adat yang cenderung keras. Ini berlawanan dengan adat orang Dayak, yang relatif halus. Terus terang, saya tidak melihat ada sentimen agama dalam hal ini.
Kalau ada yang mengatakan bahwa ada kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap dua suku ini, saya tidak setuju. Tak ada. Baik pemerintahan dulu maupun saat ini. Hanya, masalahnya, memang penduduk asli kurang mampu mengambil peluang yang ada.
Saya tak tahu apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Saya menyayangkan pemerintah dan aparat yang tidak tanggap, tidak antisipatif. Saat saya di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kita pernah mencoba menyelesaikan konflik serupa di Kalimantan Barat. Dan selalu saja timbul kembali. Bagi saya, ini masalah yang laten.
Prof. Ichlasul Amal
(Rektor UGM, tokoh masyarakat Madura)
Pemindahan orang Madura kembali ke Jawa, buat saya, tidak bisa dijadikan langkah penyelesaian. Orang-orang Madura ini mau dipindahkan ke mana? Tidak mungkin semuanya dipindahkan ke Madura. Kalau mereka itu dibawa kembali ke Madura pun, ini tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam prinsip negara kebangsaan, itu sangat menyalahi aturan.
Persaingan ekonomi, saya kira, yang seharusnya segera diatasi. Mungkin ekonomi lokal harus ditingkatkan. Harus ada sejumlah proyek yang diarahkan ke sana untuk mengangkat ekonomi masyarakat lokal. Ada semacam proyek ekonomi yang khusus untuk daerah itu, supaya kelompok etnis lokal tidak merasa tersisihkan. Kalau mereka bisa terangkat secara ekonomi, otomatis mereka akan bisa bekerja sama. Di bidang perdagangan, orang Dayaknya juga harus diberdayakan.
Sewaktu Presiden Sukarno membentuk Kal-Teng, wilayah itu buat masyarakat Dayak. Karena itu, jabatan gubernur pertama Kal-Teng diberikan kepada orang Dayak. Pada periode berikutnya, ternyata hal seperti itu tidak diperhatikan lagi. Pada periode Orde Baru, banyak orang Jawa yang menduduki jabatan di sana. Nah, rasanya sebaiknya jabatan-jabatan pemerintahan di daerah itu dikembalikan kepada mereka.
Soal akulturasi budaya juga tak gampang. Yang merasa berkebudayaan lebih tinggi itu kan orang Maduranya. Mereka tidak akan mau mengadopsi budaya Dayak. Orang Madura dengan orang Banjarmasin tidak ada persoalan karena orang Banjar juga merasa lebih tinggi.
Prof. H. K.M.A. Usop
(Mantan Rektor Universitas Palangkaraya, tokoh masyarakat Dayak)
Saya tak melihat ada persoalan agama di sini. Di Ketapang dan Bahamang itu, sebagian besar Dayaknya muslim. Kalaupun ada masjid yang dibakar, ini pun masih katanya. Itu tak bisa jadi indikasi. Karena itu, imbauan yang bernada keagamaan tidak mempan.
Saat ini, saya mendukung dilakukannya evakuasi untuk semua orang Madura. Mungkin ini bisa dipandang sebagai pengusiran, tapi terserah sajalah. Pokoknya evakuasi. Ini untuk mengamankan orang yang tak berdosa. Masyarakat Dayak menghendaki orang Madura ini dievakuasi semuanya.
Saat ini, orang Dayak tidak siap menerima. Kalau ada tokoh Dayak yang berbicara lain dengan itu, mungkin ia juga akan disikat. Kita menghadapi orang lapangan yang sudah marah. Saya tak melihat kemungkinan etnis Madura masuk lagi dalam masa kemarahan ini. Masa ini mungkin sekitar setahun.
R. Hartono
(Mantan KSAD, tokoh masyarakat Madura)
Yang pertama harus dilakukan adalah penegakan hukum atas kasus ini. Penegakan hukum bisa dimulai dengan mencari siapa saja yang melakukan kerusuhan dan pembunuhan, sekaligus mencari siapa yang ada di belakang semua ini. Harus ada tindakan tegas dari aparat pemerintah.
Lalu, secara simultan juga dicari siapa saja yang menjarah harta benda yang menjadi milik korban. Siapa pun penjarahnya juga harus ditindak tegas. Harus ada tindakan tegas demi menjunjung hukum dan mencegah hal serupa terulang kembali.
Kemudian, kalaupun ada masyarakat yang ingin kembali ke tempat tinggal yang telah dihancurkan, ya, harus dipersilakan. Untuk itu, harus ada jaminan dari aparat keamanan, pemerintah daerah, dan masyarakat di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini