Menunggang kuda, dia sudah menyelinap keluar dari Pegunungan Kandahar, Afghanistan. Adakah dia hanya pergi ke Hindu Kush, basis barunya di barat laut Afghanistan? Atau sudah melintasi perbatasan, dan ke mana? Tak ada yang tahu. Semuanya hanya spekulasi. Semuanya hanya "kata orang".
Cukup aman untuk mengatakan bahwa, seperti selama ini, Osama bin Ladin telah pergi kembali ke "tempat yang tak terjamah". Dia memang tak terjamah. Takdir hidupnya seolah menjadikan ia seorang nomad sejati: terusir dari tanah kelahirannya, dicaci oleh keluarganya, serta bersembunyi dari satu negara ke negara lain bak siluman. Dia seorang paria.
Pada saat yang sama dia begitu agung. Begitu menjulang. Namanya dibicarakan seantero planet—tak peduli Anda membicarakannya sebagai pahlawan atau setan. Dituding mendalangi serangan teror ke Kedubes AS di Kenya dan Tanzania pada 1998, pemerintah Amerika Serikat telah menjanjikan hadiah US$ 5 juta bagi siapa saja yang bisa menyerahkan kepalanya. Dan kini nilai kepalanya lebih mahal.
Amerika menuding dia mendalangi teror tempo hari, yang meratakan gedung World Trade Center dengan tanah dan mencabik bangunan Pentagon. Kongres AS menyetujui anggaran US$ 40 miliar untuk operasi militer menyerbu Afghanistan serta menangkap Osama hidup atau mati.
Dia juga seorang tokoh paradoksal dari aspeknya yang lain. Dia disebut-sebut sebagai miliuner. Pada saat yang sama dia menikmati tinggal di tenda terasing pegunungan Afghanistan yang dingin, yang hanya berpenerang lampu minyak.
Dengan paradoks yang mana pun, keberadaan Osama memang lebih banyak hanya ada dalam gosip dan propaganda ketimbang dalam kenyataan.
Robert Fisk, wartawan harian The Independent yang terbit di London, adalah salah satu dari sedikit orang yang pernah menemuinya dalam dunia nyata, di sebuah sudut Afghanistan. Menulis di Z-Magazine pekan lalu, Fisk membayangkan apa yang dilakukan Osama mendengar dirinya menjadi buron internasional.
"Dia akan duduk di sudut kamarnya, menonton televisi dari satelit seraya menyikat giginya dengan siwak, dan merenung sebentar sebelum berkomentar," tulis Fisk. "Osama adalah sedikit dari orang Arab yang tidak merasa malu berpikir sebelum berbicara." Dia bukan tipe Saddam Hussein atau Muammar Qadhafi, yang gemar mengungkapkan amarah seketika atau menepuk dada.
Bahkan seorang pejabat Biro Penyelidik Federal (FBI) mengakuinya dalam wawancara dengan majalah Newsweek pekan silam. "Tutur bicaranya halus, gerak-geriknya kurang semangat bahkan agak keperempuan-perempuanan." Ia pemalu, suka puisi.
Namun, pada saat yang sama, dia tidak pernah menyembunyikan kebenciannya pada Amerika. Dalam upacara perkawinan anaknya di Kandahar awal tahun ini, Osama melantunkan nyanyian pujian bagi arwah mereka yang melakukan serangan bom bunuh diri ke kapal perang USS Cole di perairan Yaman, menewaskan 17 pelaut Amerika.
"Amerika harus keluar dari wilayah Teluk. Amerika harus menghentikan sanksi ekonomi terhadap rakyat Irak. Amerika harus berhenti menggunakan Israel untuk menindas rakyat Palestina," katanya seperti dikutip Fisk. Dan Osama bukanlah orang separuh hati me-nunaikan sumpahnya jika bisa. Dia punya motif, dia punya pengikut, dan dia punya dana. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh para pejabat FBI.
Osama lahir pada 1955 sebagai anak ketujuh dari 50 bersaudara keluarga pengusaha konstruksi tersukses di Arab. Ayahnya, Mohammad Awad bin Ladin, berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Pernah menjadi kuli pelabuhan, nasib baik sang ayah dimulai dari keberuntungannya mendapat tender pembangunan istana raja Saudi. Semenjak itu kerajaan mempercayakan seluruh proyek prestisius Arab seperti renovasi Mekah dan Madinah. Syahdan, betapapun telah menjadi partner bisnis paling dekat dengan istana, bapaknya tetap menyimpan tas yang dipakai saat jadi porter pelabuhan. Pada 1968 ayahnya tewas akibat kecelakaan helikopter saat Osama umur 13 tahun.
Berapa jumlah kekayaan yang diwariskan? Itu menjadi perdebatan. Orang menaksir US$ 9 miliar. Dan Osama mewarisi aset sekitar US$ 300 juta. Kerajaan bisnis keluarga Bin Ladin makin besar, karena tiap anak dengan ibu yang berbeda-beda itu mengembangkan bisnisnya sendiri-sendiri. (Ibu Osama adalah istri keempat, berasal dari Yaman.) Konglomerasi bisnis keluarga Bin Ladin menjalar sampai Amerika, Inggris, Kanada, dan seluruh daratan Eropa. Partner bisnisnya merentang dari Unilever, Cadbury Schweppes, Motorola, Quaker, Nortel, sampai Citigroup. Tapi, menurut pejabat FBI seperti dikutip The Washington Post, sumber utama dana Osama adalah dari sumbangan para jutawan Arab lain.
Di samping menyimpan dananya di be-berapa bank Amerika, Osama juga disebut-sebut memiliki deposito di Barclay Bank London, GiroCredit di Wina, serta di sejumlah bank Dubai dan Malaysia.
Namun, berapa jumlah uang Osama untuk membiayai teror yang dituduhkan dan dari mana sumbernya, lebih merupakan spekulasi FBI ketimbang fakta. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintahan Bill Clinton telah meminta semua bank Amerika menutup transaksi bisnis dengan nasabah yang diduga merupakan samaran dari Al-Qaidah—organisasi Osama. Tapi FBI terbentur etika perbankan. Bahkan Arab Saudi sendiri tidak mengizinkan Amerika memeriksa Siddi Tayyib, salah satu akuntan keuangan keluarga Bin Ladin yang kawin dengan sepupu Osama.
FBI juga tidak menemukan informasi berarti ketika mencoba meneliti profil finansial kehidupan 19 tersangka serangan bunuh diri WTC tempo hari. "Transaksi keuangan mereka biasa-biasa saja," kata seorang pejabat FBI. Tak ada bukti, misalnya, mereka me-nerima rekening dengan jumlah uang besar.
Temuan itu serupa dengan ketika FBI menginvestigasi para pelaku pengeboman Kedutaan Amerika pada 1990. Ternyata, para pelaku menginap di hotel murah. Hidupnya pas-pasan, bahkan terpaksa melakukan ke-jahatan kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Ahmed Ressam, misalnya, warga Aljazair yang ditangkap hendak meledakkan bandara Los Angeles. Ia mengaku hanya dibekali US$ 12 ribu oleh Al-Qaidah. Selanjutnya ia membiayai sendiri operasinya dengan mencuri komputer dan menjebol ATM.
Harian The New York Times menilai FBI gagal menguak jaringan keuangan Osama karena transaksi uang dalam organisasinya tidaklah melalui transfer rekening bank-bank resmi, "tapi lewat broker bawah tanah". Osama, menurut harian itu, mengandalkan sistem ekonomi tradisional, yang dalam bahasa Hindi disebut hawala; sebuah transaksi lintas negara berdasar kepercayaan mutlak. Sistem ini berkembang di Pakistan dan India. Para imigran Timur Tengah di Amerika meng-gunakan ini untuk menghindari pajak. Jamal Al Fadl, tertuduh pengebom kedutaan Amerika di Kenya dan Tanzania, misalnya, mengaku langsung menerima uang tunai dari kurir Al-Qaidah, tanpa melalui transaksi bank.
Tapi majalah New Yorker memastikan bahwa orang akan tersesat jika menganggap Al-Qaidah merupakan organisasi berstruktur kerucut mirip holding company besar, yang puncak struktur tertingginya merancang program dan mengucurkan dana terus-menerus.
Al-Qaidah, menurut majalah itu, lebih mirip amuba atau bunglon yang berubah terus secara konstan. Osama hanya semacam fasilitator, bukan operator tunggal. Ia memberi uang, tapi kemudian cabang-cabang mengembangkan sendiri dengan cara masing-masing. Al-Qaidah cabang Kenya, misalnya, membuka bisnis ikan. Cabang lain membuka bisnis travel dan pengurusan dokumen perjalanan. Atau memiliki International Al Ikhlar Co., sebuah perusahaan dalam bidang jual-beli madu.
Simpang-siur pendapat itu hanya meringkaskan satu hal: Amerika akan kesulitan membuktikan keterlibatan Osama bahkan jika mereka percaya benar dialah dalang serangan tempo hari. Ataukah dia—seperti dikatakannya—memang benar-benar tidak terlibat dalam serangan itu? Tidakkah dia hanya seorang penghuni padang pasir Afghanistan yang citranya sebagai setan digelembungkan demikian besar agar Amerika memiliki dalih untuk menggelar operasi militer?
Osama lulus insinyur sipil pada 1979 dari Universitas King Abdul Azis. Masa remajanya dihabiskan, menurut sebuah sumber, di klub-klub malam Beirut. Namun, belakangan dia memperoleh pencerahan keagamaan dari Abdullah Azzam, seorang profesor hukum PLO yang belakangan meninggalkan Yasser Arafat karena dianggapnya makin kompromistis.
Pada tahun-tahun itu ada sejumlah perkembangan politik yang besar kemungkinan mempengaruhi pikiran Osama: perdamaian Mesir dengan Israel, agresi Rusia terhadap Afghanistan, dan Revolusi Iran. Namun, Afghanistanlah yang paling dia minati. Pada 1982, dalam kunjungan ke Peshawar dan Karachi, Abdullah Azzam memperkenalkan Osama pada kehidupan mujahidin dan orang-orang Arab yang ikut berperang di sana.
Osama lalu mengumpulkan uang untuk membantu Azzam. Pada 1984 ia membangun barak di Peshawar untuk menampung sukarelawan Arab. Hasilnya, sukarelawan Arab tambah banyak. Pada 1986 Osama mem-bangun enam kampnya sendiri di pegunungan Afghanistan. Didukung terutama para sukarelawan Mesir, ia membangun komando sendiri yang berbeda dengan mujahidin.
Tahun itu juga ia membangun kompleks bunker-bunker pertahanan di Khost, yang melibatkan CIA. Para pejuang Afghan sering bercerita bahwa Osama kerap mengendarai buldoser sendiri, tanpa mengindahkan risiko terlihat pesawat Rusia. Kisah-kisah semacam ini membangun mitos kegagahberanian para sukarelawan Arab. Salah satu cerita yang sering disampaikan Osama adalah ketika mortir dan bom laksana air terjun berjatuhan terus-menerus di seputar kampnya—satu mortir bahkan jatuh di kakinya—tapi tak satu pun meletus. Bagi Osama, itu menjadi peng-alaman religius yang penting. Bagi para pengikutnya, itu membuktikan "kedekatan Osama dengan Allah".
Setelah Rusia menarik pasukannya dari Afghanistan pada 1989, Osama pulang ke Jeddah. Ia terlibat lagi di kerajaan bisnis keluarganya. Ia mendirikan berbagai yayasan sosial untuk veteran Arab-Afghanistan.
Ketika Irak mencaplok Kuwait, ia menawarkan pasukannya kepada Raja Fahd. Tapi dia dibuat sangat kecewa ketika Saudi justru memilih pasukan Amerika. Ia menuding bahwa Arab tak lebih negara boneka Amerika. Pada 1991 Raja Fahd mengusirnya karena kritik keras itu dan karena ia dituding merencanakan makar dengan banyak mengirim lagi para militan Arab untuk menjalani pelatihan di Afghanistan.
Diusir, ia kembali ke Afghanistan. Dalam kunjungannya kali ini dia menyaksikan ironi: konflik antara faksi-faksi mujahidin sendiri. Ia mencoba menjadi penengah tapi gagal. Ia menegaskan kepada para pengikutnya agar tidak berpihak faksi mana pun. Dengan pesawat jet pribadi lalu ia terbang ke Sudan, menjadi tamu Hasan Turabi.
Pada 1991-1996 dia membangun banyak infrastruktur di Sudan, seperti jalan tol dari Ibu Kota Khartoum ke pelabuhan dan bandara. Ia mengajak teman-temannya pengusaha Arab agar berinvestasi di negeri itu dan sukses. Di negeri ini pula, Osama secara mandiri mengembangkan bisnisnya dari perbankan sampai agrobisnis. Al-Shamal Islamic Bank miliknya menguasai jaringan nasabah New York, Jenewa, Paris, dan Sudan.
Dan dia kian sering disebut sebagai dalang teror. Pada 1995 sebuah bom mobil meledak di fasilitas pelatihan Riyadh, menewaskan lima perwira Amerika. Empat Arab-Afghan dituduh pelakunya. Sontak Arab menuding Bin Ladin sebagai otak di belakangnya. Arab dan Amerika langsung menekan Sudan untuk mengusir Osama. Tak ingin merepotkan Sudan, Osama mengontak kembali teman lamanya di Afghanistan dan kembali ke sana, membawa empat orang istri dan anak-anaknya.
Intelijen Amerika justru dibuat sulit pula. "Itu sama saja mengirim Lenin balik ke Rusia," kata seorang diplomat Amerika. "Di Sudan segala gerak Osama lebih mudah dipantau daripada di Afghanistan."
Osama datang di Afghanistan ketika Taliban kian dominan. Kala itu Taliban telah mengepung Kabul. Ia diterima baik oleh Mullah Mohammad Omar, pemimpin spiritual tertinggi Taliban. Osama memberi bantuan pada Taliban US$ 3 juta. Dengan bantuan itu tiga hari Jalalabad bisa dikuasai Taliban, dan 10 hari kemudian Kabul jatuh.
Sumbangan Osama untuk kemenangan Taliban menjadi ikatan hubungan baik di antara keduanya. Bahkan untuk makin memperkuat ikatan politik ini Osama memperkenankan salah satu putrinya kawin dengan Omar. Jelas, kedudukan Osama sendiri jadi amat kuat, karena Mullah Muhammad Omar adalah pemimpin karismatik.
Masuk akal bahwa para ulama Taliban pekan lalu tak mau menyerahkan Osama bin Ladin kepada Amerika, karena ia telah menjadi bagian dari keluarga mereka sendiri. Pertemuan ulama hanyalah taktik untuk memberi kesempatan Osama melarikan diri.
Tapi, ke manakah dia? Keluarga tak lagi menerimanya. Abdullah Awad Obood—kepala keluarga besar Bin Ladin—me-negaskan kegiatan Osama tidak lagi ada sangkut pautnya dengan keluarga. Ia menganggap Osama sebagai paria—sampah keluarga. Tudingan terhadap Osama telah membuat proyek bisnis keluarga itu kacau-balau. Mulititone, sebuah perusahaan telepon seluler Inggris yang sedianya memasarkan produknya di Arab lewat Bin Ladin Company, menggagalkan kontraknya. Abdullah bahkan mengamini tudingan Amerika bahwa Osama adalah teroris.
Ke Sudan? Presiden Sudan Omar el-Bashir pekan lalu menyatakan bahwa semua bisnis Osama di negeri itu sudah dilikuidasi sejak 1996. Menggenapkan semuanya, pemerintah Saudi pun mengatakan telah membekukan bank-bank milik Osama di Arab sejak be-berapa tahun silam.
Keluarga menampik. Negara-negara Timur Tengah menjegal. Amerika menghadang di setiap jalan. Tapi justru karena itulah ke-kaguman dan simpati besar tercurah kepadanya.
Osama mungkin bisa dibunuh, ditangkap, dan dihukum mati. Tapi jaringan organisasinya yang menjuntai ke 43 negara tidak akan mudah dibasmi. Suatu malam yang dingin di Afghanistan, "begitu dingin sehingga saya bisa terjaga dari tidur karena gumpalan salju di rambut", wartawan Robert Fisk menyaksikan para pendukung Osama—dari Aljazair, Kuwait, Mesir, dan negeri-negeri Teluk lain—berkumpul dalam tenda, mengelilingi "sang mesiah", dengan takzim mendengar pidatonya. "Warga sipil Amerika tak lagi dipisahkan dari target militer," kata Osama.
Dia juga bisa hidup hampir di mana saja dan bersembunyi di "tempat yang tak ter-jamah". Robert Fisk masih ingat benar bagaimana Osama meminjam tumpukan koran yang dibawanya. Di bawah temaram lampu minyak, Osama membacanya halaman demi halaman di sudut tenda, tanpa peduli sekelilingnya, dan tertawa ketika membaca bahwa Amerika Serikat menjanjikan hadiah US$ 5 juta untuk kepalanya.
Diakah orang yang bisa membuat kerusakan begitu besar, kematian begitu luas, di jantung Amerika? Atau Amerika sendiri telah membuat namanya begitu besar—kendati buruk—lebih besar dari legenda?
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini