Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

AS Menciptakan Satu Osama, Lahir Banyak Osama

Serangan AS bakal menyatukan faksi yang bertempur di Afghanistan. Penderitaan rakyat Afghanistan semakin panjang. Laporan wartawan TEMPO Ahmad Taufik dari perbatasan Afghanistan.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PBB memperkirakan sekitar 15 ribu pengungsi Afghanistan membanjiri Pakistan pekan lalu. Padahal, Pakistan selama ini sudah menampung sekitar 2 juta pengungsi Afghanistan. Sebagian besar menumpuk di Kota Peshawar, provinsi yang letaknya hanya 54 kilometer dari perbatasan Afghanistan. Wartawan TEMPO di Peshawar menyaksikan pengungsi Afghanistan hidup berjejal di rumah batu dan tanah berwarna cokelat yang kelihatan kumuh, di sepanjang Jalan Peshawar menuju perbatasan Afghanistan. Mereka sudah tinggal di sana sejak invasi Uni Soviet ke Afghanistan pada Desember 1979. Hari itu, tentara dan polisi yang ber-seragam hitam-hitam atau dengan pakaian khas Pakistan tampak berkeliaran menenteng senjata laras panjang. Ada yang membawa senapan canggih M-16. Saat TEMPO keluar dari mobil dan berjalan dengan menenteng kamera, seorang tentara marah-marah. "Jangan potret. Tak boleh memotret di sini," hardiknya dengan muka merah. Kawasan pengungsi Afghanistan ini memang berbatasan dengan Tribal Area, daerah suku orang gunung yang dilindungi pemerintah Pakistan. Di sana orang asing dilarang berkomunikasi dengan masyarakat setempat, memotret pun tak diperbolehkan. Di Jambrut Fort, sebuah pos perbatasan, mobil yang ditumpangi TEMPO dihentikan petugas keamanan perbatasan. Padahal, Kota Turkham yang tepat di perbatasan masih 45 kilometer di depan. Harus ada izin khusus untuk sampai ke perbatasan. Keamanan superketat itu sudah dilakukan sejak Amerika mengancam akan segera menyerang Afghanistan. Turkham, pintu masuk ke Pakistan, jika tidak ditutup sejak Selasa lalu, pasti dibanjiri ribuan pengungsi asal Kabul dan sekitarnya. Seperti di-ceritakan Mohamad Kosim, 31 tahun, staf lokal Kedutaan Besar Indonesia di Afghanistan yang mengungsi 18 September, keadaan perbatasan sangat ketat. Ada 200 ribu orang yang berkeliaran di perbatasan dan tak bisa masuk ke Pakistan. Kosim dan istrinya bisa lolos semata-mata karena dia anggota korps diplomatik. Empat pintu di perbatasan Afghanistan dan Pakistan juga dijaga rapat-rapat. Sampai Kamis kemarin masih ada beberapa orang yang lolos masuk ke Pakistan. Tapi mereka tak bisa berbondong-bondong. Tak mengherankan jika di sekitar perbatasan Chaman, para pengungsi, dengan perabot rumah tangga seperti kasur dan pakaian, bercampur baur dengan ternak seperti kambing dan keledai. "Saya kasihan. Berapa lama mereka bisa bertahan? Pasti mereka akan kekurangan makan,’’ kata Kosim, yang menyaksikan ratusan ribu orang itu, dengan keluarga dan anak-anak. Di Kabul sendiri, menurut Mohamad Kosim, pada 12 september sekitar pukul 02.00 waktu Kabul, terdengar 20 kali ledakan dari arah lapangan terbang Kabul, sekitar enam kilometer dari tempat Kosim tinggal di Kedubes Indonesia. "Suara dan getaran dari ledakan itu sangat terasa," katanya. Tak berapa lama setelah ledakan itu, Kosim mendengar kabar mengenai kematian "Singa dari Pansjir", Ahmad Syah Masood, pemimpin oposisi terhadap pemerintahan Taliban yang bekas Menteri Pertahanan Afghanistan. Sementara itu, di Islamabad, ibu kota Pakistan, keadaan pun tak kalah tegang. Itu terjadi sejak Presiden Pakistan Jenderal Pervez Musharraf, Rabu lalu, menyerukan dukungan terhadap rencana Amerika Serikat melakukan serangan ke Afghanistan. Aparat keamanan dengan pakaian khas hijau-hijau tua menenteng senjata laras panjang terlihat di berbagai tempat di Islamabad, terlebih di beberapa tempat keramaian, tempat tinggal orang asing, dan daerah diplomatik. Kota ini memang jadi tempat yang akan paling cepat menerima dampak bila serangan AS benar-benar terjadi. Kota akan lumpuh. Penduduk kota itu, termasuk Kedutaan Besar Indonesia, telah mempersiapkan kemungkinan yang terburuk. Salah satunya menyediakan stok pangan sampai sebulan. Dan, kalau keadaan Pakistan memburuk, untuk keluar dari negeri itu bukan jalan mudah. Sebab, lapangan terbang telah dipakai oleh Angkatan Udara AS untuk pesawat tempurnya. Satu-satunya, ya, lewat jalan darat. "Kami sudah mempersiapkan visa untuk masuk ke India, lewat Lahore, jalan darat sejauh empat jam dari Islamabad,’’ kata Said Gaffar, Dubes RI untuk Pakistan. Tapi itu pun tak mudah. Pasalnya, ancaman bisa datang dari kelompok-kelompok garis keras Islam yang menjadi oposisi di Pakistan. "Kami takut terjadi ledakan di tempat yang kami tidak tahu dan menjadi korban,’’ kata Gaffar, yang baru setahun tiga bulan di Pakistan. Pemerintah negeri itu berusaha meredam bangkitnya perlawanan kelompok-kelompok Islam itu melalui Pakistan Television (PTV), yang kerap memberitakan komentar para pemimpin Islam propemerintah untuk menenangkan umat Islam Pakistan. Inti ceramahnya, Islam adalah agama rahmatan lil alaamin yang menentang terorisme. Jadi, ikuti saja perintah Musharraf. Berhasilkah? Yang jelas, ketegangan sudah telanjur menyebar ke seluruh penjuru, termasuk di daerah perbatasan Afghanistan dengan Iran. Di sana telah dibangun tujuh kamp pengungsi sebagai antisipasi serangan AS terhadap Afghanistan. Jika AS jadi melakukan serangan untuk menangkap Osama bin Ladin di pegunungan sekitar Kandahar, tindakan itu hanya akan memperpanjang sejarah penuh darah di bumi Afghanistan selama dua dekade belakangan ini. Prahara di Afghanistan ini bermula dari keputusan Uni Soviet mengirim 600 ribu pasu-kan dan mesin perangnya untuk mendukung rezim komunis Afghanistan pada 1979. Invasi Soviet melahirkan perlawanan dari kelompok agama, yang kemudian disebut kaum mujahidin. Komunis pun menjadi musuh bersama. Salah satu kelompok ulama ini berasal dari Kandahar. Mereka sudah terlatih secara militer melawan kawanan bandit. Umumnya mereka memperoleh pendidikan Madrasah Darul Ulum Haqqania, yang dikelola oleh kelompok militan Jamiat-e-Ulema di kota kecil Akora Khattak, yang terletak di wilayah perbatasan Pakistan-Afghanistan. Di madrasah inilah anak muda Taliban belajar ilmu agama. Sekitar 30 persen pemimpin Taliban saat ini adalah alumni madrasah tersebut, termasuk Wakil Ahmad Muttawakil, Menteri Luar Negeri Taliban, dan Abdul Salam Zaeef, Duta Besar Taliban untuk Pakistan. Alumni madrasah itu kemudian sepakat mendirikan Gerakan Islam Taliban Afghanistan (Taleban Islamic Movement of Afghanistan, TIMA) pada September 1994. Gerilyawan Taliban mencuat namanya setelah pemerintah Pakistan menggunakan jasa mereka untuk mengawal konvoi dagang Pakistan ke Asia Tengah pada 1994. Sebagian besar anggota Taliban berasal dari suku Pasthun, yang merupakan etnis terbesar di Afghanistan. Suku Pasthun bermukim di bagian selatan Afghanistan. Tapi, selain Taliban, muncul kelompok milisi Afghanistan lainnya yang berasal dari etnis yang berbeda (Tajik, Uzbek, Hazara). Perseteruan antarsuku yang sering terjadi di Afghanistan untuk sementara terlupakan. Mereka berkonsentrasi menghadapi musuh bersama pasukan Beruang Merah Soviet. Bahkan perang melawan Soviet mengundang masuk relawan dari negara muslim lainnya seperti Pakistan, Chechnya, Uzbekistan, Yaman, Mesir, Sudan, dan Aljazair. Salah satu relawan itu adalah seorang pemuda kaya raya dari Arab Saudi, Osama bin Ladin. Semua kaum mujahidin disatukan dalam semangat perang jihad melawan gembong komunis Soviet. "Saya bertempur tidak untuk diri saya atau untuk Afghanistan. Tapi saya bertempur hanya untuk Tuhan," kata salah seorang mantan mujahidin. Suasana Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur membuat AS dengan mudah bersimpati pada perjuangan kaum mujahidin di Afghanistan. CIA melatih mereka melakukan perang gerilya, termasuk memasok bazoka, roket, peluncur roket, senjata api, dan amunisi. Perang gerilya memang menjadi andalan bagi mujahidin untuk melawan mesin perang modern Soviet, ditambah kenekatan mereka. Salah seorang mujahidin Afghanistan bercerita, pernah milisi mujahidin asal Afghanistan sudah tiga hari tidak berhasil merebut sebuah bukit dari tentara Soviet. Tapi, ketika Osama bin Ladin datang bersama milisi asal Arab, mereka hanya butuh satu setengah jam untuk merebut bukit itu, dengan merelakan 150 anggotanya tewas. "Mereka pejuang berani mati. Mereka tak kenal rasa takut," ujarnya. Sejak itulah Ladin menjadi hero bagi mujahidin Afghanistan. Keberanian dan kekayaannya menjadikan Ladin sebuah legenda. Milisi Taliban pun menerimanya dengan tangan terbuka. Bukan hal yang berlebihan jika CIA dan Ladin-lah yang ikut menyumbang keberhasilan mujahidin mengusir Uni Soviet dari Afghanistan pada 1989, dengan rekor membunuh 150 ribu tentara Soviet selama 10 tahun di Afghanistan. Masa bulan madu antarfaksi mujahidin berakhir saat pemerintahan Presiden Burhanuddin Rabani terbentuk pada 1992. Ahli hukum Islam lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini mendapat dukungan seribu delegasi dari berbagai faksi mujahidin. Rabbani adalah tokoh moderat. Ia berperan mengoordinasi berbagai faksi mujahidin selama perang melawan Soviet. Peran itu berlanjut setelah Rabbani diangkat menjadi presiden. Ia mengakomodasi kepentingan kelompok pejuang mujahidin yang mulai mengeras di dalam pemerintahannya, dengan mengangkat Gulbuddin Hekmatyar selaku perdana menteri, sedangkan Ahmad Syah Masood sebagai menteri pertahanan. Belakangan Hekmatyar mencabut dukungannya pada Rabbani, dan milisi Taliban semakin bernafsu merampas kekuasaan Rabbani. Akibatnya, bumi Afghanistan bergejolak kembali. Perang saudara tak terhindarkan. Celakanya, negara tetangga, Iran dan Pakistan, pun ikut bermain. Iran mendukung Hekmatyar dan Pakistan mendukung Taliban. Pemerintahan Rabbani yang hanya di-dukung Masood dari suku minoritas Tajik tak mampu menahan gempuran Taliban. Pada September 1996 Taliban berhasil mendepak Rabbani dan Masood dari Kabul, dan segera terbentuk negara Islam Afghanistan dengan Mullah Muhammad Umar, 41 tahun, sebagai pemimpin tertinggi bergelar amirul mukminin. Masood kemudian membentuk Aliansi Utara Anti-Taliban, tapi ia terdesak ke wilayah utara Afghanistan, Pansjir, setelah Taliban menyapu 90 persen wilayah Afghanistan dalam waktu lima tahun. Masood, yang moderat, sebenarnya harapan terakhir Barat. Ia dikenal sebagai politisi yang sangat menginginkan demokrasi bagi Afghanistan. Masood adalah ahli strategi militer dalam aliansi anti-Taliban, dengan beberapa ribu tentara yang terlatih di Pansjir untuk menahan laju 45 ribu milisi Taliban, yang dibantu 12 ribu milisi Arab menguasai seluruh wilayah Afghanistan. "Meski sudah terpojok di utara Afghanistan, pasukan Masood masih menguasai lapangan terbang militer yang letaknya hanya 20 kilometer dari Ibu Kota Kabul," ujar Mohamad Kosim, staf lokal kedutaan Indonesia di Afghanistan, kepada Ahmad Taufik dari TEMPO. Rezim Taliban menuduh oposisi berada di balik ledakan bom beberapa waktu lalu di Kabul. Kebencian Taliban hingga ke tulang sumsum, sehingga Taliban menyatakan perang jihad terhadap aliansi anti-Taliban. Masood, yang dijuluki "Singa dari Pansjir", menjadi musuh utama Taliban. Tak aneh bila muncul dugaan bahwa bom bunuh diri yang dilakukan seseorang yang mengaku wartawan saat menemui Masood adalah hasil kerja Osama bin Ladin. Masood pun tewas 10 September lalu. Akan halnya Gulbuddin Hekmatyar yang memimpin partai Hizbi Islami, ia bergabung dengan barisan oposisi anti-Taliban. Tapi ia bermarkas di Iran, yang mendukungnya sejak Taliban mengambil alih Kabul. Garis politik Hektmatyar tak begitu jelas. Ia pernah menyatakan lebih suka melihat Afghanistan dalam pemerintahan Islam, tapi Hekmatyar bergabung selama empat tahun ke dalam Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan yang komunis. Ketika AS menyiapkan pasukan untuk menyerang Afghanistan karena menyembunyikan Osama bin Ladin, Hekmatyar berteriak dari balik perbatasan. "Amerika tak berhak menyerang Afghanistan," kata Hekmatyar, yang tak percaya Ladin berada di balik penyerangan WTC dan Pentagon. Apalagi jika rezim Taliban dipaksa keluar dari Afghanistan, akan terjadi kekacauan. "Jika AS menyerang Afghanistan, semua faksi yang berseteru akan bersatu menentang AS, se-bagaimana yang kami lakukan terhadap Soviet," ujarnya. Hekmatyar pernah menikmati dukungan dinas rahasia Pakistan ISI, tapi belakangan ISI mengalihkan dukungan ke Taliban. Namun, kini rezim militer Pakistan di bawah Jenderal Pervez Musharraf lebih suka menyelamatkan Pakistan dari ancaman AS tinimbang melanjutkan dukungannya kepada Taliban. Bahkan politisi sipil Pakistan berada di belakangnya, sembari melupakan kemarahan mereka terhadap Musharraf yang me-ngangkangi demokrasi. Musharraf aktif mengimbau rezim Taliban agar menyerahkan Osama bin Ladin, dan sekaligus mengizinkan pesawat tempur AS bertengger di bandara Islamabad. Tentu saja kelompok Islam garis keras Pakistan mengecam sikap Musharraf. Mereka menggelar aksi demonstrasi besar anti-AS seusai salat Jumat pekan lalu di Peshawar. Bahkan kelompok oposisi moderat Afghanistan mencela dukungan Musharraf terhadap rencana aksi AS. "Seharusnya Pakistan mendukung penyelesaian damai, bukannya mendukung kekerasan Amerika," kata Alhaj Hayatullah, Ketua Badan Perundingan untuk Persatuan Nasional Afghanistan (CUNUA), kepada TEMPO. Jika AS menyerang Afghanistan, menurut Hayatullah, penduduk sipil yang menjadi korban. "Itu kan sama saja dengan teroris yang meledakkan WTC di New York," ujar Hayatullah. Seorang pengungsi pun menyesali kebijakan AS 20 tahun lalu: "Mulanya AS menciptakan seorang Osama, tapi sekarang lahir banyak Osama." Raihul Fadjri, Irfan Budiman, dari berbagai sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus