Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sawala demi Mitigasi Bencana

Cuaca ekstrem belakangan ini dinilai tak bisa dilepaskan dari terjadinya perubahan pola iklim beberapa waktu terakhir. Analisis yang komperehensif diperlukan untuk memperkuat langkah mitigasi. 

29 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jalan terendam banjir rob di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta, 28 Desember 2022. ANTARA/Wahyu Putro A

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Salvienty Makarim, analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tentang cuaca ekstrem belakangan ini tak perlu dipertentangkan. Peneliti physical oceanography and climate pada Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan itu menilai perbedaan hasil permodelan di antara para peneliti kedua lembaga tersebut justru menambah khazanah keilmuan tentang fenomena iklim yang mempengaruhi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salvienty, doktor lulusan Xiamen University, Cina, yang menggeluti riset perubahan variabilitas iklim, menilai analisis tentang dinamika iklim perlu diperkaya. Pengayaan analisis itu diperlukan untuk menyiapkan langkah-langkah mitigasi terhadap berbagai potensi dampak cuaca ekstrem. “Memang, alam ini sedang bergerak,” kata Salvienty kepada Tempo, Rabu, 28 Desember 2022. “Kita perlu tinjauan yang komprehensif. Semakin banyak pakar Indonesia yang menyampaikan tinjauan mereka, itu jauh lebih baik.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, di tengah perkiraan cuaca ekstrem berlanjut hingga awal 2023, khalayak diramaikan oleh prediksi terjadinya badai besar yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Potensi terjadinya badai di Ibu Kota itu diungkapkan oleh peneliti klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Teknologi Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin, Senin lalu. Berbekal Satellite-based Disaster Early Warning System (Sadewa), platform peringatan dini yang dikembangkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional—kini terintegrasi dalam BRIN—Erma mengidentifikasi adanya ancaman badai yang memanjang di Laut Jawa pada Rabu, 28 Desember 2022.

Pekerja berjalan dengan latar belakang awan mendung di Kuningan, Jakarta, 27 Desember 2022. ANTARA/Aprillio Akbar

Erma menilai badai dahsyat itu berpotensi berpindah ke daratan lewat dua jalur, yakni angin baratan yang membawa hujan dari laut dan angin permukaan yang kuat. Dia mengimbau masyarakat agar mewaspadai potensi badai besar yang dapat berpusat di wilayah Jabodetabek tersebut.

Adapun BMKG, yang dua pekan terakhir terus memperbarui peringatan dini dampak cuaca ekstrem pada akhir tahun, tak sependapat dengan prakiraan tersebut. Simulasi BMKG mengidentifikasi potensi hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jabodetabek baru terjadi pada 30 Desember 2022. "Kemudian hati-hati dengan penggunaan istilah. Ada serangan badai, barangkali perlu diluruskan. Ini hujan lebat," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers pada Selasa, 27 Desember lalu.

Meski begitu, Dwikorita menuturkan BMKG dan BRIN tengah bekerja sama untuk melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Hujan buatan akan dilakukan di atas laut, sebelum awan merangsek ke daratan.

Perubahan Pola Iklim Perlu Diwaspadai

Menurut Salvienty, cuaca ekstrem pada akhir tahun ini tak bisa dilepaskan dari adanya fenomena perubahan pola iklim dalam beberapa waktu terakhir. Dia mencontohkan banyaknya hujan konveksi—dipicu oleh udara yang mengandung uap air naik akibat pemanasan—pada Juni hingga September lalu. “Ada suatu pola yang tak reguler,” ujarnya.

Fenomena pola yang tak reguler itu, kata Salvienty, perlu ditinjau dari pendekatan dinamika iklim yang juga telah berubah dari masa ke masa. Dia menilai diperlukan pengembangan permodelan prediksi untuk menghasilkan peringatan atau imbauan kepada masyarakat. “Permodelan yang kami gunakan perlu ditambahkan faktor-faktor lain karena tidak relevan lagi dengan pola tak reguler sekarang ini,” kata dia.  

Salvienty mengatakan variabel perubahan iklim di Indonesia amat beragam. Suhu permukaan laut antara Samudra Hindia sisi barat dan selatan, misalnya, berbeda sehingga dikenal sebagai Indian Ocean Dipole. Dari arah Pasifik juga ada La Nina yang selalu membawa potensi hujan lebat. Sedangkan El Nino membawa kekeringan di Indonesia dan Australia. “Indeks saat ini menunjukkan La Nina masih kuat,” kata dia.

Pada sisi lain, data NOAA—satelit meteorologi seri ketiga milik Amerika Serikat—per 25 Desember lalu menunjukkan adanya arah angin dari Laut Cina berarak melewati perairan Pulau Kalimantan dan Selat Karimata. Angin tersebut membentuk garis badai alias squall-line yang berpotensi membawa hujan lebat dan petir.

Berbagai fenomena cuaca tersebut, kata Salvienty, berlangsung bersamaan pada Desember ini. “Cuaca ekstrem ini dipengaruhi dari angin utara, tidak hanya dari Pasifik dan Indian Ocean (Samudra Hindia),” kata Salvienty.

Petugas Badan Meteorologi, Klimatologi ,dan Geofisika (BMKG) Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah II memonitor serta mencatat lama penyinaran matahari dengan alat Campble Stokes di kantor BMKG Regional II Banten, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 28 Desember 2022. ANTARA/Muhammad Iqbal

Sebelumnya, sejak 21 Desember lalu, BMKG juga merilis peringatan dini ihwal potensi cuaca ekstrem selama libur Natal dan tahun baru. Mereka mengidentifikasi aktivitas monsun Asia—angin yang berembus dari Asia menuju Australia akibat perbedaan temperatur dan tekanan udara di kedua benua—yang diperkirakan meningkatkan potensi curah hujan. Curah hujan ekstrem diprediksi terjadi di wilayah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, bahkan memicu rob di wilayah pesisir.

Dwikorita tak menjawab pertanyaan Tempo ihwal simulasi prakiraan cuaca yang dilakukan lembaganya. Pusat Meteorologi Publik BMKG, Fachri Rajab, pun setali tiga uang.

Namun kemarin BMKG kembali menerbitkan peringatan siaga kepada publik karena potensi cuaca ekstrem di Banten, Jawa Barat, DkI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Imbauan itu berbasis pada analisis impact-based forecast (IBF) BMKG yang menunjukkan adanya potensi cuaca ekstrem hingga 30 Desember mendatang.

Cuaca ekstrem ini bakal berdampak pada peningkatan volume sungai dan mengakibatkan banjir bandang. Hujan lebat juga berpotensi memicu tanah longsor, guguran bebatuan, dan erosi tanah. Dwikorita mengimbau masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran sungai dan pesisir laut untuk berhati-hati.

Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Chenny Wongkar, mengatakan Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) pernah menerbitkan laporan yang menjabarkan proyeksi kebencanaan yang bakal meningkat ke depan. Hal ini merupakan bagian dari dampak perubahan iklim yang sudah diprediksi oleh IPCC. “Memang ini sangat in-line dengan extreme event yang terjadi belakangan ini,” ucap Chenny.

AVIT HIDAYAT

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus