Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari Oasis yang Hilang

Terbentang di jantung Teluk Persia, Bahrain pernah gilang-gemilang di masa lalu oleh kekayaan peradaban ataupun perniagaan. Di masa kini, Bahrain "hanya"-lah kerajaan mungil—di tengah negara-negara besar Jazirah Arab—yang harus menghadapi ancaman keringnya kekayaan sumur-sumur minyak. Tapi, di tangan Syekh Hamad bin Isa al-Khalifa, Raja Bahrain sejak 1999, kejayaan masa lampau itu dibangkitkan kembali lewat rupa-rupa jalan. Dari menggenjot pariwisata dan olahraga—Bahrain menjadi tuan rumah balap mobil Formula Satu, April silam—hingga membebaskan wanita dari tabu-tabu politik. Wartawan TEMPO, Endah W.S., mengunjungi negeri itu beberapa waktu lalu. Berikut ini laporannya.

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Datanglah ke Bahrain. Dan saksikan dari dekat betapa kekuatan uang menjalari padang-padang gurun. Saksikan bagaimana dinar para emir mengubah lautan pasir cokelat menjadi "karpet hijau" raksasa dengan rumput segar, rumpun-rumpun perdu, serta danau-danau kecil nan jernih. Di Riffa Golf Club, sebelah selatan Bahrain, panorama oasis itu bisa disesap sepuas hati. Melihat TEMPO melongo di depan Riffa, Abdullah Saleh, pemuda Bahrain asal Manama, berkata dengan santai: "Hanya uang yang bisa menyulap semua ini."

Tak salah lagi, uang dan Bahrain ibarat satu sosok dengan dua wajah. Bahrain mengingatkan orang pada aliran uang dari sumur-sumur minyak. Dan para pemilik uang segera terkenang pada Bahrain bila ingin menghabiskan fulusnya untuk menikmati keajaiban alam maupun peradaban dalam berbagai paket wisata di sana. Tahun-tahun terakhir, kabarnya para hartawan di berbagai kawasan Timur Tengah juga selalu teringat pada Bahrain bila ingin memendam dolar mereka pada bank-bank internasional yang kian menjamur di kerajaan mungil tersebut.

Kekayaan Bahrain dan ukuran luasnya seolah berbanding terbalik. Berukuran sekitar 700 kilometer persegi (agak sedikit lebih luas dari Jakarta), kerajaan mini itu disangga ekonominya oleh sumur-sumur minyak. Pendapatan per kapitanya US$ 17 ribu (setara dengan Rp 153 juta, hampir 20 kali lipat pendapatan per kapita Indonesia). Minyak Bahrain memang sumber utama pundi-pundi. Pada tahun 1950 saja, misalnya, negeri berpenduduk 650 ribu orang itu telah mengeduk 2,25 juta poundsterling dari minyak.

Tak mengherankan bila "sekadar" sirkuit balap Formula Satu bisa digeber pembangunannya oleh pemerintah Kerajaan Bahrain hanya dalam hitungan bulan. Biayanya? Aduh mak…, US$ 150 juta. Diberi nama Sirkuit Shakir—dibangun di Gurun Shakir, kawasan barat Bahrain—sirkuit ini disebut-sebut sebagai yang termodern di dunia. "Dengan modal yang kuat, gurun pasir bisa diubah menjadi sirkuit internasional," ujar Hermann Tilke, sang arsitek, kepada TEMPO.

Syekh Hamad bin Isa al-Khalifa, Raja Bahrain, adalah penggagas sirkuit ini. Raja Hamad bercita-cita mendudukkan Bahrain yang kecil-mungil pada tempat yang lebih terhormat di bola dunia melalui balap mobil yang amat bergengsi itu. April silam, acara balap itu digelar. Para atlet Formula Satu meraung-raungkan mobilnya di gurun, sembari kamera-kamera televisi menayangkan aksi mereka ke hadapan jutaan penonton di berbagai belahan jagat.

Mewakili sang Raja, Syekh Fawaz bin Mohamad al-Khalifa, Direktur Sirkuit Shakir, menjelaskan kepada TEMPO: "Balap ini sengaja dirancang untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Bahrain terbuka untuk bisnis." Upaya mahal ini tampaknya tidak sia-sia: dunia pun melirik Bahrain. Satu contoh kecil, sebelumnya, nama negeri ini nyaris tak pernah muncul dalam acara Dunia Dalam Berita TVRI—tenggelam dalam kebesaran negara-negara lain di Jazirah Arab. Tapi, begitu balap Formula Satu dilangsungkan, televisi pemerintah Indonesia itu menyiarkannya. Sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta bahkan memprofilkan Bahrain secara khusus di samping memberitakan acara balap tersebut.

Harus diakui, arsitek "go mondial"-nya Bahrain adalah Syekh Hamad bin Isa al-Khalifa sendiri. Bertakhta menggantikan ayahnya, Syekh Issa, sejak 1999, Hamad dikenal progresif dan mahir memperkuat Bahrain untuk menghadapi masa depan (lihat, Dari Selarik Puisi Kuno). Hamad menggenjot pariwisata dan membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing. Salah satu obyek wisata yang laris-manis dijual ke setiap tamu asing adalah makam prasejarah yang terbesar di dunia (lihat, Surga di Bawah Fondasi).

Negeri ini memang diberkati dengan sejumlah keajaiban peradaban maupun alam. Pohon Kehidupan adalah salah satu yang layak ditengok. TEMPO menempuh gurun pasir yang berkilau pada suatu hari untuk mengunjungi pohon tersebut. Jip Land Rover yang disopiri Abdullah Saleh, seorang pemandu lokal asal Manama, mengepulkan debu yang mendidih dari pasir, pasir, dan pasir. Dan itu dia! Dari jauh, dalam selubung cahaya senja hari, pohon itu tegak dengan ranting dan cabang yang sudah arif oleh usia. Anggun dan misterius.

Bagai oasis di tengah gurun, daun-daunnya ibarat setitik mozaik hijau yang menyegarkan mata di tengah lautan pasir cokelat yang membentang hingga ke ujung horizon. Penduduk Bahrain percaya bahwa tarikan napas pohon ini—yang menjulang di atas bukit pasir—adalah abadi, menjadi lambang kehidupan Bahrain di masa depan.

Raja Hamad memang tumbuh dalam legenda dan mitos tentang tanah airnya. Tapi syekh yang mengecap pendidikan Barat sejak remaja itu yakin betul bahwa masa depan Bahrain bukan ditentukan oleh napas sebatang pohon, melainkan pembangunan di segala segi. Termasuk kehidupan politik yang lebih sehat dan demokratis.

Dia menggagas referendum pada 2001, yang memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk membuat undang-undang sistem monarki. Dia juga merancang pembentukan parlemen dan departemen kehakiman. Hasilnya? Sejak tahun 2002, Bahrain memiliki anggota parlemen yang dipilih melalui pemilu. "Pada tahap berikutnya, kami akan dibolehkan membuat partai politik," kata Fuad Noor, ahli sejarah dari Museum Nasional Bahrain.

Menurut Fuad, muslim Syiah Bahrain, yang merupakan mayoritas penduduk, kelak bakal diperbolehkan pula membentuk partai oposisi terhadap trah Al-Khalifa (dinasti yang kini berkuasa). Padahal trah ini berasal dari kalangan muslim Sunni. "Kami hidup rukun saja. Jadi, tidak ada masalah. Hanya raja-raja sebelumnya yang tidak pernah memberikan kesempatan politik kepada mereka," Fuad Noor menjelaskan.

Dengan demikian, Bahrain tak lagi "terkebelakang" dalam kehidupan politik dan demokrasi, kendati tadinya amat konservatif. Dalam hitungan jangka panjang, Raja Hamad sudah menakar bahwa Bahrain yang terbuka dan demokratis akan lebih mudah memikat Barat—termasuk investasi mereka. Hasilnya? Bolehlah.

Menurut Syekh Fawaz, puluhan hotel mewah berkelas internasional telah mendaftarkan diri di Bahrain dalam beberapa tahun ke depan. Di Manama, ibu negeri Bahrain, sebagian hotel mewah itu tegak. Mereka berani berbisnis di sana karena dalam dua tahun terakhir saja banjir turis mencapai 3 juta orang—lima kali lipat penduduk Bahrain. Ini belum terhitung emir-emir Arab yang mulai kesengsem menyimpan uangnya di bank-bank internasional di Bahrain.

Raja Hamad memutuskan mulai mendandani Bahrain dengan serius sejak milenium baru pada tahun 2000. Berbagai infrastruktur dibenahi secara besar-besaran, dari tata kota hingga reklamasi pantai. Makam-makam dibongkar, disulap menjadi pasar, perumahan, mal-mal besar. Di kawasan reklamasi teranyar di Distrik Seef, dibangun pencakar langit 49 lantai setinggi 172 meter. Almoayyed Tower—nama gedung itu—kini menjadi bangunan tertinggi di Bahrain.

Contoh lain adalah kota tua Bab'l Bahrain. Kawasan pasar tradisional Souq dibenahi menjadi daerah wisata yang elok. "Lima tahun lalu, Bahrain tidak ada apa-apanya," ujar Abdullah dengan bangga kepada TEMPO. Dia bahkan berani bertaruh lima tahun lagi Bahrain akan semodern dan sepadat Singapura.

Lalu, dari mana datangnya fulus untuk membangun semua itu? Nomor satu sudah pasti dari emas hitam alias minyak. Penemuan minyak pertama mereka adalah pada 1932. "Ekspor minyak mentah mereka pada tahun 1934 mencapai 40 ribu ton dan empat kali lipat pada tiga tahun berikutnya," tulis John Nowell dalam buku Bahrain, Now and Then.

Minyaklah yang kemudian mengantarkan kemakmuran pada dinasti Al-Khalifa, yang memerintah Bahrain sejak berabad lampau. Untungnya, para syekh Al-Khalifa tak menghabiskan semua harta itu sendiri. Dua pertiga pemasukan disisihkan untuk investasi ulang, membangun fasilitas kesehatan, jalan-jalan raya, hingga sekolah. Alhasil, sejak 1970-an, setiap bocah Bahrain boleh sekolah gratis hingga universitas.

Tapi John Nowell mencatat, cadangan minyak ini semakin tipis dan akan kering dalam belasan tahun ke depan. Beberapa tahun terakhir, Bahrain amat bergantung pada bantuan minyak mentah dari Arab Saudi dan mengolahnya sebelum diekspor ulang. Hal ini amat disadari oleh Syekh Hamad. Maka, ia pun ngebut memoles Bahrain selama modal masih ada. Mengutip komentar Fuad Noor: "Di antara raja-raja Bahrain, Syekh Hamad yang paling cermat menyadari hal ini."

Bagi para pelancong yang biasa bertualang di negara-negara Arab, Bahrain menyimpan kejutan lain yang asyik: kehidupan masyarakat sehari-hari lebih terbuka, bebas, dan kosmopolit dibandingkan dengan para jirannya. Kendati ciri negara muslim tentu tak bisa ditanggalkan. Umpama, laki-laki tetap berjubah toub lengkap dengan sorban yang ber-igal (cincin pengikat). Ini busana khas para emir. Para wanita umumnya memakai abaya, pakaian tradisional wanita Bahrain yang berwarna serba hitam.

Tapi, cobalah Anda jalan-jalan ke koridor Seef Mall—ini pusat perbelanjaan termewah di Bahrain. Para remaja putri melenggang dalam baju ketat. Wanita-wanita muda mondar-mandir dengan kacamata hitam menempel di jidat, selendang melambai di pundak—mungkin sewaktu-waktu bisa difungsikan sebagai kerudung. Astaga, ini Manama di Bahrain atau Plaza Senayan di Jakarta? Mereka lantas nongkrong dan merumpi di kedai kopi Starbuck. Anda mungkin lebih melongo lagi bila malam sudah turun. Kaum lelaki Bahrain bisa menghabiskan waktu semalam suntuk di pub-pub dan kedai kopi ditemani para wanita—yang bisa dipastikan bukan istri mereka. Mulai ber-"dugem"—dunia gemerlap—selepas isya, mereka biasanya pulang menjelang subuh (lihat, Mereka Berdugem sampai Pagi).

Di lain hari, TEMPO memergoki tiga wanita muda di restoran Jepang Sushi Ko di pusat kota. Asyik merumpi, ketiganya menyampirkan kerudung di kursi dan mengepul-ngepulkan asap rokok sembari cekikikan. Dari balik abaya mereka, menyembul celana jins ketat yang memamerkan bokong dengan murah hati. Sejak tahun 2002, wanita-wanita Bahrain juga mendapatkan kesetaraan dalam politik dengan kaum pria: mereka boleh menggunakan hak pilih dalam pemilu. Lebih dari itu, mereka juga boleh dipilih menjadi anggota parlemen.

Satu hal, jangan salah kira bahwa Bahrain bebas dari sisi muram di tengah deru mesin-mesin pembangunannya. Permukiman kumuh di Muharraq adalah salah satu contoh. Terletak di pulau yang terpisah, Muharraq hampir tak tergerus roda modernisasi. Padahal ini ibu kota Bahrain di awal 1900-an. Rumah-rumah kusam dengan cat yang mengelupas berjejalan di lorong-lorong sempit.

Ketika TEMPO menginjak salah satu sudut kota itu, anak-anak baru bubar sekolah. Mereka menyerbu kedai roti di ujung jalan. Yang tak punya uang jajan terpaksa menelan ludah. Salah satu bocah dengan malu-malu mendekati TEMPO dan menanyakan kamera. Mohamed Darwish namanya. Usianya 8 tahun, anak seorang sopir taksi. Darwish bisa bersekolah karena pendidikan di Bahrain tersedia cuma-cuma.

Pendapatan per kapita Bahrain memang menembus angka US$ 17 ribu, tapi itu tidak merata. Dari 650 ribu penduduk, hanya 295 ribu orang yang bekerja. Itu pun kebanyakan kaum pendatang. Sisanya menganggur. Pengangguran di Bahrain—lebih-lebih di kalangan generasi muda—adalah warisan dari para raja sebelumnya yang belum bisa dipupuskan oleh Syekh Hamad.

Fenomena pengangguran di negeri kaya itu bisa pula dilihat pada sosok Abdullah Saleh, pemandu TEMPO selama di Bahrain. Pemuda berusia 26 tahun ini lulusan satu akademi yang menyiapkan tenaga-tenaga pengawal pribadi. Toh, Abdullah mengaku sulit sekali mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari akademi. Dia beruntung bisa masuk ke Sirkuit Shakir sebagai tenaga lepas sekuriti selama musim balap Formula One. Setelah itu? "Jika masih menganggur, saya akan menerima tawaran menjadi pengawal pribadi seorang emir di Riyadh, Arab Saudi," ujarnya kepada TEMPO.

Bahkan, di Bahrain sekalipun, berkah dari Pohon Kehidupan rupanya belum dikecap oleh semua anak negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus