Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saatnya Keluar dari Kepompong

Kaum Tionghoa mulai keluar dari tembok pagar yang tinggi. Suara mereka diperhitungkan dan diperebutkan kandidat presiden.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POSTER itu tersebar di sudut-sudut kota Jawa Timur. Di bagian atas terdapat sebuah slogan yang kerap dipakai dalam kampanye: ”Tidak Ada Jalan Lain Kecuali Perubahan.” Kalimat itu tak hanya terlafal dalam bahasa Indonesia, tapi juga dalam bahasa Jawa, Madura, Osing, dan Cina. Sebuah ajakan ”coblos nomor dua” menunjuk pada foto pria dengan mata sipit dan pipi yang penuh. Dede Oetomo, pria dalam poster itu, memang urung terpilih menjadi anggota dewan perwakilan daerah. Ketua Gaya Nusantara (perkumpulan gay Indonesia) ini tak terpilih sebagai anggota DPD dalam pemilu April lalu. Tapi munculnya pria bernama asli Oen Tiong Hauw itu sebagai kandidat anggota dewan perwakilan daerah menegaskan munculnya era baru partisipasi kaum Tionghoa dalam politik di Indonesia. Setelah sebelumnya mendirikan partai politik, kini mereka berani maju dalam kancah pemilihan DPD. Ketua Umum Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) Lieus Sungkharisma terkaget-kaget dengan perkembangan yang terjadi. Dalam pemilu presiden putaran pertama lalu, dia melihat banyak encik-encik yang aktif menjadi juru kampanye calon presiden. ”Saya juga kaget, mereka ngomongnya masih pelo-pelo (cadel) tapi sudah lancar bicara politik,” katanya. Suasana politik ini memang tak terbayangkan sebelumnya. Lieus, yang mendirikan Parti—partai politik pertama yang didirikan warga Tionghoa setelah reformasi—melihat makin banyak orang Tionghoa yang maju sebagai calon anggota legislatif atau sekadar juru kampanye. Tak ada yang mengetahui dengan pasti berapa banyak orang Tionghoa yang ikut dalam kampanye partai atau kampanye calon presiden. Tapi, dibandingkan dengan sebelumnya, kini mereka tak lagi memberikan dukungan kepada partai politik secara sembunyi-sembunyi. Trauma politik adalah penyebab utama menarik dirinya kaum Tionghoa dari pentas politik. Padahal, jika dirunut ke belakang, peran mereka dalam sejarah politik nasional sudah ada sejak zaman penjajahan Eropa. Ahli Cina perantauan, Leo Suryadinata, membagi peran politik Tionghoa pada awal masa kebangkitan dalam tiga kelompok. Yang pertama kelompok Sin Po. Kelompok ini menganggap dirinya sebagai bagian dari tanah leluhur tapi mereka juga anti-penjajah. Nama kelompok ini diambil dari nama koran milik peranakan Tionghoa (1910), Sin Po. Sebagai reaksi terhadap Sin Po, pada 1928 muncul pula kelompok Chung Hua Hui (CHH). Mereka datang dari kalangan berpendidikan Belanda, pedagang kaya, atau bekas tuan tanah. Kelompok ini merasa senang menjadi bagian dari komunitas Belanda. Mereka dijuluki kaum pakaard—istilah yang diambil dari merek mobil mewah saat itu. Kemunculan kaum pakaard ini ditanggapi dengan lahirnya Partai Tionghoa Indonesia (1932), pimpinan Liem Koen Hian. Partai yang kekiri-kirian ini memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada zaman kemerdekaan, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) muncul sebagai kekuatan politik besar bagi Tionghoa. Badan ini dimotori oleh orang Cina bernama Siauw Giok Tjan dan bercita-cita memperjuangkan persamaan hak di antara warga negara dan membangun masyarakat sosialis. Namun peristiwa G30S-PKI pada 1965 menjadi martir bagi Baperki. Tragedi nasional ini menyeret pelaku politik Tionghoa yang pada masa itu terlihat akur dengan Bung Karno. PKI dan Bung Karno dianggap memanfaatkan ”poros Jakarta-Peking” untuk mendukung gerakan itu. Digerusnya para pengikut komunis menyebabkan anggota Baperki harus ikut tergusur. Tragisnya, masyarakat memukul rata semua orang Tionghoa sebagai anggota Baperki. Pada masa itu, banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. Ada yang melarikan diri ke luar negeri, meninggal, atau terkena gangguan jiwa karena tidak tahan terhadap tekanan. Pengalaman pahit ini mengendap di dasar ingatan warga Tionghoa dan menjadi bagian yang tak pernah hilang. Budi Lim, seorang arsitek yang melewati masa kecilnya di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, masih mengingat akibat peristiwa tersebut. Mendadak hubungan dengan teman-teman sekampungnya menjadi retak. Saat itu, ayahnya mulai membangun tembok pagar rumah. Tembok-tembok itu berangsur-angsur meninggi hingga kini. Peristiwa tersebut menjadi trauma yang membuat kaum Tionghoa menarik diri dalam politik dan ini terus terbina hingga masa pemerintahan Orde Baru. Akibatnya, sejak 1971, tidak ada lagi partai peserta pemilu yang didirikan keturunan Tionghoa. Pada masa Soeharto, stigma terhadap golongan Cina terbentuk: mereka hanya pebisnis yang mencari keuntungan tanpa punya partisipasi sosial apa pun. Soeharto memang merangkul pengusaha keturunan Cina sebagai kompanyon bisnis dia dan keluarganya. Ia juga menjadikan Bob Hasan, seorang pengusaha Cina, sebagai menteri. Tapi banyak yang menilai keputusan itu diambil lebih karena Bob adalah kawan dekat Soeharto ketimbang sebagai bentuk apresiasi terhadap warga Tionghoa. Jatuhnya Soeharto bukan berarti awan kebebasan bagi warga Tionghoa. Mereka sempat menjadi sasaran amuk masa pada kerusuhan 1998. Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, baru terlihat itikad membawa perubahan positif. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26/1998 yang menghapuskan istilah pribumi dan nonpribumi. Habibie juga berupaya mencairkan hubungan dengan mengajak Kwik Kian Gie—warga Tionghoa yang aktif dalam Partai Demokrasi Indonesia—masuk kabinetnya. Kwik menolak tawaran tersebut, tapi pada saat pemerintahan Abdurrahman Wahid, tawaran serupa diterima Kwik. Angin segar itu membuat orang Tionghoa berupaya menembus tembok politik dengan melahirkan Partai Pembaharuan Indonesia (Parpindo) dan Parti. Masalahnya: apakah warga Tionghoa memang membutuhkan partai politik yang khusus bagi mereka? Harry Tjan Silalahi mengaku tidak setuju dengan partai khusus bagi warga Tionghoa. ”Kalau aspirasinya sudah ditampung partai-partai besar, mengapa harus membentuk sendiri?” kata aktivis Center for Strategic and International Studies (CSIS) ini. Faktanya, dengan atau tanpa mendirikan partai politik, kini suara kaum Cina menjadi rebutan. Dalam perayaan Imlek, kandidat presiden beramai-ramai ikut memperingatinya, bahkan tampil lucu dengan pakaian adat Tionghoa. Mereka ramai memperebutkan suara konstituen Cina sekaligus mencari sokongan dana dari mereka. Belum lama ini, calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut serta dalam gerak jalan sehat warga Tionghoa di Jakarta Utara. Setelah terbelenggu lebih dari tiga dasawarsa, saat itu tibalah: kaum Tionghoa Indonesia keluar dari tembok-tembok tinggi rumah mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus