Cahaya matahari yang menyorot sebuah pagi di New York bukan hanya melahirkan harap, tetapi juga rasa takjub. Pagi hari, ketika angin musim gugur sudah mulai menyusup tubuh, cahaya matahari menjadi begitu mahal. Tetapi pagi yang baru kini memang menjadi suatu konsep yang baru. Andrew Sullivan, kontributor New York Times Magazine, mungkin mewakili jutaan New Yorker atau bahkan seluruh warga AS, saat ia mencoba memulai sebuah Senin dengan "normal". Tetapi apakah arti hari-hari "normal" bagi warga Amerika?
"What are days for?’’ demikian penyair Philip Larkin bertanya. Sebelum tragedi Selasa Hitam 11 September, warga Amerika mengenal hari-hari normal sebagai ritual bangun pagi, menghirup kopi, bergegas ke kantor dengan subway atau berjalan kaki, karena menggunakan mobil adalah sebuah kesia-siaan di New York yang riuh-rendah. Hari-hari normal adalah hari yang rutin dan sudah terjadwal dan sudah terduga. Dan tampaknya mulai Senin kemarin, warga Manhattan di New York berusaha keras untuk meniti "hari-hari normal" yang pernah mereka kenal sebelumnya. Mungkinkah?
Sekitar 70 persen pekerja di Manhattan berupaya kembali bekerja dan menggeliat, menggerakkan New York yang lumpuh selama sepekan. Hampir semua jalur subway—kereta bawah tanah—di New York telah dihidupkan kembali kecuali beberapa jalur yang melalui titik runtuh World Trade Center, yang lazim disebut Ground Zero (GZ). Jalur bus kota mulai hiruk-pikuk dan jalan-jalan di Manhattan mulai terisi oleh kendaraan yang lalu-lalang. Trotoar-trotoar di kota yang terkenal sangat ramah terhadap pejalan kaki ini ramai oleh hilir-mudik orang.
DENYUT aktivitas bisnis di Financial Districk atau yang dikenal juga sebagai kawasan Wall Street Districk di Lower Manhattan mulai terasa. Hari Senin itu pula, New York Stock Exchange yang terletak di Broad Street dibuka untuk pertama kalinya. Dari luar gedung New York Stock Exchange (NYSE) yang terletak di Broad Street, patriotisme itu terpancar dengan gemuruh. Pilar-pilarnya dibalut bendera AS Star-Spangled Banner. Sebuah bendera berukuran besar dibentangkan di bagian depan atas gedung. Ikhtiar agar kembali hidup normal itu sungguh terasa. Senin pekan silam, pukul 9:15 pagi, beberapa menit sebelum bursa saham Wall Street dibuka kembali, suasana tampak tegang. Semua orang sedang menanti vonis kejatuhan bursa saham seperti sudah diperkirakan. Tapi, di balik ketegangan itu, rasa muram seperti tak bisa diusir dari langit-langit ruangan. Di ruang konferensi Gedung Fleet Boston, lantai 21, sekitar 20 jagoan keuangan membicarakan strategi jual beli saham yang bakal dipakai. Dengan kemeja rapi berdasi, mereka berusaha mendiskusikan beberapa indikator saham dalam bahasa keuangan yang kering. Tapi, di balik lalu lintas kata-kata "klinis" itu, mereka tak bisa melupakan keperihan jauh di dalam dada—rasa pilu karena kehilangan teman-teman sekerja untuk selamanya. "Kami berusaha membuat keputusan investasi yang tepat," kata Keith Banks, Kepala Eksekutif Fleet Assets Management kepada Dow Jones, ketika rapat usai. "Tapi kami tahu, kami tak akan mampu mengimbangi hiruk-pikuk pasar saham, hari ini. Kami tahu ini bukan permainan yang bisa kami menangkan."
Menyadari teror WTC akan memukul jatuh perekonomian Amerika, pelbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan Wall Street, bursa saham yang menjadi kiblat perekonomian seluruh jagat.
Beberapa saat sebelum pasar kembali dibuka, Senin pekan lalu, bank sentral AS, The Fed, memangkas suku bunga dolar untuk kedelapan kalinya dalam tahun ini. The Fed berharap, suku bunga rendah akan memperteguh geliat dunia usaha yang gemetar oleh teror. Selain itu, pemerintah AS menyediakan bujet ekstra miliran dolar untuk mereparasi prasarana produksi yang hancur. Ada pula dana ganti rugi US$ 15 miliar khusus untuk industri penerbangan yang babak belur bersama runtuhnya WTC.
Selain menerima rangsangan The Fed dan pemerintah AS, Wall Street juga kebanjiran dukungan sejumlah pentolan pasar modal yang menggelar kampanye patriotik. Untuk menenangkan kepanikan para pemodal, Warren Buffet, kampiun bursa saham yang gerak-geriknya menjadi panutan jutaan investor lain di dunia, berjanji untuk tidak menjual sahamnya. Janji setia Buffet bergema juga di Riyadh, Arab Saudi. Pangeran Alwaleed bin Talal, salah satu pemain terbesar Wall Street, menyatakan keyakinannya atas ketangguhan perekonomian Amerika.
Toh, semua itu tak mampu menahan keruntuhan bursa saham. Sampai Jumat lalu, sepekan setelah pasar dibuka, harga saham NYSE berguguran seperti air terjun. Indeks Dow Jones, yang mencerminkan pergerakan harga saham 30 industri besar AS, merosot hingga 1.360 poin atau 14 persen. Menurut harian The Wall Street Journal, penurunan ini rekor kejatuhan harga saham terbesar dalam 70 tahun terakhir. Saham-saham teknologi, yang sempat menjadi kesayangan para pemodal tiga tahun terakhir, juga ambruk mengikuti saham industri. Indeks Nasdaq, yang mencerminkan gerak-gerik harga saham teknologi ini, jatuh 16 persen sepekan terakhir.
Yang memilukan: statistik bursa saham itu memperlihatkan wajah teror aslinya dalam kehidupan sehari-hari. Tak sampai dua pekan setelah pengeboman WTC, belasan konglomerasi Amerika, mulai dari jasa penerbangan hingga pabrik pembuat pesawat terbang, mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) masal. Hingga Jumat pekan lalu, lebih dari 100 ribu pekerja industri penerbangan AS kehilangan mata pencaharian.
Teror pemecatan bukan hanya berkutat di tanah Amerika, tapi juga merembet hingga ke Eropa bahkan Korea Selatan. Bersamaan dengan rontoknya WTC, pabrik pesawat terbang Eropa, Airbus, perusahaan penerbangan British Airways, dan Korean Air, juga merumahkan ribuan pegawainya.
Meski NYSE tak memperlihatkan kehidupan ekonomi yang menyenangkan, toh salah seorang karyawan, Arthur Stern, menyatakan bahwa semangat untuk "back to business" itu memperlihatkan tanda-tanda positif. Keinginan hidup untuk "kembali pada kehidupan normal" itu begitu kuat, meski seluruh warga AS paham bahwa ada begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan untuk membangun. Membangun ekonomi, membangun rasa aman dan percaya diri, serta mengobati luka besar yang menganga.
Dengan poster-poster bergambar "missing people" di sepanjang tembok subway New York dan sepanjang tembok trotoar—yang lazimnya berisi poster pertunjukan Broadway—bagaimana mereka bisa meletakkan segalanya di belakang? Foto-foto korban WTC yang hilang itu juga menyelimuti kotak telepon umum, tiang lampu listrik, halte bus kota, dan dinding rumah sakit. Apalagi dengan tumpukan reruntuhan WTC yang masih bercampur dengan 5.422 jenazah yang hilang itu. Meski Wali Kota New York Rudolph Giuliani telah mengatakan bahwa amat sukar menemukan korban yang masih hidup setelah seminggu, toh, ketika TEMPO mengunjungi kawasan Ground Zero (GZ), pengamanan di daerah itu masih sangat ketat. Polisi dan anggota pasukan penjaga nasional (National Guard) bertebaran di mana-mana, dan jalan-jalan menuju kawasan itu masih diblokade. Para pekerja yang akan menuju kantor harus melewati beberapa titik sembari menunjukkan kartu identitas.
Wartawan hanya diperbolehkan menyaksikan puing-puing WTC dari perempatan Nassau Street dan Liberty Street, yang jaraknya sekitar 200 meter, karena GZ dinyatakan daerah terlarang. Mereka yang diperbolehkan menginjakkan kaki di GZ adalah tim penyelamat yang terdiri dari petugas pemadam kebakaran, sukarelawan, petugas medis, polisi, dan anggota pasukan National Guard. Dari titik itu, reruntuhan menara dan gedung-gedung WTC itu masih mengepulkan asap ke angkasa New York yang biru.
Hingga kini, tim penyelamat baru menemukan lima orang masih hidup dan 218 jenazah dari reruntuhan itu. Jumlah orang yang hilang meningkat menjadi 5.422 orang. Sementara itu, di Washington, DC, sumber resmi Pentagon menyebutkan bahwa mereka sudah berhasil mengidentifikasi 30 korban. Hingga kini, mereka menemukan 115 korban yang diterbangkan ke Dover Air Force Base, Delaware, untuk diidentifikasi.
Karena kesempatan menemukan korban di WTC selamat nyaris sirna, fokus operasi mulai hari Senin dialihkan ke upaya pembersihan puing-puing WTC. Tak heran jika alat-alat berat dengan cakar bajanya yang kukuh mulai dioperasikan. Truk pengangkut puing WTC keluar-masuk lokasi reruntuhan. Menurut perkiraan para ahli, berat total reruntuhan WTC itu mencapai 1,2 juta ton. Untuk membersihkannya diperlukan waktu sekitar enam bulan. Padahal, menurut Wali Kota Giuliani, sejauh ini baru 49,5 ton yang telah diangkut keluar dari ZG.
Toh, reruntuhan WTC menjadi daya tarik tersendiri, baik bagi warga New York maupun turis yang datang ke Kota Big Apple ini. Mereka berduyun-duyun mendekati ZG untuk menyaksikan bangkai menara kembar WTC secara langsung dan mengabadikannya dengan kamera maupun video. Bagi sebagian orang, reruntuhan ini memang menjadi obyek turisme untuk memenuhi gelegak rasa ingin tahu saja. Tapi, tak sedikit pula yang datang ke situ untuk mengekspresikan emosinya terhadap tragedi yang memilukan itu. "Saya datang ke sini untuk merasakan sendiri tragedi ini. Kebetulan, saya dulu pernah bekerja di sekitar sini. Saya sedih tapi saya juga melihat adanya spirit kebersamaan yang kuat di sini," ujar Edward Miller kepada TEMPO. Sementara itu, di belakang lelaki asal New Jersey ini sepasang muda-mudi berpelukan erat sembari menatap ke arah reruntuhan WTC. Setitik air mata jatuh.
Jadi, akan kembalikah hari-hari normal itu? Isabel Fiqueroa, 53 tahun, berujar, "Pertama kali masuk kerja, saya merasa segalanya aneh dan tidak nyaman. Seperti dalam mimpi dan saat terbangun tidak percaya bahwa ini benar-benar terjadi. Orang-orang kelihatan diam dan berbeda." Ia mengaku bahwa keponakannya menjadi korban tragedi WTC ini. Meski begitu, ia menambahkan bahwa warga New York akan berhasil melampaui luka batin akibat tragedi ini. "Life must go on. Kita harus memerangi ketakutan itu dan bangkit kembali," tuturnya.
Cara untuk bertahan itu disampaikan dengan berbagai cara. Melalui The Wall of Prayer, yang penuh karangan bunga dan lilin itu, para keluarga korban WTC yang hilang merasa memiliki tempat untuk "mengadu" ke-pada anggota keluarganya yang telah pergi. Di kawasan 26 Street dan Lexington Avenue, sebuah tangsi pasukan National Guard disulap menjadi pusat informasi orang hilang.
Syahdan, para pengunjung Taman Union di Downtown Manhattan itu berubah menjadi tempat peringatan bagi korban WTC (memorial). Berbagai festival musik dadakan dan diskusi soal penanganan terorisme itu berlangsung secara terus-menerus. Isinya beragam, musik latin, atau rekuiem, semuanya berbaur jadi satu. Pada malam hari, ajang festival dadakan itu berubah menjadi taman lilin.
Rakyat Amerika kini masih menunggu apa yang bakal dilakukan pemerintahan Bush dalam waktu dekat ini. Sementara menanti gerakan militer apa pun, mereka yang mengunjungi taman itu dengan lilin di tangan masih mengais-ngais hari-hari yang pernah mereka kenal, ketika Amerika masih menjadi tanah impian (bagi kaum imigran dan warganya sendiri), dan ketika Amerika konon masih menjadi tanah tempat lahirnya kemerdekaan dan rasa aman. Itu semua sudah berlalu. Mereka semua harus belajar melangkah ke sebuah Amerika yang baru.
Leila S. Chudori, Supriyono (New York), Ahmad Fuadi (Washington, DC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini