Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI TENGAH pengucapan puisi-puisi sepanjang tahun ini yang bersitahan pada lirisisme, puisi-puisi Heru Joni Putra mengusung narativisme. Sementara puisi-puisi lirik saat ini mencoba mengolah kembali warisan permainan bunyi, bahkan dengan jurus yang terkesan itu-itu saja, puisi-puisi naratif Heru Joni Putra bergerak lincah, keluar-masuk, antara berlagu dan berkisah.
Sementara yang lirik tadi memberat pada keharuan, baik pesona kampung halaman maupun tradisi yang dianggap mapan-tidak jarang keharuan itu melahirkan himne yang klise-puisi-puisi Heru menimbang kembali apa-apa yang telanjur diagungkan. Ia kemudian tidak hanya mencemeeh dan mengkritik tradisi, tapi juga bermain dalam tegangan yang nikmat antara menaati dan memberontaki konvensi.
Cara Heru Joni Putra membolak-balik susunan pepatah-petitih Minangkabau, misalnya, atau mempermainkan lagi logika fiksi tradisional (tambo, kaba) dan sejarah, kerap memberi kita humor yang sedap. Apalagi ketika ia menggunakan satu tokoh sentral, Badrul Mustafa, untuk segala zaman dan peristiwa, dengan pokok soal yang berbeda. Maka, sebagai himpunan, buku puisinya, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa (BMBMBM, Penerbit Nuansa, Mei 2017), bisa dianggap bulat-utuh.
Dengan Badrul Mustafa-yang satu sekaligus banyak-Heru Joni Putra secara konsisten menyigi pelbagai segi mentalitas manusia Minangkabau. Jikapun ia menggunakan tokoh lain, semisal seekor beruk atau sebuah kopiah, alusinya jelas pada kehidupan manusia hari ini.
Kita juga patut bergembira karena semua itu ia tuturkan dengan kejernihan dan kelincahan bahasa Indonesia yang di atas rata-rata.
PUISI "Balada Kain Buruk Bersulam Emas", salah satu puisi yang menarik dalam BMBMBM, memberi gambaran yang nyaris lengkap tentang puisi-puisi Heru Joni Putra. Dari judulnya, puisi ini memperlihatkan kemahiran penyair Indonesia modern dalam menyerap dan menampilkan kembali perumpamaan yang khas Minangkabau. Selanjutnya, ia memanfaatkan pula kelenturan lidah tukang kaba dan perawi tambo dalam menceritakan kisah-kisah Badrul Mustafa.
Berbeda dengan balada-balada Rendra pada enam dasawarsa silam-yang teramat metaforis, melodius, dan sadar diri sebagai sajak yang akan dipanggungkan-balada-balada Heru Joni Putra bukan hanya metaforis, tapi juga penuh semangat bermain-main antara hasrat untuk serius dan melucu, antara menggunakan bentuk yang mengikat dan semangat pembebasan.
Begitulah, meskipun larik-larik puisi ini disusun seperti model sajak dua atau tiga seuntai, atau bahkan lebih, sepenuhnya ia naratif. Tipografi yang khas dalam puisi lirik itu tidak diniatkan untuk meneguhkan permainan bunyi dalam tataran apa pun, melainkan untuk menuturkan kisah dengan cara yang seringkas-ringkasnya. Puisi ini memanfaatkan "tampilan luar" puisi lirik untuk mempertajam watak naratifnya.
Di sini, penyuntingan bekerja dengan cermat-hemat. Subyek lirik hanya mengisahkan apa-apa yang dianggap penting terkait dengan konfrontasi antara Badrul Mustafa dan kotoran kuda. Lewat tokoh kotoran kuda-ditambah sokongan humor yang subversif-penyair sedang menjadikan yang remeh-temeh dan menjijikkan sebagai yang penting dan terhormat. Dengan personifikasi dan metamorfosis yang tidak diduga-duga, penyair menyusun riwayat ringkas sekaligus mengejek seorang panglima yang rakus kuasa. Begini:
Ia ceritakan bahwa dirinya dahulu
Juga setumpuk kotoran kuda
Yang awalnya diangkat sebagai
Pengkilat kumis Sang Raja,
Lalu kini sebagai Panglima,
Dan karena berharap memiliki bulan dan bintang,
Ia berkata sungguh ingin menjadi Pujangga Istana.
Di bagian lain, Heru Joni Putra juga mengumbar hasratnya dalam mencemeeh atau mengkritik apa-apa yang berasal dari khazanah tradisi. Misalnya, dengan membolak-balik susunan seraya mempermainkan logika peribahasa atau pepatah-petitih Minangkabau demi mendapatkan perspektif baru dalam melihat kenyataan sehari-hari. Dalam kasus ini, peribahasa atau pepatah-petitih dipandang tidak memadai lagi, sudah "tua" dan "sempit". Karena itu, perlu pembaruan dan perluasan.
Maka, melalui puisi "Katak di Atas Tempurung", Heru Joni Putra menyajikan permainan persepsi. Dari peribahasa "katak di bawah tempurung (kelapa)", penyair menghadirkan pemandangan "katak di atas tempurung (kepala)". Mungkin, dari atas tempurung kepala Badrul Mustafa itulah sang katak bisa melihat "hujan telah reda" sehingga "ia tak perlu berteduh dalam tempurung itu…".
Pertanyaan berikutnya, "tempurung kelapa" atau "tempurung kepala"? Meski sama-sama indrawi, ternyata tidak kedua-duanya. Badrul Mustafa malah memilih yang abstrak: "tempurung itu… pepatah tua itu". Lantas, bagaimanakah rasanya berteduh di bawah pepatah tua? Apakah sama dengan "berteduh di bawah atap gereja tua" sebagaimana dalam lirik lagu Gereja Tua karya Panbers? Ini kenyataan atau umpama?
Bisa jadi ini permainan yang kenes dan terkesan remaja, tapi tetaplah punya nilai. Terutama terkait dengan keterampilan penyair dalam mengguncangkan persepsi pembaca, antara yang indrawi dan yang abstrak. Atau, sebagaimana dalam puisi "Membunuh Pujangga Istana", ada konfrontasi antara peribahasa ("sebab nila setitik rusak susu sebelanga") dan kenyataan ("menitikkan nila ke dalam secangkir susu"). Yang pertama sekadar umpama, yang kedua bisa membunuh Badrul Mustafa.
SEJATINYA, petualangan Badrul Mustafa dalam BMBMBM adalah serangkaian penghancuran mitos-mitos kepahlawanan kaum laki-laki. Sebagai tokoh sentral, Badrul Mustafa sepenuhnya "antihero". Sejarahnya didongkel hingga ketemulah kotoran kuda sebagai asal-muasalnya. Ia hadir untuk diledek dan dicemeeh sedemikian rupa agar dari sana khalayak pembaca masih bisa beroleh kegembiraan.
Namun Heru Joni Putra sama sekali tidak melayani aspirasi yang bisa benar secara politis: feminisme. Misalnya, dengan memasang semacam "pahlawan perempuan"-yang lazim dalam tradisi Minangkabau-untuk menandingi atau menggantikan Badrul Mustafa. Ia justru membiarkan tokoh itu berada dalam dunia laki-laki yang terombang-ambing, sia-sia, kesepian, dan rusak.
Situasi terakhir ini sebenarnya telah mengubah orientasi petualangan Badrul Mustafa. Petualangannya itu tidak memberi kita puisi-puisi yang serupa "laporan perjalanan", sebaliknya yang berwatak "percik permenungan"-meminjam istilah Roestam Effendi. Dengan kata lain, watak naratif puisi-puisi petualangan ini perlahan-lahan terkoreksi menjadi puisi-puisi yang punya ambisi berkontemplasi. Lukisan suasana tampil sekadarnya, begitu pula gerak peristiwa.
Yang dominan adalah dialog antara Badrul Mustafa dan tokoh-tokoh lain, atau rangkaian senandika. Buah pikiran sang tokoh. Tidak jarang dalam dialog atau senandika itu muncul kehendak berfilsafat: "Apa yang paling tinggi di bumi ini, Tuan?" Hamba sahaya bertanya sekali lagi (puisi "Sudah Padam Suluh di Tangan"). Atau, ketika kisah petualangan itu sudah akan mencapai titik naratif tertentu, penyair segera menguncinya dengan satu kesimpulan yang "filosofis" tadi.
Namun, ketika yang naratif tidak terpulihkan, ada kalanya segala petualangan dan kehendak berfilsafat itu bisa dibatalkan oleh sikap penyerahan diri sepenuhnya. Maka kita menemukan kembali puisi yang nyaris tanpa ambisi, dengan subyek lirik yang menyerah-pasrah-satu sikap yang berhulu pada sufisme. Seperti puisi "Semisal Badrul Mustafa" berikut ini:
Hatiku dibolak-balikkan Tuhanku.
Kepalaku gampang terbentur kusen pintu
Segala pujaku untuk suluh di tangan,
Kakiku gampang tersandung tunggul kayu
Semua pujiku untuk bulan saban malam.
Hatiku dibolak-balikkan Tuhanku.
Ingin benar kukembalikan goncangku pada gelombang
Sunggu mau kuserahkan guyahku pada angin garang.
Hatiku dibolak-balikkan Tuhanku.
Teguh sudah bagai beringin tengah pasar
Hendak rubuh oleh semisal angin sebentar.
Puisi-puisi jenis ini sudah cukup membuktikan bahwa jika Heru Joni Putra melepaskan kepiawaian naratifnya karena godaan bermacam orientasi dan keinginan, sebenarnya ia masih bisa bersitahan dengan ungkapan-ungkapan yang tetap jernih, melodius, dan rendah hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo