Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DANILLA Jelita Poetri Riyadi tampil berbeda dalam album keduanya, Lintasan Waktu. Perempuan 27 tahun itu menanggalkan kesan ceria yang ia tunjukkan dalam album debutnya, Telisik (2014). Danilla sadar 13 lagu dalam Telisik memunculkan perasaan gembira bagi yang mendengarkannya. Dalam Lintasan Waktu, ia memilih kesan sebaliknya: muram. Lewat nuansa itu, Danilla ingin berbagi cerita hidupnya kepada para pendengar. "Ibaratnya, boleh gantian enggak? Aku juga mau curhat," kata Danilla, Jumat tiga pekan lalu.
Di bawah label Ruang Waktu Music dan Demajors, Lintasan Waktu dirilis secara digital pada 18 September 2017. Adapun versi fisik dirilis satu bulan setelahnya. Indie pop, jazz, bossa nova, dan balada merupakan warna-warna yang kental dalam album tersebut. Danilla-yang juga menjadi produser dalam album itu-menghadirkannya lewat 10 lagu. Berbeda dengan Telisik, sebagian besar lagu dalam Lintasan Waktu ia ciptakan sendiri. Lirik-liriknya bercerita tentang kehidupan Danilla. Kebanyakan merupakan pengalaman tak menyenangkan. "Ini egois, sih. Aku enggak peduli pasar," ujar Danilla. "Mau disukai atau enggak, di album ini aku cuma mau bercerita."
Dalam Lintasan Waktu, Danilla menyuguhkan musik yang mengandalkan petikan gitar elektrik dengan efek tremolo, tabuhan drum, dan bunyi piano-terkadang dengan violin, viola, dan selo. Sebagai pelengkap, Danilla memasukkan bunyi instrumen musik elektronik synthesizer. Kolaborasi semuanya menghasilkan musik yang gloomy. Terasa pas dengan lirik-liriknya yang bernuansa muram. Menurut Danilla, semua lirik, chord, bunyi, melodi, dan aransemen dalam Lintasan Waktu menciptakan musik yang emosional. "Aku menyebutnya genre baru: pop kebebasan," ucap perempuan kelahiran Jakarta, 12 Februari 1990, itu.
Tempo memilih Lintasan Waktu sebagai album terbaik 2017. Kami menilai album itu berhasil menerjemahkan ekspresi katarsis Danilla lewat talenta mencipta lagu dan timbre suara yang khas. Lintasan Waktu terasa sebagai sebuah album rekaman singer-songwriter yang lebih personal dan dewasa. Suguhan musik dalam album ini mencerminkan jejak pop dewasa ala penyanyi-pencipta lagu 1970-an hingga indie-rock penguras emosi layaknya Radiohead. Atmosfer "tenang sehabis badai", ketidakberdayaan, mengambang, dan lepas tanpa gravitasi yang diramu tanpa berlebihan menjadi kekuatan utama album itu. "Konstan dari awal hingga akhir," kata David Tarigan, pengamat musik yang menjadi salah seorang juri.
Menurut David, Lintasan Waktu mengekspresikan kehidupan Danilla dengan dahsyat. Album itu berhasil menggambarkan upaya peredaan konflik dan perasaan campur aduk. Ia juga menampilkan ketidaknyamanan, kesedihan, dan keputusasaan secara indah. "Lintasan Waktu merupakan salah satu ’album malam’ terbaik yang pernah diproduksi di negeri ini," ujarnya.
Lintasan Waktu juga mengubah posisi Danilla dari "gadis poster" menjadi "dewi kesayangan" musik indie Indonesia. Melalui album itu, Danilla mengisi ruang imajinasi para pendengarnya kendati pada saat bersamaan ia mungkin ditinggalkan para penggemarnya. Sebab, mereka yang pergi itu sudah kadung happy dengan musik "ramah" Danilla di album perdananya, Telisik. "Ekspresi Lintasan Waktu jelas jauh lebih dalam dibanding Telisik yang ’ringan’ dan terasa seperti album seorang penyanyi saja," ucap David.
ALBUM Lintasan Waktu bermula dari obrolan ringan antara Danilla Riyadi dan Lafa Pratomo, musikus yang menjadi produser album Telisik, pada akhir 2014. Saat itu, Lafa meminta Danilla membuat lagu sendiri untuk album kedua. Sebab, kebanyakan lagu dalam Telisik merupakan hasil karya Lafa. "Lafa bilang, di album kedua aku mesti lebih mengeluarkan ide-ideku," kata Danilla.
Sejak saling kenal, Lafa sudah melihat bakat bermusik dalam diri Danilla. Tapi, menurut Lafa, Danilla seperti takut untuk menunjukkan bakat tersebut. Karena itu, Lafa mendorong Danilla mengeluarkan semua keresahannya, kemudian diubah dalam bentuk karya musik. "Saya meminta Danilla menyampaikan segala macam kesulitannya dalam sebuah karya," ujar Lafa, Selasa pekan lalu.
Danilla pun tergerak. Bermodal gitar akustik, pada awal 2015 ia menciptakan sebuah lagu yang masih tanpa lirik. Danilla merekamnya, lalu memperdengarkannya kepada Lafa. Dari situ, Lafa meminta Danilla memasukkan lagu tersebut ke album kedua. Lagu itu kemudian diberi judul Entah Ingin ke Mana dengan Lafa sebagai penulis liriknya. "Waktu itu aku masih belum pede bikin lirik," ucap Danilla. Dalam waktu satu bulan, musik dan lirik Entah Ingin ke Mana pun rampung.
Entah Ingin ke Mana sebenarnya bercerita tentang Danilla yang kerap bimbang dan tak tahu ingin ke mana. Menurut Danilla, lirik itu bisa tercipta lantaran sejak 2012 ia dan Lafa sudah saling mengenal pribadi masing-masing. "Liriknya emang aku banget," kata alumnus Jurusan Broadcasting Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Persada Indonesia YAI itu. Awalnya Danilla mengajak Lafa berduet menyanyikan lagu itu. Tapi Lafa menolak dengan alasan tak bisa bernyanyi. Danilla lantas mengajak Rd. Moch. Sigit Agung Pramudita, vokalis dan gitaris Tigapagi, untuk berduet.
Tiga bulan kemudian Danilla menciptakan Kalapuna. Nama lagu itu diambil dari dua kata yang dijadikan satu, yakni "kala" dan "punah". Di sinilah Danilla mulai percaya diri membuat lirik sendiri. Sedangkan musiknya ia garap bersama Lafa. Proses pengerjaannya berlangsung kurang dari satu bulan. Dalam Kalapuna, Danilla memadukan musik bernuansa gloomy dengan lirik tentang seseorang yang kehilangan rasa. "Aku cerita kalau seseorang sudah ill feel, ya, mau gimana lagi?" ujarnya.
Menurut Danilla, Kalapuna terilhami dari masa-masa sulitnya pada 2015. Ketika itu, Danilla mengalami masalah ekonomi lantaran tak banyak tawaran manggung dan sempat ditipu orang. "Waktu itu bener-bener seret minta ampun," ucap penggemar Radiohead dan Coldplay tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Danilla banting setir dengan bekerja di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Tapi, sekitar dua setengah bulan kemudian, ia berhenti. Lantas ia beralih menjadi guru di sebuah taman kanak-kanak. Itu pun cuma bertahan satu pekan. Danilla merasa tidak cocok dengan pekerjaan-pekerjaan itu. Ia dilanda stres dan frustrasi. Dalam kondisi itulah ia menciptakan Kalapuna. Lirik-liriknya menggambarkan penghayatan Danilla yang mendalam atas kejadian yang dialaminya.
Setelah Kalapuna, muncul lagu-lagu lain, yakni Ikatan Waktu Lampau, Laguland, Meramu, AAA, Ini dan Itu, Usang, Dari Sebuah Mimpi Buruk, serta Lintasan Waktu. Lagu-lagu itu bercerita tentang perasaan, pengalaman hidup, atau pribadi Danilla. Kecuali Ikatan Waktu Lampau dan Lintasan Waktu, semua lagu dibuat sendiri oleh Danilla. Kebanyakan dibuat dengan gitar akustik-hanya AAA yang dibuat dengan piano. Lagu Ikatan Waktu Lampau bercerita tentang Danilla yang kerap mengaitkan sesuatu dengan masa lalu. Adapun Lintasan Waktu mengisahkan seseorang yang takut tua dan ingin melintasi waktu sehingga bisa kembali ke masa muda.
Selain oleh Lafa, dalam pengerjaan album Lintasan Waktu, Danilla dibantu Aldi Nada Permana untuk beberapa aransemen, Dimas Pradipta dan Edward Manurung (drum), Gallang Perdhana dan Petrus Bayu Prabowo (bas), Christ Stanley (piano), Eko Balung dan Saptadi (violin), Adi Nugroho (viola), serta Dani Kurnia (selo). Rekaman album dimulai sejak medio 2016 hingga pertengahan 2017. Setelah itu, dilanjutkan dengan mixing dan mastering hingga menjelang rilis pada September tahun lalu.
Pengerjaan Lintasan Waktu berlangsung lumayan lama karena berselang-seling dengan proyek manggung. Menurut Danilla, dari upah manggung itulah ia membiayai penggarapan Lintasan Waktu. Total, Danilla menghabiskan sekitar Rp 50 juta untuk album itu. Nama Lintasan Waktu dipilih karena dirasa paling cocok menggambarkan perjalanan Danilla selama membuat album tersebut. "Secara tidak langsung, aku melintasi waktu dari dulu sampai sekarang. Dari keraguan bikin lagu sampai lagu itu jadi," ucap Danilla.
Sebetulnya Danilla sempat khawatir terhadap Lintasan Waktu, terutama karena nuansa album itu berbeda dengan album sebelumnya. "Orang-orang kan biasanya bikin album enggak jauh warnanya dari yang sebelumnya," ujar Danilla. Namun, menurut Danilla, Lafa memintanya cuek dan masa bodoh, persis seperti pribadinya. Danilla pun akhirnya membebaskan pikirannya dari ketakutan itu. "Ya sudah, gue masa bodoh, deh."
Yang terpenting, Danilla menyebutkan, album Lintasan Waktu bisa menyampaikan musik serta nuansa yang menggambarkan perasaan dan pengalamannya kepada para pendengar. Menurut dia, lagu-lagu dalam album itu sangat cocok untuk mereka yang ingin "melarikan diri" dari segala persoalan yang terjadi. Tentu itu dilakukan dengan cara yang sehat, yakni lewat lagu. "Pada dasarnya lagu adalah obat. Musik dan nuansanya merupakan obat bagi para pendengarnya," ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo