Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya baru saja membaca buku Tengara Orde Baru yang mengisahkan biografi Harry Tjan Silalahi alias Tjan Tjun Hok, politisi Tionghoa yang pernah dijuluki arsitek atau tengara Orde Baru. Saya ingin mengawali esai ini dengan penegasan bahwa dinamika kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia jelas tidak bisa terlepas dari dinamika sosiologi politik Indonesia keseluruhan.
Masyarakat keturunan Tionghoa tidak bisa memisahkan diri dari sindrom sosial-politik yang berlaku dan bahkan selalu ikut larut dalam perubahan zaman sesuai dengan dominasi sistem politik yang relevan. Dalam bahasa sinis, orang menyebut masyarakat Tionghoa cenderung ikut angin atau ikut golongan yang berkuasa. Saya ingin bertanya dan menegaskan, bukankah sikap ikut angin itu juga merupakan sikap the silent majority bangsa Indonesia yang disebut pribumi? Apalagi, dalam sistem politik Dunia Ketiga yang otoritarian dengan risiko gawat bagi oposisi atau siapa saja yang dianggap tidak mendukung rezim yang bercokol. Jadi, yang pertama ingin saya tegaskan ulang ialah bahwa sikap politik dan pola politik masyarakat keturunan Tionghoa ditentukan dan beradaptasi dengan milieu masyarakat pribumi yang mayoritas.
Karena sejarah politik kita sering disederhanakan dengan masa kepresidenan Sukarno dan Soeharto, umumnya orang hanya membandingkan dua kurun waktu itu secara simpel. Padahal era Sukarno tidak sepenuhnya linear, karena selama 15 tahun pertama antara 1950 dan 1960 Indonesia sedang menguji coba sistem demokrasi liberal dan multipartai. Karena itu, kabinet jatuh-bangun dan golongan Tionghoa juga tidak tersedot hanya dalam satu wadah politik. Secara individu, politisi keturunan Tionghoa sudah bergerak menyebar, dari H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien di Masyumi sampai Tan Ling Djie yang didongkel dari posisi Sekjen PKI oleh D.N. Aidit (keturunan Arab). Dalam Partai Katolik dan Parkindo juga terdapat tokoh-tokoh non-pribumi, seperti Tjung Tin Jan, Auwyong Peng Koen (pendiri Kompas, ganti nama menjadi Ojong P.K.), dan Lie Beng Giok (salah satu pendiri Sin Ming Hui/Yayasan Tarumanegara). Satu dari 21 anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Drs. Yap Tjwan Bing, masuk PNI bersama seniman Tony Wen. Menteri Keuangan kabinet Ali Sastroamidjojo dari PNI adalah D.R. Ong Eng Die, sedangkan Menteri Kesehatan ialah Dr. Lie Kiat Teng alias Mohamad Ali dari PSII.
Jadi, tokoh keturunan Tionghoa masuk Islam sudah terjadi sejak zaman demokrasi liberal, yaitu Oei Tjeng Hien dan Lie Kiat Teng. Pada periode ini seorang tokoh Partai Tionghoa Indonesia, Mr. Liem Koen Hian, yang juga pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), karena ditahan oleh kabinet Sukiman (Masyumi), kecewa dan meninggalkan Indonesia.
Setelah Bung Karno membubarkan DPR hasil pemilu dan juga partai Masyumi dan PSI, sistem politik demokrasi liberal terkubur, diganti oleh Demokrasi Terpimpin. Tidak boleh ada oposisi. Semua harus manunggal mendukung presiden seumur hidup Bung Karno.
Wadah politik golongan Tionghoa, Baperki, dikuasai elite sayap kiri yang berideologi sosialis Marxis dan mau tidak mau harus menjadi "pengekor" arus besar politik Indonesia waktu itu, Nasakom, di bawah pimpinan Bung Karno. Tokoh yang menjadi Ketua Umum Baperki adalah Siauw Giok Tjhan, yang didampingi oleh Mr. Oei Tjoe Tat yang akan diangkat sebagai menteri negara diperbantukan presidium kabinet oleh Bung Karno justru setelah terjadi peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung. Pada peristiwa ini Drs. Yap Tjwan Bing, pengajar di ITB, mengalami perusakan rumah dan mobil. Ia kemudian meninggalkan Indonesia untuk bermukim di California. Kabinet 100 Menteri Bung Karno mengikutsertakan tiga menteri keturunan Tionghoa, yaitu Mr. Oei Tjoe Tat, H. Mohamad Hasan alias Tan Kiem Liong dari NU, dan Ir. David Cheng (Menteri Cipta Karya). Mohamad Hasan terkenal sebagai Menteri Pendapatan Pembiayaan dan Pengawasan yang melaksanakan pengampunan pajak tahun 1964.
Pemberontakan G30S yang dicap didalangi oleh PKI menyebabkan Baperki ikut tertumpas dan peranan politik keturunan Tionghoa secara terbuka praktis terhenti. Kelompok asimilasi yang dipimpin oleh Mayor TNI-AL Sindhunata (Ong Tjong Hay) memakai pola individu, tiap-tiap orang Tionghoa aktif mengambil prakarsa meleburkan diri dalam wadah masyarakat pribumi tanpa perlu membentuk wadah eksklusif seperti Baperki.
Sebetulnya dalam Baperki juga ada pribuminya. Tapi, karena dianggap beraliran kiri, sosialis komunis, dengan jatuhnya Bung Karno dan tampilnya Soeharto memimpin rezim militer, Baperki dibubarkan dan aliran asimilasi dianggap memenangkan konsep politik penyelesaian masalah keturunan Tionghoa.
Muncullah figur politisi intelektual seperti Harry Tjan bersama dua saudara Wanandi (Lim Bian Kie dan Lim Bian Koen) dalam kekuatan politik anti-PKI yang digerakkan sebagai pendukung Orde Baru. Tapi Soeharto tidak ingin memberi peranan politik kepada mereka secara terbuka seperti Bung Karno mengangkat Oei Tjoe Tat sebagai menteri.
Harry Tjan dibiarkan menjadi "otak di belakang layar" Ali Moertopo. Sebagai operator, Wanandi bersaudara sangat gesit dan terampil mendampingi duet Ali Moertopo-Sudjono Humardhani dan mendirikan CSIS sebagai dapur operasi politik mereka.
Selama hampir 20 tahun, CSIS menjadi semacam think tank bagi Soeharto sampai tahun 1984 (Harry Tjan, Tengara Orde Baru, halaman 277). Soeharto berkuasa selama 32 tahun dengan meletakkan garis pemisah yang jelas bahwa nonpribumi hanya berperan sebagai kasir dan cukong bisnis dan tidak pernah mengangkat seorang keturunan Tionghoa pun menjadi menteri. Baru saat pamornya hampir jatuh pada kabinet terakhir, yang dibentuk Soeharto pada Maret 1998 yang hanya berumur dua bulan, ia mengangkat Bob Hasan.
Reformasi yang bergulir setelah Soeharto lengser mengembalikan situasi politik mirip era demokrasi liberal dengan kebebasan multipartai. Tapi partai yang didirikan eksklusif untuk keturunan Tionghoa tidak pernah berhasil melewati threshold ataupun lolos kualifikasi KPU. Pada Pemilu 1999 ada Partai Bhinneka Tunggal Ika, yang hanya memperoleh satu kursi dari wilayah pemilihan Kalimantan Barat. Pada Pemilu 2004 tidak ada satu pun partai yang berciri eksklusif keturunan Tionghoa lolos kualifikasi KPU.
Pada waktu Sdr. Lieus Sungkharisma menemui saya di kantor PDBI tahun 1998 mengungkapkan niatnya mendirikan Partai Reformasi Tionghoa Indonesia, saya telah mengingatkan bahwa pada tahun 1955, ketika demokrasi liberal orang bebas memilih dan seolah-olah orang Tionghoa semua berkumpul dalam satu wadah, Baperki hanya memperoleh satu kursi.
Karena itu, saya tidak melihat partai eksklusif seperti Parti dan "Baperki baru" akan efektif memperoleh suara. Mengapa? Karena golongan keturunan Tionghoa sebetulnya juga majemuk dan tidak bisa diwadahkan dalam satu keranjang manunggal partai eksklusif.
Peringatan saya terbukti benar. Dalam dua kali pemilu, 1999 dan 2004, tidak ada partai eksklusif Tionghoa yang bisa berperanan. Sebaliknya, politisi keturunan Tionghoa diharap lebih aktif dalam struktur partai yang terbaur, walaupun penyakit Orde Baru yang memojokkan keturunan hanya sebagai bendahara dan kasir masih tetap dominan.
Di PAN, Alvin Lie masih bertahan walaupun Sindhunata dan saya sudah tidak berada dalam jajaran PAN. Di PDIP, Kwik Kian Gie masih bertahan walaupun posisinya di kabinet hanya "simbolis dan powerless". Di Golkar, Enggartiasto Lukita masih salah satu tangan kanan Akbar Tandjung. Sedangkan Sofjan Wanandi berkiprah dalam tim sukses SBY.
Keturunan Tionghoa dengan demikian telah mengalami diaspora dalam politik. Hal yang sama juga berlaku pada masyarakat dan elite politik pribumi. Para tokoh dari satu partai dan organisasi bisa bersaing dalam pemilihan presiden. Orang menyatakan bahwa dalam Pemilu 2004 ini semua "pecah" tidak ada yang utuh. Para jenderal bersaing, tokoh NU bersaing, Kristen bersaing, Islam bersaing, nasionalis bersaing, keturunan Tionghoa juga tercerai-berai.
Sebenarnya ini bisa dianggap positif agar tidak terulang penyakit gebyah uyah, menyamaratakan keturunan Tionghoa dalam satu wadah yang setiap saat akan "diganyang habis", dikremus karena dianggap manunggal. Dan bila kalah, ia hanya akan dibantai sesuai dengan tradisi politik otoriter. Semua ini juga dialami oleh pribumi baik dari Masyumi, PSI, maupun PKI serta Petisi 50. Siapa saja yang menjadi lawan politik tanpa ampun akan dibantaikalau tidak secara fisik ya secara ekonomi dan perdata. Hak-hak hidupnya dan hak asasinya dibatasi dan dicabut sehingga bisa mati mengenaskan karena frustrasi, stres, dan stroke.
Kenapa Saya Tidak atau Belum Pulang ke Indonesia?
Dalam alam globalisasi ini kehadiran fisik seseorang tidak menjadi handicap karena teknologi Internet bisa menyajikan informasi real time lintas benua dan lintas zona waktu. Saya merasa kehadiran saya di Washington, DC, bisa memberikan manfaat lebih banyak dalam kerangka multi-track diplomacy, diplomasi yang dilakukan oleh semua unsur masyarakat, tidak hanya birokrat dan diplomat.
Setiap warga negara Indonesia (dan warga negara lain) bisa menjadi "lobbyist" menjual misi visi dan citra suatu nation-state di pusat diplomasi global yang penting seperti Washington, DC. Politik dunia pasca-Perang Dingin sangat bergantung pada pengambilan putusan di Washington, DC. Saya merasa bisa menyumbangkan jaringan koneksi yang terbina selama enam tahun di Washington, DC, untuk memantapkan hubungan RI-AS dalam kerja sama saling menguntungkan. Dalam kaitan inilah saya masih merasa kehadiran di Washington, DC, lebih bermanfaat ketimbang terjebak "stagnasi reformasi" yang berjalan di tempat selama enam tahun di Indonesia.
Satu hal yang ingin saya tekankan sebagai jantung reformasi ialah pemilihan presiden langsung dan kebebasan pers. Ini memungkinkan masyarakat pemilih (voters) memperoleh informasi tangan pertama dan mempengaruhi pilihan mereka terhadap calon presiden yang sesuai dengan hati nurani. Inilah mahkota keberhasilan dan sukses reformasi yang tidak boleh "dirampas" kembali oleh "elite mantan rezim Soeharto" yang masih bermental otoritarian dan anti-kebebasan pers serta anti-demokrasi langsung.
Satu hal yang perlu dikhawatirkan ialah reformasi yang kebablasan di sektor legislatif dan yudikatif. Kedua pihak merasa berkuasa besar dan bisa memaksakan kehendak dengan pola KKN, maupun ambisi dan egoisme sektoral yang bisa membingungkan dunia internasional. Sebetulnya Indonesia itu mau bergerak ke mana?
Dalam kondisi transisi enam tahun reformasi setelah 40 tahun diktator (jika dihitung sejak Bung Karno membubarkan DPR tahun 1960 dan diteruskan oleh diktator Soeharto), kita bisa optimistis karena sudah memperoleh dua hasil besar, kebebasan pers dan pemilihan presiden langsung. Tentu saja kita bisa juga pesimistis karena merasa enam tahun reformasi kenapa masih terjadi penembakan Palu dan teror bom yang berkaitan dengan Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyah.
Dalam hal ini, Indonesia tidak bisa mengisolasi diri dari situasi global munculnya fenomena terorisme internasional yang tidak menghormati batas negara. Jika politik luar negeri dan politik keamanan nasional Indonesia juga masih bingung dan rawan menghadapi terorisme sehingga menimbulkan dampak kemacetan investasi dan lambannya bisnis, jelaslah itu refleksi situasi makro. Dalam kaitan itu, tidak ada kekuatan lokal apalagi keturunan Tionghoa yang secara politis masih tercerai-berai yang akan mampu mengatasinya sendirian saja. Diperlukan kerja sama yang bertanggung jawab.
Namun, tidak perlu semua partai masuk satu kabinet. Sebab, menjadi oposisi dan kekuatan alternatif juga profesi terhormat dan bermartabat. Kita harus membiasakan diri menghormati dan menyegani oposisi. Kita harus membiarkan perbedaan pendapat untuk memelihara kelangsungan hidup bangsa dalam hal terjadi kesalahan yang dalam pola manunggal akan membuat seluruh bangsa terpuruk.
Sebaliknya, bila kita siap dengan oposisi dan alternatif, setiap saat ada elite komponen bangsa yang bisa mengambil alih pemerintahan dari elite yang sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat dalam suatu pemilu berkala yang jujur, adil, dan langsung. Enam tahun reformasi akan memberi hikmah pada RI memasuki usia 60, tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo