Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah sang turis tampak panik. Parasutnya turun dengan deras menuju satu titik: kerumunan orang Bali yang tengah melakukan sebuah upacara adat. Tapi bukan hanya itu yang membuatnya mengeluarkan keringat dingin. Ia dan parasut akan mendarat di sebuah lokasi dengan tombak-tombak runcing, tegak, berdiri menyambutnya. Ia tak tahu, hampir setiap upacara adat di Pulau Dewata melibatkan tombak dan berbagai jenis senjata pusaka. Yang diketahuinya hanya ia telah membubuhkan kata peace dalam payung yang membawanya ke titik itu.
Pelukis kartun di atas, Jango Paramartha, 39 tahun, memang mengajak kita menyaksikan Bali yang berubah. Sepanjang 9-25 Juli, Jango?nama aslinya Made Gede Parama Artha?memamerkan 30 kartun karyanya di Sanur, Bali. Karya-karya yang menunjukkan bahwa Jango mencermati aneka perubahan, hasil pertemuan tradisi Bali dengan bermacam budaya baru. Juga, kartun-kartun hasil evolusi kreatifnya sejak 1980-an: dari kartun yang biasa mengkritik secara vulger, bikin orang marah, menjadi kartun-kartun yang lebih humoristis. "Mengajak melakukan perenungan lewat humor," kata alumni Program Studi Seni Rupa dan Desain Universitas Udayana, Bali, itu.
Dan pameran bertajuk The Art of Jango Paramartha itu makin mempertimbangkan unsur artistik. Ada pesan menggelitik yang jadi prioritas utama, ada juga penampilan figur dan komposisi warna yang diperhitungkan. Warna-warna cerah yang diakui dipengaruhi oleh nuansa turisme namun masih sanggup menampilkan kegelisahan Bali yang berubah.
Jango kini tak terlalu sarkastik, tapi mahir menggambarkan ironi. Dalam Wrong Expectation, ia menggambarkan seorang pemuda petani tertidur pulas, bersandar pada konstruksi bangunan hotel yang berimpitan dengan sawahnya. Dalam tidurnya itu ia bermimpi menjadi pegawai hotel yang sedang menyajikan minuman bagi para turis. Kartun yang menunjukkan keinginan pemuda-pemuda Bali di pedesaan menjadi pegawai hotel setelah sawah mereka terjual.
Kegelisahan Jango juga terpancar dalam karyanya yang menggambarkan Pulau Dewata dari udara, pulau yang dihiasi deretan pura indah. Tapi bukan tempat-tempat suci itu yang mencolok. Yang paling tampak menyeruak ke angkasa justru Tugu Monas, simbol Kota Jakarta. Gambaran yang mungkin masih samar pesan, sampai akhirnya menjadi jelas setelah terbaca tajuk "Who Owns Bali?"
Karyanya yang secara langsung mewakili kegelisahan Jango akan tanah leluhurnya adalah kartun potret sebuah keluarga Bali. Jango menampilkan seluruh anggota keluarga itu berpakaian adat upacara keagamaan. Mereka dilukiskan berada di atas bom yang akan meledak. Bom itu bertuliskan "Globalisasi". "Kartun ini merupakan wujud kegelisahan saya dalam melihat masa depan Bali," ujar ayah dua anak itu menjelaskan.
Jango kritis terhadap pengaruh luar, tapi itu tak membuat ia lembek terhadap kondisi yang berasal dari dalam. Kartun Daily Life memperlihatkan pria Bali membawa ayam dan pergi ke tempat metajen (judi sabung ayam). Kontras dengan Meme (ibu), yang membawa barang dagangan pergi ke pasar sembari menggandeng anaknya yang berseragam sekolah. Perempuan adalah sosok pekerja keras bila dibandingkan dengan suaminya.
Antropolog Australia, Adrian Vickers, dalam katalog pengantar menyebut Jango sebagai kartunis Bali yang berkarya dengan bahasa visual yang kaya. Ketika banyak orang Bali seolah menganggap sepi perubahan, Jango justru membidiknya. "Jango mencermati perubahan yang terjadi dalam segala aspek kehidupan Bali: gender, komunitas, agama, dan kehidupan komersial," kata guru besar Universitas Wollongong, Australia, itu.
Nyoman Darma Putera, antropolog dari Universitas Udayana, memuji, juga sedikit mengkritik. Karya-karya Jango memang pas mewakili kondisi Bali, termasuk lewat kritik yang keras. Darma Putera menunjuk Globalisasi, karya yang menggambarkan sebuah keluarga Bali di atas bom yang nyaris meledak. "Tidak ada kartunis lain di Bali yang seradikal Jango dalam memotret keadaan," kata dosen di Universitas Udayana ini.
Namun, Darma Putera juga meragukan kadar humor dalam kartun si penerjun yang terancam ujung-ujung tombak di atas. "Sebagai orang Bali, rasanya saya belum bisa menerima kelucuan semacam itu," ujarnya.
Nurdin Kalim, Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo